Sunday, November 20, 2011

SENI SEBGAI MEDIUM PERLAWANAN


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Ketika berbicara seni, maka yang terbayang adalah sebuah keindahan. Seni sendiri dalam bahasa Inggrisnya disebut art yang berarti indah. Namun memaknai seni (art) sebagai sebuah keindahan belaka, apalagi keindahan yang sifatnya artifisial, adalah sebuah pendangkalan terhadap makna seni itu sendiri. Membayangkan keindahan sepintas lebih dekat dengan kemapanan dan status quo. Sebuah keindahan nampak sebagai sesuatu yang mapan, stagnan dan teratur.  Sepi dari aksi, rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi. Pada tahapnya yang paling dangkal, ketika seni dipandang sebagai wujud keindahan mutlak, ia hanya dimaknai sebagai ornamen. Ornamen dari sebuah sistem atau bangunan yang utuh. Dengan demikian seni hanya dipakai sebagai hiasan, pemoles atau unsur kompelementer untuk mempercantik diri.
Pada tahap inilah seni malah rawan dengan distorsi. Seni disalahgunakan untuk membangun pencitraan, menutupi realitas dengan sejuta pernak-pernik keindahan di wilayah permukaan. Ini terlebih di era sekarang yang mana arus sejarah terperangkap dalam gebyar pencahayaan. Fenomena ini mengakibatkan munculnya geliat penyangkalan, penelikungan dan penditorsian terhadap realitas. Orang umumnya terjebak dalam keindahan luar tanpa, silau oleh megahnya keindahan permukaan tanpa repot menggali nilai kebenaran di balik keindahan yang ditampakkan itu.
Karena itu memaknai seni hanya sebatas keindahan merupakan pemaknaan yang bukan hanya dangkal tetapi juga reduksionis. Seni pada unsurnya yang paling fundamental adalah justru untuk mengungkapkan, mengekspresikan realitas yang sebenarnya. Namun, ketika dia direduksi menjadi sebatas keindahan lur, seringkali justru menjadi alat untuk menyembunyikan dan menghilangkan realiats yang sesungguhnya. Memang seni tidk mengungkapkan sebuah persoaln tau realiats cenderung menggunakan sistem simbolisme. Tetapi simbolisme di sini justru merupakan medium yang efektif untuk mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya. Karena bahasa simbol itulah yang dianggap efektif mampu mewakili kenyataan yang terjadi tersebut.
Medium perlawanan
Pada makna dan fungsinya yang prinsipil, seni lebih dari sekedar keindahan. Di balik makna dasarnya itu, seni juga merupakan medium perlawanan. Bahkan makna perlawanan inilah yang paling melekat dalam seni. Sebab, karakter seni berebeda dengan karakter politik. Kalau politik lenih menekankan pada establishmen, kemapanan dan ketetapan. Maka sebaliknya seni justru berusaha untuk menggugat kemapanan dan status quo. Resistensi seni ini nampak paling nyata ketika ia berhadapan dengan  kekuasaan. Ketika menghadapi sistem kekuasaan yang diktator, otoriter, tiranik dan anti perubahan, seni merupakan media paling depan dalam menyuarakan pentingnya pembebasan dan perubahan.
Jenis-jenis seni baik itu puisi, musik, lukisan dan sejenisnya merupakan medium-medium efektif untuk melakukan pendobrakan terhadap kondisi yang dimapankan, dibentuk dan disistematisasikan oleh kekuasaan. Seni begitu efektif dan mempunyai efek yang ampuh dalam melahirkan gerkan pembebasan dan perubahan. Seni menjadi daya ekspresi dan jeritan atas kenyataan yang sesungguhnya. Seni menjadi alat yang paling manur dlam menyuarakan nasib orang-ornag marginal dan tertindas. Dalam konteks inilah, seni adalah suara kejujuran, ungkapan keberana dan ekspresi fenomena yang paling orisinil.
Berbagai gerakan revolusi di dunia, lebih banyak dimotori oleh gerakan kesenian. Revolusi pemikiran, khususnya, dalam sejarahnya dilakukan lewat ruang-ruang seni. Di Indonesia sendiri, gerakan perlawanan terhadap rezim banyak dihiasai oleh gerakan kesenian. Banyak para sastarwan dan seniman yang menampilkan acara-acara kesenian dengan semangat pembrontakan terhadap kediktatoran dan keangkuhan kekuasaan. Pentas kesenian rkyat baik itu berupa pembacaan sajak, pementasan teater dan konser musik menjadi ujung tombak dalam gerakan perubahan dan revolusi di hadapan kekuasaan. Rendra misalnya, lewat pembacaan sajak-sajaknya sarat dengan nada-nada protes terhadap kekuasaan rezim ORLA maupun ORBA.
Di samping sya’ir-sya’irnya, Rendra jug melakukan perlawanannya lewat pertunjukan teaternya. Teaternya, Mastodon dan Burung Kondor, yang sangat legendaris adalah bentuk ekspresi protes terhadap kekuasaan yang menindas. Kemudian musisi Iwan Fals yang lewat lagu-lagunya juga sarat dengan kritik terhadap kekuasaan. Surat Kepada Wakil Rakyat, Galang Rambo Anarkhi, Tikus-Tikus Kantor, Bento,Omar Bakri dan sejenisnya adalah lagu-lagu kritis Iwan Fals yang sangat fenomenal. Hingga saat ini lagu-lagu itu menjadi sya’ir-sya’ir jalanan bagi para mahasiswa dan aktifis dalam melakukan aksi demonstrasi. Begitu juga dengan para seniman dan budayawan Indonesia lainnya. Karya-karyanya, baik yang berupa puisi, lagu, teater dan seni pertunjukan lainnya banyak menginspirasi terhadap munculnya gerakan perlawanan terhadap kekuasaan.
Di negeri-negeri lain yang mempunyai pengalaman revolusi juga sarat dimotori oleh gerakan kesenian. Revolusi Iran misalnya. Ketika Iran berada dalam cengkraman rezim monarki absolut, Sah Reza Pahlevi, maka gerakan revolusioner telah bergetar di bumi para Mullah itu. Menariknya gerakan itu juga disumbang oleh dan semangati oleh gerakan kesenian. Revolusi Iran meletus pada tahun 1978-1979. Namun, sebelum itu, tepatnya pada tahun 1977 para seniman telah melakukan perlawanan secara terbuka. Pada bulan Oktober 1977, persatuan penulis dan seniman Iran melangsungkan acara kebudayaan dan pembacaan puisi di Goethe Institut, Teheran. Selama sepuluh hari sepuluh malam ribuan orang Iran hadir mengikuti acara tersebut yang mengusung tema kebebasan dan kemerdekaan.  
Gerakan-gerakan kesenian dalam konteks perlawanan terhadap sistem kekuasaan tersebut merupakan sebuah gerakan yang efektif untuk menggerakkan massa dalam melakukan perubahan. Gerakan seni kemudian sering menjadi pelopor dalam gerakan pembebasan. Gerakan seni dalam perlawanan adalah gerakan penyadaran terhadap masyarakat. Seni menjadi lonceng penyadaran yang membangkitkan dan membangunkan kesadaran massa yang telah lama tidur terlelap akibat ditindas dan dininabobokan oleh kekuaasaan yang represif. Di sinilah perlunya menggeluti dan menghidupkan seni sebagai nafas perlawanan terhadap kekuasaan, terutama kekuasaan yang diktator dan cenderung menyeleweng dalam berbagai bidang baik politik, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota diskusi filsafat ZAT Community Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment