Monday, November 21, 2011

LIBERALISME PASAR, KEMATIAN NEGARA


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Politik dalam fungsinya yang ideal merupakan peradaban manusia yang paling tinggi. Bahkan, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa sifat alamiah (natural law) manusia adalah politik (Al-Insaanu madaniyyun bithobii’atihi). Artinya manusia manapun di dunia ini tidak akan bisa lepas dari yang namanya politik. Setiap indifidu, kelompok, komunitas atau masyarakat manapun selalu berpolitik dan membutuhkan yang namanya entitas politik. Alasan utama mengapa karakter manusia adalah berpolitik, karena pada prinsipnya politik adalah managemen kolektif yang di dalamnya masing-masing indifidu bisa berbagi peran. Seorang individu tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya seorang diri. Ia tetap membutuhkan indifidu lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan secara material, moral dan spiritual.
Politik sebagai fungsi managemen kolektif ini, dalam wujudnya yang paling konkrit adalah termanifestasikan dalam bentuk negara. Negara adalah wujud asosiasi politik manusia. Di dalamnya, beragam peran dan kebutuhan indifidu bersatu untuk saling mengisi dan melengkapi. Plato menegaskan hakekat negara ini dengan menyatakan bahwa negara muncul karena kebutuhan manusia; tidak ada orang yang bisa mencukupi dirinya, tetapi semua dari kita memiliki keinginan dan karena banyak orang dibutuhkan untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut, ada yang bertugas sebagai penolong atas yang lain, dan ketika para mitra dan penolong ini berkumpul dalam satu wilayah, maka kumpulan orang-orang inilah yang disebut negara.
Dengan demikian kehidupan dalam negara adalah kehidupan yang sistemik. Sebuah kehidupan yang kait-mengkait antar unsur atau komponen satu dengan yang lainnya. Apabila satu komponen tidak berjalan maka seluruh proses kehidupan dalam sebuah negara tidak akan berjalan maksimal bahkan bisa jadi mandek total. Sekalipun seorang presiden, ia tidak akan bisa eksis tanpa adanya tukang sapu, para petani, buruh, nelayan, tukang sampah, pemulung, penjual sembako, mahasiswa, guru, supir, penjual bakso dan seterusnya. Beragam status dan profesi, mulai dari presiden sampai tukang sapu adalah unsur-unsur yang menyatu dan membentuk sistem kehidupan dalam negara yang saling membutuhkan.
Maka dalam konteks ini, pada hakektanya semua pofesi dan formalitas sosial dalam negara adalah sama. Karena unsur sosial yang satu tidak mungkin bisa eksis tanpa yang lain. Sehingga kalau mau jujur hubungan unsur-unsur sosial dalam negara pada hakekatnya bukan hubungan yang sifatnya hirarkhis -struktural, melainkan hubungan yang praksis-fungsional. Maka dari itu, dalam kehidupan bernegara seharusnya tidak perlu ada tuan-hamba, juragan-kacung, atasan-bawahan, penguasa-yang dikuasai, elit-bawah dan hirarkis sosial lainnya. Sebab apa artinya seorang presiden kalau tanpa rakyat, tanpa ada petani, buruh , nelayan dan seterusnya.
Matinya fungsi negara
Meskipun secara alamiah lahirnya negara lebih disebabkan oleh kebutuhan manusia untuk saling melengkapi, tetapi dalam perjalanan sejarahnya fungsi negara semcam itu mengalami distrosi dan anomali. Aspek politik yang telah membunuh fungsi negara di atas adalah liberalisme pasar. Dengan lahirnya liberalisme pasar atau ekonomi atau kapitalisme global ini eksistensi negara semakin terdesak dan tersingkirkan. Bukan hanya fungsi negara sebagai asosiasi politik saja yang hilang, tetapi negara sendiri ikut lenyap.
Hal ini karena kapitalisme global atau yang sekarang populer disebut dengan neoliberalisme lebih memberikan kebebasan indifidu secara mutlak melalui regulasi pasar. Dengan demikian yang berlaku dan berkuasa bukan lagi aturan negara sebagai spirit kolektifitas untuk saling melengkapi dan menolong antar satu dengan yang lainnya melainkan ambisi indifidu untuk menang, berkuasa dan menyingkirkan atas yang lainnya. Akhirnya kehidupan politik bukan lagi mencerminkan pemenuhan kehidupan bersama, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan ambisi segelintir orang yakni para pemodal. Kalau De Tocqueville pada 1835 pernah mengatakan bahwa demokrasi telah menumbangkan sistem feodal dan melenyapkan raja-raja akan mundur kembali ke tangan para pedagang dan kapitalis, maka John Ralston Saul menegaskan bahwa saat ini, kemunduran serupa akan jatuh ke tangan tehnokrat sektor swasta, spesialis pasar uang, mazdhab ekonomi yang dominan dan tentu saja, komentator publik yang cocok dengan peran penasehat yang tugasnya sekedar menyanjung-nyanjung.
Dengan demikian, kalau dicermati secara akurat, maka yang menjadi penguasa politik sekarang bukan lagi negara, melainkan lembaga-lembaga keuangan dunia: IMF, Bank Dunia dan sejenisnya. Karena lembaga-lembaga inilah yang memilki kebijakan penuh untuk ditaati oleh setiap negara dalam mekanisme pasar. Di bawa superioritas pasar, yang terrepresentasi dengan lembaga-lembaga keuangan tersebut, maka negara-negara yang ada di bawahnya menjadi tiarap dan tak berani melakukan perlawanan apa-apa, meskipun kebijakan yang dihasilkan itu sungguh menikam tubuh negara itu sendiri. Bahkan seorang pakar terkemuka Jepang, Kenichi Ohmae, mengatakan, negara-bangsa adalah dinosaurus yang sedang menanti ajalnya. Artinya konsep negara-bangsa yang awalnya mempunyai otoritas penuh terhadap kebijakan publik kini sedang berada dalam ambang kematian.
Kuatnya rezim pasar ini memang sebuah fakta sejarah yang tidak manusiawi. Banyak rakyat kecil, terutama di negara-negara miskin seperti Indonesia, yang dibuat babak belur dan terlunta-lunta oleh kebijakan yang dikeluarkannya. Naiknya harga BBM yang menjadi pemicu meroketnya harga-harga bahan pokok lainnya adalah bukti ketidakmanusiawiannya, dan negara, yang dalam hal ini pemerintah, bertekuk lutut dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pasar selain hanya berkata yes. Jadi sistem pasar ini sungguh sistem yang sangat busuk dan monster imnperialisme, namun tetap bisa eksis dengan sejumlah alibi para “fans”nya. Di antaranya, seperti yang datang dari komentator pro-pasar Daniel Yargin yang mengatakan bahwa pemerintah telah kehilangan kendalinya atas perekonomian nasional yang begitu dominan, dan sering dengan itu (kehilangan) kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melindungi kedaulatan dan mengembangkan identitas nasionalnya. Di samping itu sejumlah filsof pun ada yang mendukung sistem dan gerakan ini. Para filsof seperti Montesquieu, Hume dan Kant yakin bahwa perdagangan bebas akan membawa kemakmuran dan perdamaian. Hume menulis tentang perdagangan dan simpati dan kedermawanan internasional, Kant menulis tentang kekuatan uang sebagai kekuatan penengah demi perdamaian; Montesquieu percaya bahwa di mana ada perniagaan maka manusia pasti berprilaku lebih baik.
Sekarang bisa dilihat faktanya, ternyata apa yang diutarakan oleh para pendukung pasar itu justru sebaliknya. Bukan kemakmuran melainkan kesengsaraan, bukan keadilan melainkan kesenjangan, bukan perdamaian melainkan persaingan. Memang pasar telah menciptakan kemakmuran, tetapi subyek yang mendapatkan kemakmuran itu hanya segelintir orang yaitu para cukong-cukong kapitalisme saja. Bagi rakyat kecil secara umum tetap mlarat dan tak berdaya.
Dengan demikian kalau negara-bangsa (nation –state), yang berada dalam sakaratul maut ini masih diharapkan untuk bisa bangkit kembali memainkan fungsinya secara alamiah, yakni menjadi sistem kehidupan publik yang saling melengkapi, maka liberalisme pasar itu harus dibatasi. Semakin membiarkan pasar untuk bebas dan liar, maka sebuah negara akan semakin tenggelam dan kemudian hilang. Prinsip laissez faire, laissez passer harus kritisi lagi.
Yang dibutuhkan dalam sebuah asosiasi politik ini adalah kesediaan untuk saling berbagi dan melengkapi, bukan untuk menguasai dan mendominasi. Prinsipnya adalah egalitarianisme dan persamaan. Persamaan di sini bukan mengarah pada bentuk material seperti yang diidealkan oleh kaum sosialis-komunis, melainkan pada semangat keadilan dan kesejahteraan bersama. Sehingga nantinya tidak lagi dijumpai fenonema ganjil yang berupa kesenjangan, di mana satu sisi ada pihak yang sakit perut karena kelaparan tetapi di sisi lain ada pihak yang sakit perut karena justru kekenyangan. Dari sini maka kebijakan pemerintah mengeluarkan BLT, sebagai konpensasi naiknya BBM adalah tidak menyelesaikan masalah. Hal yang dibutuhkan sebenarnya bukan BLT itu sendiri, melainkan kebijakan pemerintah atau negara yang bisa mencegah kecenderungan paradoksal tersebut. Sehingga Negara benar-benar ada dan berfungsi sebagaimana mestinya. Sekarang ini adanya Negara sama dengan tidak adanya negara.
*Muhammad Muhibbddin adalah pegiat forum diskusi filsafat “ZAT Community Yogyakarta. 

No comments:

Post a Comment