Saturday, November 19, 2011

ABSURDITAS TEKNOLOGI


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Aplikasi teknologi ternyata tidak hanya membawa progresifitas, tetapi juga absurditas. Ini terutama ketika teknologi masuk ke ranah nilai. Teknologi bukan melulu memberikan dampak positif (positive effect) tapi tak jarang juga sering  melahirkan dampak negatif (negative effect). Tak jarang terjadi masyarakat dibuat gaduh oleh negativitas teknologi itu. Skandal pembobolan ATM marak di mana-mana. Para pembobol menggunakan teknologi canggih sebagai modus operandinya. Sekarang, mucul masalah baru lagi tentang dampak aplikasi teknologi. Ini terkait dengan dunia siber atau internet. Anak-anak dan remaja menjadi golongan paling rentan tersasar praktik kejahatan siber, seperti pencabulan (Kompas,8/2/2010).
Teknologi dan kuasa
Absurditas nilai teknologi ini muncul sejak awal. Kata teknologi sendiri (Fritjof Capra: The Hidden Connection, 2003) berasal dari bahasa Yunani technologia, di ambil dari akar kata techne mempunyai makna wacana seni. Ketika istilah tersebut digunakan dalam bahasa Inggris pada abad ke-17, maknanya mengalami penyempitan., yakni terbatas pada seni terapan atau pertukangan. Berdasarkan sejarahnya ini, teknologi berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat praksis-operasional. Dalam konteks ini makna teknologi secara faktual berupa alat-alat dan mesin-mesin otomat yang menggantikan tenaga alam atau manusia.
Namun ketika memasuki abad 20, makna teknologi yang sifatnya praksis-operasional ini mengalami perluasan sedikit, ia tidak sekedar mencakup mesin dan alat-alat otomatis material, tetapi juga mencakup metode atau tehnis yang sifatnya nonmaterial. Teknologi informasi dan komunikasi adalah manifestasi dari perluasan makna teknologi dalam lingkup metodis ini. Atas dasar ini maka sosiolog Manuel Castells mendefinisikan teknologi sebagai kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tetentu dalam cara yang memunhkinkan pengulangan.
Dari definisi itu, teknologi merupakan konsekuensi dari lahirnya sains. Sains, merujuk pada teorinya Francis Bacon adalah pengetahuan yang digunakan untuk berkuasanya manusia atas alam semesta. Pernyataan Bacon knowledge is power secara implisit adalah proyek ambisius manusia untuk menundukkan alam semesta. Ketika teknologi merupakan konsekuensi lahirnya sains, maka iapun semisi dengan sains, yakni untuk menundukkan alam. Penguasaan alam semesta inilah yang pada titik ekstrimnya melahirkan perbudakan alam oleh manusia. Ketika teknologi difungsikan sebagai alat kuasa manusia atas alam semesta yang berujung pada perbudakan alam itu, maka disinilah kemudian lahir absurditas nilai. Teknologi kemudian tidak lagi mendatangkan kebahagiaan sebagaimana yang dicita-citakan sejak awal, tetapi justru sering melahirkan malapetaka. Alam merasa diperbudak lewat teknologi, sehingga  membrontak terhadap kehidupan manusia.
Paradigam Bacon itulah yang dikritik oleh kedua tokoh filsof madzhab Frankfurt, Horkheimer dan Adorno: alam yang telah diperbudak oleh manusia lewat sains dan teknologi pada gilirannya membrontak dalam wujud Perang dunia dan manusia menjadi budak dan korbannya. Bukankah ini merupakan nilai yang sangat absurd? Bagaimana mungkin, teknologi yang sejak awal didesign sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaan manusia atas alam, justru berbalik memperbudak dan menjadikan manusia sebagai korbannya.
Mengarahkannya
Apa yang sekarang ini terjadi, yakni efek negativ internet terhadap para remaja dan anak-anak merupakan bentuk lain dari absurditas teknologi itu. Ini merupakan mata rantai dari pola perkembangan dan kemajuan teknologi secara global. Ternyata lahirnya teknologi informasi sebagai bagian tahap-tahap perkembangan teknologi secara umum, kehidupan manusia berikut nilai-nilainya justru terancam dan berada dalam ruang ketidakamanan.Dan tantangan ini akan terus berkembang dalam bentuknya yang lain  seiring dengan nafas kehidupan di muka bumi.
Salahkah teknologi? Jelas bukan teknologinya yang salah, melainkan manusianya. Sebab, teknologi itu sendiri adalah ciptaan manusia dan yang menggunakannya juga manusia. Baik buruknya teknologi adalah tergantung ada manusianya. Atas dasar inilah, perkembangan teknologi, pada tahap aplikasinya, tidak boleh dibiarkan begitu saja, tetapi harus tetap ada kontrol. Upaya kontrol ini jelas bukan terhadap produk teknologinya, tetapi lebih kepada manusianya yang berperan aktif dalam proses implementasinya. Teknologi sendiri tidak mungkin dibendung. Meskipun dampak yang ditimbulkan oleh IT sangat negativ terhadap anak-anak dan remaja, ia akan tetapi hidup dalam ruang masyarakat, terlepas kita setuju atau tidak.
Sebab, ia sudah kadung hadir di hadapan kita. Mengontrol perkembangan teknologi sendiri, tanpa memberikan kontrol terhadap manusianya tentu saja imposibel. Kontrol terhadap manusianya ini, diwujudkan dengan komitmen manusia sebagai produsen sekaligus konsumen teknologi untuk mengarahkan teknologi ke arah yang lebih positif. Sebagaimana kata Melvin Kranzberg dan Carrol Pursell, bahwa proses tersebut (perkembangan teknologi) tidak dapat dihentikan dan hubungan antar mereka tidak dapat diakhiri; ia hanya dapat dipahami dan diharapkan, yaitu diarahkan menuju cita-cita yang layak tentunya bagi manusia.
Lebih jauh sebagaimana Don Ihde (Technology and the Lifeworld, 1990), teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks. Artinya, Hermenutika teknik adalah cara tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi.  Sebagai sebuah teks, teknologi cenderung bebas untuk dimaknai dan ditafsirkan. Persoalan absurditas nilai teknologi ini, sejatinya terletak pada aktifitas interpretative manusia terhadap teknologi itu sendiri. Bagaimana manusia memaknai teknologi itulah pangkal pokok lahirnya efek  teknologi.Dalam menafsirkan teks teknologi itu, sudah tentu manusia sangat ditentukan oleh kapasitas intelektual dan moralitasnya. Latar belakang historis dan kultural seseorang sangat menentukan dalam proses menghasilkan interpretasi tersebut.
 Sekarang, kita sebagai manusia tinggal memilih, akankah kita  memaknai teknologi itu dalam wujud mengarahkannya ke arah yang lebih positif-konstruktif ataukah ke arah yang negative-destruktif?
*Muhammad Muhibbuddin adalah Anggota studi filsafat “ZAT Community”

No comments:

Post a Comment