Monday, November 21, 2011

MENCOBA MERUMUSKAN KEMBALI BANGUNAN NILAI NASIONALISME KEBANGSAAN

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

Nasionalisme pada awalnya terbentuk dari ikatan emosional terhadap ras, ia berubah menjadi ikatan emosional terhadap bangsa (state). Perubahan ini berawal ketika Ernest Renan melahirkan konsep negara bangsa (nation-state) di penghujung abad ke 19. Sejak itulah orang tidak lagi merasa terikat dengan suku dan agamanya, melainkan pada bangsanya. Lahirnya nasionalisme di Barat maupun di Timur mempunyai latar belakang berbeda. Nasionalisme di Barat muncul karena merupakan geografis, budaya dan agama. Fakta politik ini pada awalnya muncul di Barat pada abad ke 15 dan di Timur abad ke 19. Namun dalam perkembangan sejarahnya sampai sekarang respon terhadap Aristokrasi, sementara di Timur muncul karena perlawanan terhadap imperialisme.
Termasuk di Indonesia, lahirnya nasionalisme Indonesia tidak lain adalah karena akibat imperialisme bangsa Barat yang telah mencengkramkan kuku penjajahannya selama bertahun-tahun di bumi Nusantara. Nama Indonesia sendiri baru lahir pada tahun 1945. Namun perasaan kebangsaan itu sudah lebih dulu lahir katika para pemuda senusantara berkumpul menyatakan satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa sebagai strategi perlawanan terhadap kaum penjajah. Sumpah ini merupakan upaya mensinergikan dan menasionalisasikan kekuatan elemen-elemen seluruh bangsa yang berbeda.
Dengan demikian yang namanya bangsa (state) sendiri adalah bentukan yang sifatnya historis. Benedict Anderson (2001) menyebut bangsa termasuk komunitas yang terbayangkan. Bahwa bangsa hanyalah sebuah realitas imajinal belaka dan secara empirik sebenarnya tidak ada. Yang ada secara empirik hanyalah suku-suku dan sekte-sekte yang ada di sebuah bangsa tersebut.
Dalam kontek kebangsaan Indonesia, pernyataan Anderson ini mendapatkan justifikasinya dengan munculnya realitas berbagai daerah yang hendak melepaskan diri dari Indonesia. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Daniel Dakhidae bahwa the holy trinity atau tri tunggal suci sumpah pemuda—bahasa, bangsa dan tanah air—kini berubah menjadi the unholy trinity yang mau mendepak dsatu sama lain. “Satu bahasa” tidak lagi dengan sendirinya mengharuskan Indonesia menjadi satu bangsa, satu tanah air tidak dengan sendirinya mengharuskannya jadi “satu bangsa”. Dengan demikian, lanjut Daniel, bangsa-bahasa dan tanah air seolah-olah melibatkan dirinya dalam satu perang besar Hobbesian—-Bellum omnium contra omnes, perang semua terhadap semua orang, sebegitu rupa sehingga bangsa mencair, rasa kebangsaan menciut bahkan sirna sekaligus.
Realitas kebangsaan yang demikian itu sekarang tentu harus menjadi keprihatinan bersama. Memang sungguh sangat ironis, sebuah bangsa yang besar ini hanya terbangun secara imajiner yang direpresentasikan oleh bahasa sumpah. Yang mana inti sumpah ini sendiri pada awalnya mempunyai tujuannya yang temporer yakni melawan imperialisme.
Sekarang kita dihadapkan pertanyaan yang mengusik bahwa ketika imperialisme secara fisik sudah terusir dari tanah Indonesia, masihkah kesetiaan terhadap isi sumpah, yang menjadi kekuatan imajiner terhadap terbentuknya bangsa ini, tetap eksis? Kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Ternyata paska penjajahan fisik berakhir loyalitas terhadap trinity sumpah pemuda pun mengalami ujian dan hantaman yang terus menerus. Dari dulu, sekarang bahkan mungkin yang akan datang, fenomena ketidakloyalan itu selalu muncul dengan berbagai manifestasinya.
Ini artinya masih ada kekaburan dalam hal membentuk nilai-nilai yang menjadi karakteristik bangsa. Oleh karena itu harus terus menerus diupayakan semangat untuk selalu mencari dan mencari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang benar-benar bisa menjadi ikatan kuat terhadap eksistensi bangsa. Harus selalu dipikirkan apa yang benar-benar khas Indonesia? Sehingga jawaban ini nantinya akan menjadi kesadaran seluruh bangsa Indoensia yang dengan sendirinya merasa dan mengakui dirinya benar-benar sebagai bangsa Indonesia.
Bagi Gus Dur (2007) yang paling “Indonesia” di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa silam. Gus Dur meyebutnya usaha ini dengan pencarian harmoni. Di samping itu, masih menurut Gus Dur, nilai-nilai lain yang bersumber dari pencarian ini atau yang dikembangkan dengan menunjangnya, dengan demikian merupakan gugusan terbesar nilai-nilai Indonesia dewasa ini, berupa solidaritas social yang didasarkan pada rasa kebangsaan tanpa mengucilkan kelompok-kelompok yang lebih sempit (kesetiaan suku dan seterusnya), nilai-nilai yang menampilkan watak kosmopOlitan, yang masih diimbangi oleh rasa keagamaan yang kuat, kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan kembali masyarakat (social enginerring) berlingkup luas.
Atas dasar itu, kita harus sadar bahwa dasar kebangsaan kita sampai sekarang ini, nilai-nilai yang mendasarinya, terus mengalami infolusi. Sehingga perlu terus direfleksikan terus menerus sampai menjadi bangunan nilai yang benar-benar kuat sebagai dasar pijakan rumah kebangsaan kita.nilai-nilai yang selama ini menjadi dasar bangunan kebangsaaann kita bukanlah sesuatu yang turun dari langit dan produk yang sudah jadi. Tetapi ia adalah hasil dari konstruksi sosial yang masih dalam proses. Untuk itu nilai-nilai itu masih terus diempurnakan, direkonstruksi secara kontinyu untuk memperkokoh konstruk kebangsaan kita.
Termasuk nilai solidaritas sosial kita sebagai bangsa yang selama ini berada dalam krisis harus kita pupuk kembali. Aspek solidaritas kebangsaan ini, yang termasuk di dalamnya adalah pemerataan distribusi kekayaan dan ekonomi, keamanan dan kesejahteraan nasional. Sebab sekarang ini kemakmuran ekonomi, keamanan dan kesejahteraan masih terbatas pada kelompok-kelompok elit. Sementara mayoritas wong cilik di santero tanah air. Termasuk menguatnya sentimen primordialisme keagamaan sekarang ini yang terus bergejolak. Semua ini merupakan bukti bahwa dalam konteks nilai kebangsaan nasional, kita masih dilanda keabsurdan sehingga eksistensi kita sebgaai bangsa mudah diterpa ketidaksetabilan dan terus terkoyak.
Kalau kita apatis terhadap usaha ini, maka tidak menutup kemungkinan, tali kebangsaan yang rapuh di atas—-yakni trinitas sumpah pemuda—akan putus dan berimplikasi pada pudarnya bangunan kebangsaan kita. Karena faktanya entitas kebangsaan kita hanya bersifat imajiner bahkan, lagi-lgi menurut Anderson, bersifat imagined yang bergantung pada nilai-nilai yang kita ciptakan sendiri untuk membentuknya.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota diskusi filsafat ZAT Community Yogyakarta 

No comments:

Post a Comment