Monday, January 16, 2012

ARISTOTELES DAN FILSAFATNYA*


Oleh : Muhammad Muhibbuddin


A.Pendahuluan
            Aristoteles dalam balantika filsafat, baik di Barat maupun di Timur, jelas bukan nama yang asing. Dialah peletak dasar teori-teori pengetahuan ilmiah yang sistematis, penemu logika, pakar metafisika dan pemikir politik dan etika. Pemikiran Aristoteles benar-benar kosmopolit; melingkupi hampir segala macam disiplin ilmu pengetahuan. Maka tak heran kalau pengaruhnya terhadap para filosof dan ilmuwan selanjutnya begitu besar bahkan lebih besar dari pengaruh guru besarnya sendiri: Plato.
Karena kuatnya pengaruh pemikirannya terhadap generasi berikutnya itulah, otoritas Aristoteles hingga sekarang masih terasa sangat kuat. Orang memperbincangkan soal sains hingga politik, metafisika hingga etika----terlepas pro dan kontra--- senantiasa merujuk terhadap Aristoteles. Aristoteles tak ubahnya seperti rezim dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan inilah yang digelisahkan oleh Bertrand Russell. Dalam kajiannya soal Aristoteles, Russell menyatakan bahwa hingga akhir periode panjang ini otoritasnya (otoritas Aristoteles-red) hampir tak tergoyahkan seperti halnya otoritas Gereja, dan lantas menjadi kendala serius bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Sudah sejak awal abad ke-17, lanjut Russell, hampir setiap kemajuan intelektual yang cukup penting harus bermula dengan menyerang ajaran Aristoteles tertentu; hal ini bahkan masih berlaku hingga sekarang untuk bidang logika.
Bahkan di dunia Islam sendiri pengaruh Aristoteles terasa begitu kuat. Banyak filosof Muslim, terutama dari kalangan Paripatetik seperti Ibnu Shina dan Ibnu Rusyd yang terpengaruh dari filsafatnya Aristoteles. Al-Farabi bahkan dikenal sebagai guru kedua[1] (the second master) setelah Aristoteles karena dia yang banyak mengomentari tentang traktat filsafatnya Aristoteles. Meskipun, dan sudah barang tentu, para filsof Muslim juga banyak yang melakukan kritik terhadap beberapa pemikirannya. Seperti filosof Muslim Mulla Shadra,dalam teori Gerak –Transubstansial-nya, yang mengkritik teori geraknya para filosof Muslim sebelumnya yang sangat terpengaruh oleh filsafat alamnya Aristoteles[2].
Karena itu, mengkaji seluruh pemikiran filsafat Aristoteles yang meliputi beragam disiplin ilmu pengetahuan dalam waktu yang terbatas jelas imposibel. Dalam kajian ini yang disinggung adalah aspek-apsek pokok dari Aristoteles. Karena titik tekannya pada aspek filsafat, maka tulisan ini hanya terfokus pada bagian-bagian pokok dari filsafat yang meliputi: ontologi (metafisika), epistemologi dan aksiologi dalam koridor filsafatnya Aristoteles.

B. I. Siapakah Aristoteles?
Meskipun nama filosof ini sudah sangat populer di kalangan kaum intelektual dan akademikus,terutama di kalangan para mahasiswa filsafat, namun biografi dan latar belakangnya belum banyak yang mengetahui, terutama di kalangan para pemula pengkaji filsafat. Maklum di Indonesia, nama-nama filosof seperti Aristoteles ini, hanya beken di linkungan universitas, sementara di SD/SMP/SMU/Pesantren belum diperkenalkan. Maka wajar banyak para siswa, mahasiswa santri dan bahkan kiai yang masih asing dengan tokoh ini. Kalaupun mengetahui paling banter hanya sebatas namanya dan tanggal lahirnya saja.
Padahal kalau berbicara soal pemikiran tokoh, maka unsur biografi yang sangat berpengaruh terhadap konstruk ide dan pemikirannya jelas bukan sekedar tanggal lahir, melainkan pada latar belakang kebudayaannya yang luas; yang meliputi kondisi keluarga,struktur masyarakatnya,dunia pendidikannya, mitra belajarnya,guru-gurunya dan seterusnya. Dengan melihat kondisi di Indonesia sperti sekarang, terutama di kalangan ulama Islam, jelas berbeda dengan para ulama-ulama Islam tempo dulu seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rusyd dan seterusnya; yang mana mereka terkenal sebagai tokoh Islam tetapi mereka juga akrab bahkan apresiatif dan kritis terhadap pemikiran-pemikiran Barat seperti pemikirannya Aristoteles dan Plato.
Selanjutnya, siapakah Aristoteles itu? Ia dilahirkan pada 384 SM di Stageira, Thrace sebuah kota di Yunani Utara. Dilihat dari posisi keluarganya, Aristoteles berasal dari kelas elit. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi raja Makedonia II, Amyntas. Jelas keluarganya merupakan orang berpendidikan.Dilihat dari  keluarganya inilah, ada sebuah dugaan bahwa spirit dan kecintaan Aristoteles terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat merupakan pengaruh dari keluarganya.
Pada umur sekitar 17/18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk berguru kepada Plato---seorang pendiri dan sekaligus rektor universitas terkenal di Yunani pada waktu: Akademia. Ia belajar di Akademia hingga Plato meninggal. Di universitasnya Plato ini, ia tidak sekedar belajar, melainkan juga mengajar para santri Akademia yang lebih yunior tentang logika[3] dan retorika.
Paska wafatnya Plato, Akademia dipimpin oleh Speusippos. Ketika Akademia di bawah kepemimpinan Speusippos inilah, Aristoteles bersama murid Akademia yang lainnya, Xenokrates, meninggalkan Akademia karena berbeda pandangan dengan Speusippos soal filsafat. Filsafat oleh Speusippos cenderung disederajatkan dengan matematika[4].
Karena perbedaan itulah Aristoteles minggat dari Athena dan menuju Assos, sebuah daerah di pesisir Asia kecil. Pada waktu itu Assos berada di bawah kekuasaan Hermias. Dan Hermias sendiri adalah alumni Akademia yang telah meminta Plato mengirimkan dua orang muridnya, Erastos dan Koriskos, ke Assos untuk membuka sekolah baru di daerah itu. Maka, ketika Aristoteles sampai di daerah kekuasaan Hermias itu, ia dan sahabatnya itu bergabung dengan civitas akademika di Assos untuk ikut berperan sebagai pengajar.
Di sini pula Aristoteles menikah dengan kemenakan Hermias, Pythias. Namun, ketika 345 tragedi politik terjadi yakni Hermias telah dibunuh oleh tentara Persi. Pembunuhan ini memaksa Aristoteles meninggalkan Assos dan pergi ke Mytilene di kepulauan Lebsos yang jaraknya tidak jauh dari Assos. Di dua daerah pelarian inilah (Assos dan Mytilene) Aristoteles telah berhasil melakukan riset tentang binatang (zoology) dan tumbuhan (bootany) yang hasil risetnya itu dibukukan dalam sebuah seri bernama Historia Anemalium.
Ketika pada 342/343SM[5] Aristoteles dipanggil oleh raja Makedonia, Philippos, keturunan dari Amyntas II, untuk mengajar anaknya yang bernama Alexander yang waktu itu berusia 13 tahun.Banyak orang berpandangan soal kebesaran dan kesuksesan Alexander terkait dengan hubungannya dengan Aristoteles. Padahal hubungan antara guru dan murid ini lebih banyak berupa legenda dan belum ditemukan data-data validnya. Bertrand Russell sendiri mengatakan “Perihal pengaruh Aristoteles terhadapnya (terhadap Alexander-red), kita bebas mengajukan dugaan apapun yang kira-kira paling masuk akal. Menurut saya pengaruhnya nihil.”[6]  
Selanjutnya pada tahun 340 Alexander diangkat sebagai wakil bapaknya sebagai raja. Tidak lama kemudian pada umur 19 tahun Alexander diangkat sebagai raja Makedonia. Selesailah tugas Aristoteles sebagai guru Alexander. Maka ketika Alexander The Great dilantik menjadi raja Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena, tempat dulu ia belajar kepada Plato. Ketika ia kembali ke Athena itu, temannya yang dulu dia ajak pergi ke Assos, Xenokrates, sudah menjadi rektor Akademia. Namun sekembalinya ke Athena Aristoteles tidak lagi bergabung dengan Akademia, karena pemikirannya sendiri sudah lebih berkembang ketimbang pemikiran filsafat madzhab Akademia.
Akhirnya, dengan bantuan dari Makedonia, ia mendirikan universitas sendiri dengan nama Lykeion atau dalam bahasa latinnya Lyceium. Dengan semangat intelektual yang tinggi dari para civitas akademika Lykeion, univeristasnya Aristoteles ini membuka dan mempelajari semua cabang dan disiplin ilmu pengetahuan. Di universitasnya inilah, Aristoteles membangun perpustakaan yang mengumpulkan bermacam-macam manuskrip dan peta bumi; dan menurut Strabo—seorang sejarawan Yunani-Romawi--, itulah perpustakaan pertama dalam sejarah umat manusia.[7] Akhirnya Lykeion, pada perkembangan selanjutnya menjadi saingan berat dari Akademia. Persaingan ini membuat Aristoteles semakin bernafsu untuk mempertajam riset-risetnya. Hasilnya, ia tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga mengajarkan politik, retorika dan dialektika.[8]
Posisi Arstoteles yang sangat potensial di Athena itu lama kelamaan tidak aman. Ini berkaitan dengan meninggalnya Alexander Agung yang menyebabkan Athena hendak melepaskan diri dari Makedonia. Gerakan anti-Makedonia semakin meluas di Athena dan ini berimbas buruk terhadap Aristoteles. Karena kedekatannya dengan raja Makedonia itu, ia dituduh oleh orang-orang Athena yang anti-Makedonia sebagai atheis dan penyebar ajaran subversif. Karena tuduhan dan serangan-serangan orang-orang Athena itu, ia berpikir lebih bijak: lebih baik meninggalkan Athena. Selanjutnya urusan universitas Lykeium ia serahkan ke tangan muridnya, Theoprastos dan Aristoteles sendiri pindah dan melarikan diri ke Khalkis dan meninggal di sana pada tahun 322.



B.II.ONTOLOGI (METAFISIKA) ARISTOTELES
Cabang pertama filsafat adalah ontologi[9] atau metafisika. Bidang ini dalam filsafat lebih terfokus membincangkan soal realitas atau Ada. Teori metafisikanya Aristoteles ini merupakan hasil kritiknya terhadap konsep ide Universal gurunya, Plato. Seperti yang telah banyak dijelaskan bahwa menurut Plato, realitas yang sesungguhnya hanya ditemukan dalam ide-ide arketip, hal-hal yang universal, seperti manusia atau negara secara umum. Hal-hal yang partikular yang ditangkap oleh indra hanyalah banyangan ide-ide tersebut---bayangan dari realitas---yang merupakan obyek opini tetapi pengetahuan sejati. Universal di sini hanya bisa dihadirkan lewat akal dan bukan oleh pengalaman karena ia hidup di luar dunia temporal.[10]
Karena itulah Plato dikenal sebagai filsof idealisme karena meyakini bahwa kebenaran dan pengetahuan sejati hanya ada di dunia ide yang sifatnya lebih universal. Pemikiran Plato inilah yang digugat oleh Aristoteles. Dia menganggap bahwa teori idenya Plato itu tidak mungkin sanggup memahami dunia empirik yang sebenarnya. Kalau Plato seperti di atas menegaskan bahwa universalitaslah yang sebenarnya ada dan yang partikular tidak mungkin ada tanpa eksisnya yang universal, maka Aristoteles justru berpendapat sebaliknya, bahwa yang universal itu tak dapat eksis dengan dirinya sendiri, melainkan hanya berada di dalam hal-hal yang partikular[11].
Sebab, bagi Aristoteles, universalitas adalah sesuatu yang sifatnya esensial dan partikularitas adalah sesuatu yang material. Esensi yang sifatnya universal itu memang ada dalam akal, tetapi universalitas esensi itu sendiri tidak mungkin terpisah dari unsur material dan partikularnya. Karena itu, Aristoteles berpendapat bahwa esensi tidak bisa dipahami sebagai entitas yang berbeda dari pengalaman.
Universalitas adalah sesuatu yang ada di setiap indifidu dan bukannya terbatas pada satu indifidu. Kalau kita tarik pada level kebahasaan, universalitas ini ada dalam kata-kata sebagai nama diri dan makna dari kata-kata itu. Ketika sebuah kata telah dibakukan menjadi sebuah nama diri, maka ia jelas mengacu kepada benda atau orang tertentu. Namun, apabila kata itu dibedah maknanya, ia akan mengacu dan merangkum banyak benda atau manusia. Ambil contoh saja kata Muhammad, Soekarno, Gus Dur, Bumi, Bintang dan sebagainya. Lihat! tidak ada banyak benda atau banyak sesuatu yang dimaksud oleh kata-kata itu. Kata-kata itu hanya mengacu pada satu sosok dan satu benda.
Namun juga ada kata-kata seperti manusia, burung, pohon, bunga dan sebagainya. Dari kata-kata terakhir itu jelas bahwa di dalamnya mengacu dan merangkum banyak jenis benda sehingga menunjukkan universalitas. Bunga adalah sebuah kata yang universal karena di dalamnya terdapat dan merangkum terhadap berbagai jenis bunga seperti mawar, melati, dahlia dan sebagainya. Begitu juga manusia adalah sebuah kata yang umum karena di dalamnya mengandung banyak indifidu manusia seperti Adam, Hawa, Muhammad, Yesus, Socrates dan seterusnya.
Universalitas ini muncul karena dia bukan menjadi nama diri melainkan sangat terkait dengan makna kata-kata itu dan sifat-sifat yang terkandung dalam pengertian kata-kata tersebut. Dari pengambilan analogi ini, Aristoteles hendak menegaskan bahwa universalitas adalah sebuah identifikasi yang bisa dilekatkan terhadap banyak subyek. Baginya, yang diacu oleh nama diri adalah substansi yang merupakan kekhasan dari sesuatu itu sendiri sementara yang diacu oleh makna dan sifat kata itu adalah sebuah kelompok. Sehingga ia sampai pada kesimpulan bahwa ‘tampak mustahil bahwa sebuah istilah universal menjadi nama suatu substansi…Sebab substansi suatu hal adalah sesuatu yang khas pada dirinya sendiri yang tak menjadi bagian dari sesuatu yang lain, sementara universal bersifat umum, karena apa yang disebut universal menjadi bagian lebih dari yang lain”.[12]
Konsep universalitas dan partikularitas yang melalui konsep nama diri dan makna kata dari Aristoteles ini tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya banyak kata atau istilah universal yang menjadi nama orang atau benda. Seperti kata ‘bunga’ sendiri banyak dijadikan sebagai nama diri baik untuk manusia atau benda kesayangan.
Selanjutnya, gugatan Aristoteles terhadap konsep-konsep metafisiknya Plato itu juga terkait dengan teorinya Aristoteles soal bentuk (morphe) dan materi (hyle). Bentuk adalah Ide dan setiap Bentuk atau Ide tertuju kepada materi dan tidak mungkin bisa dilepaskan darinya. Bentuk adalah esensi dari sebuah benda.[13] Konsep tentang materi dan bentuk ini misalnya manusia adalah materi sementara Bentuk, Ide atau Esensinya adalah kemanusiaan. Pohon adalah materi, sementara kepohonan adalah Bentuk, Ide atau Esensi dari pohon. Dari konsep bentuk dan materi ini Aristoteles menegaskan bahwa sesuatu adalah terbatas. Ia berada dalam bentuk-bentuk yang terbatas. Ketika sesuatu itu mengaktual, maka ia pun menjadi sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang lain yang bentuknya terbatas pula. Selama ia tidak bisa dibedakan dengan yang lain, maka ia bukanlah sesuatu.[14]
Sesuatu yang menjelma atau mengaktual dalam bentuknya yang material sedemikian rupa, karena memang secara Ide, Bentuk atau Esensinya juga semacam itu. Namun yang harus diegaskan di sini oleh Aristoteles adalah bahwa Ide-Ide atau Esensi itu tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataannya yang ada adalah unsur-unsur materi. Maka menurut Aristoteles, esensi itu sendiri sebenarnya adalah diangkat atau diserap dari unsur-unsur materi tersebut. Dengan apakah mengangkat Esensi atau Ide itu? kata Aristoteles adalah lewat abstraksi. Abstraksi ini merupakan kemampuan yang dimiliki oleh rasio. Esensi adalah sesuatu yang bersifat konseptual, dan karenanya dapat diketahui dengan menggunakan akal[15].Proses abstraksi ini merupakan proses penyerapan sisi-sisi ideal dan abstrak dari sesuatu yang konkrit dan material.
Pemikiran Metafisikanya Aristoteles itu sampai pada konsep dia tentang Allah. Buku ke XII Metaphysic-nya berisi tentang penjelasan-penjelasan mengenai Allah sebagai Penggerak Utama yang tak Tergerakkan (unmoved mover). Menurut Aristoteles, penggerak utama ini merupakan Aktus murni yang terlepas dari materi dan bersifat abadi. Karena penggerak utama itu tidak bermateri, maka Ia pun tidak berpotensi, melainkan benar-benar Aktus Murni. Yang dimaksudkan dengan Aktus Murni di sini adalah bahwa bagi Aristoteles, aktivitas itu tidak bisa lain daripada pemikiran saja. Karena Allah bersifat immaterial atau tak badani, ia harus disamakan dengan kesadaran atau pemikiran.[16]
Karena ia merupakan wujud dari aktivitas berpikir, maka satu-satunya aktivitas bagi Aktus Murni adalah berpikir saja. Soalnya kalau Ia melakukan aktivitas lain selain berpikir, ia jelas membutuhkan obyek lain di luar dan bergantung pada sesuatu. Sehingga dalam aktivitas berpikir sebagai satu-satunya aktivitas Aktus Murni yang maha tinggi dan maha sempurna yakni pemikiran Tuhan itu sendiri. Maka Aristoteles menyatakan : “Allah adalah pemikiran yang memandang pemikirannya (noesis noeseos; thought of thought).[17]



B.II. EPISTEMOLOGI ARISTOTELES
Setelah mengkaji sekilas tentang sisi ontologi Aristoteles, maka selanjutnya adalah kita mencoba menguak sisi epistemologi[18] Aristoteles. Dalam ranah epistemologi atau pengetahuan Aristoteles juga berperan besar karena dia telah berhasil merumsukan konsep logika. Logika merupakan yang paling utama dalam filsafat pengetahuan atau filsafat. Konsep logika yang ditemukan oleh Aristoteles adalah konsep silogisme yang merupakan patokan bagi seseorang untuk berpikir benar. Logika, baik sebagai instrumen epistemologi maupun sebagai pengantar penting untuk studi teologi, yang menempati peran penting dalam perkembangan pemikiran di abad Tengah.[19]

Bagi Aristoteles, pengetahuan bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu induksi dan deduksi. Induksi merupakan pola berpikir dari melihat fakta-fakta yang khusus untuk menuju kesimpulan yang umum dan sebaliknya deduksi berangkat dari pernyataan-pernyataan yang sudah teruji kebenarannya yang bersifat umum untuk menuju kesimpulan yang khusus. Untuk induksi jelas berangkat dari pengamatan indra terhadap obyek-obyek material sehingga nantinya bisa dirumuskan sebuah teori yang umum dari benda-benda tersebut. Sementara deduksi lepas dari pengamatan indrawi dan deduksi inilah yang oleh Aristoteles dianggap sebagai jalan yang sempurna untuk menuju pengetahuan baru.[20]
Bila kita bandingkan dengan konsep ontologinya di atas, jelas nampak ada kontradiktif. Ketika pada level ontologi Aristoteles bilang bahwa esensi hanya ada pada benda-benda konkrit dan material-indrawi, tetapi pada level epistemologi, ia justru lebih percaya pada metode deduksi yang terlepas dari obyek-obyek material sebagai pencapaian pengetahuan. Dengan lebih mengaksentuasikan pada metode deduksi berarti sama halnya menafikan aspek-aspek indrawi dan material yang sebelumnya dibela matia-matian oleh Aristoteles; dengan dikatakan sebagai bersemayamnya esensi atau Ide; untuk menggugat idealisme universalnya Plato. Sehingga sepintas seolah sama antara paradigma Plato dan Aristoteles soal epistemologi.
Namun tidak sesedarhana itu. Sebab,epistemologi Aristoteles juga mensyaratkan banyak infrastruktur, yang meliputi logika dan juga indra. Dalam keterangan di atas sudah disinggung soal abstraksi dari Aristoteles. Nah, karena adanya proses abstraksi ini ilmu pengetahuan dimungkinkan, tanpa mengandaikan ide-ide Plato.[21] Dalam proses abstraksi itu titik tolaknya jelas dari obyek material dan indrawi.Inilah yang kemudian membedakannya dari Plato yang hanya mengandalkan pancaran ide bawaan yang universal.
Sebagaimana juga menurut Henry J. Schmandt, perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles tercium dari konsep teori politik mereka. Berlawanan dengan Plato, epistemologi Aristoteles memungkinkannya untuk mencari prinsip-prinsip yang determinis, esensi dan hakekat, obyek dalam obyek itu sendiri. Ini, lanjut Schmandt kemudian, bermula dari partikular dan indvidu, bukan pada hal universal dan keseluruhan. Teori pengetahuan mensyaratkan adanya metodologi untuk digunakan dalam pengujian dengan dua cara: pertama, pelacakan harus bermula dari investigasi empiris atas institusi dan praktik-praktik yang ada; dan kedua kajian harus bermula dari bagian-bagian yang memperbaiki keseluruhan.[22]
Melalui penjelasan-penjelasan di atas jelas bahwa epistemologi Aristoteles yang membedakan dengan Plato adalah dia berangkat dari hal-hal yang material, partikular dan indrawi dan kemudian diabstraksikan sebagai sebuah konsep pengetahuan yang ada dalam pikiran. Dalam hal ini ada semacam penyelidkan indrawi dahulu sebelum mengkonstruknya menjadi sebuah pengetahuan. Ini berbeda dengan Ide universalnya Plato yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia didapatkan dari pengingatan kembali konsep-konsep dan nama-nama yang sudah ada dan matang di dalam dunia ide. Manusia tidak perlu mengabstraksikan atau menyelidiki, melainkan cukup mengingat dan membuka kembali file-file idea di dunia itu.
Karena itulah, dalam filsafat Islam metode Aristoteles tersebut disebut dengan empiris (masyaiyyah), yang berlawanan dengan konsepnya Plato idealisme (Isyroqiyyah). Berdasarkan sejarahnya, konon, metode ini diterapkan Aristoteles ketika mengajar. Ketika dia mengajar, sikapnya tak pernah diam, melainkan berjalan-jalan atau mondar-mandir. Namun menurut Muthahhari, masyaiyyah atau paripatetik hanyalah sebuah sebutan atau nama dan tidak ada kaitannya dengan metode Aristoteles dan para pengikutnya dalam mencari pengetahuan. Bagi Muthahhari,jika  hendak menggunakan suatu kata yang sesuai dengan pengertian metode filsafat Aristoteles, maka semestinya menyebut metode tersebut dengan metode argumentasi dan bukannya paripatetik (empiris).[23]


B.II.AKSIOLOGI (ETIKA) ARISTOTELES
Setelah mendedah sisi ontologi dan epistemologinya, maka yang terakhir dalam kajian filsafat Aristoteles ini adalah terkait dengan kajian aksiologi[24] dalam sistem filsafat Aristoteles. Aksiologi atau ilmu tentang nilai dalam filsafat dibagi dua:etika dan estetika. Dalam kajian Aristoteles lebih difokuskan pada soal etika. Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah prediket-prediket nilai ‘betul’ (right) dan ‘salah’ (wrong) dalam arti ‘susila’ (moral) dan ‘tidak susila’ (immoral)[25].
Konsep etika Aristoteles ini merupakan konsep moral yang mewakili masyarakat pada zamannya, hal ini setidaknya yang diungkapkan oleh Russell. Dalam mengkonstruk soal etika ini, Aristoteles lebh mendasarkan pada sisi yang paling dalam dari manusia yakni jiwa. Disebutkan dalam bukunya Ethics disebutkan bahwa yang baik adalah kebahagiaan yang merupakan aktivitas jiwa. Maka seluruh nilai keutamaan bersumber dari jiwa ini. Jiwa manusia sendiri, menurut Aristoteles, terbagi menjadi dua: rasional dan irrasional. Jiwa irrasional masih terbagi dua lagi:   vegetatif (yang bahkan terdapat dalam tumbuh-tumbuhan) dan apetitif (yang ada dalam binatang). Namun, pada derajat tertentu jiwa apetitif bisa menjadi rasional, ketika kebajikan yang dicari seseorang bisa kongruen dengan nalar.
Terkait dengan dua jiwa di atas, keutamaan menurut Aristoteles terbagi menjadi dua: intelektual dan moral. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran dan keutamaan moral dihasilkan dari kebiasaan.[26] Terkait dengan keutamaan moral itu, maka yang penting diusahakan bukanlah artikulasi teoritis, melainkan tindakan praktis untuk melakukan hal-hal yang baik secara terus menerus. Termasuk memaksakan sebuah hukum mengenai hal-hal yang baik adalah usaha menanamkan keutamaan moral.
Kata Aristoteles, dengan dipaksa untuk menerima kebiasaan yang baik, suatu saat kta akan menemukan kenikmatan. Aturan hukumnya dalam politik ini juga terkait dengan persoalan etika. Bagi Aristoteles, hukum adalah alat untuk menjamin bahwa tindakan politik didasarkan atas keinginan yang benar. Aristoteles dalam kaitannya dengan etika dan politik lebih berpegang pada sebuah dasar kepada ‘kejahatan watak manusia. Karena kelemahan ini, memberikan kekuasaan tak terbatas kepada manusia bisa membahayakan. Karena pada manusia nafsu seringkali mendominasi rasionalitas, maka aturan hukum bisa-bisa arbriter dan egois, menggantikan sikap rasional dan mensejahterakan semua.[27]
Maka bagi para pemegang kekuasaan dituntut menjalankan kekuasaannya sebatas aturan hukum yang berlaku.Dan sebagaimana konsep politiknya yang lebih memilih jalan tengah, ia merumuskan etika juga bersifat moderat atau berlandaskan pada prinsip jalan tengah. Misalnya dia mengartikan setiap keuatamaan sebagai sebuah pertengahan antara dua sisi ekstrim yang masing-masing buruk. Seperti dia melakukan pengujian tentang sikap keberanian yang dia menyimpulkan bahwa keberanian adalah sikap jalan tengah antara sikap pengecut dan ugal-ugalan.[28]
Karena konsepnya mengenai keutamaan moralitas semacam itu, maka Aristoteles tidak memasukkan kecerdasan rasio dan intuitif sebagai kecerdasan moral. Boleh saja orang menyebut para penyair, sastrawan, seniman, dramawan, cendekiawan sebagai orang-orang cerdas, tetapi mereka belum tentu cerdas secara moral, mereka tak bisa serta merta dikatakan sebagai orang saleh yang layak masuk surga. Karena kriteria keutamaan moral Aristoteles adalah pada tindakan praktis yang didorong oleh kehendak.
Keutamaan terutama lebih berupa tindakan yang menghindari dosa daripada tindakan apapun yang positif. Tak ada alasan untuk mengharapkan bahwa seorang yang terpelajar akan lebih baik secara moral daripada orang yang tak terpelajar, atau orang yang pandai dibandingkan dengan orang yang bodoh.[29] Jadi seorang dosen etika yang menguasai seabrek teori-teori tentang etika, berdasarkan teori Aristoteles ini, belum tentu menjadi orang yang lebih bermoral dari para kuli pabrik atau para petani yang tak tahu apa-apa tentang teori etika. Dan ini memang relevan dengan era sekarang di panggung politik Indonesia. Banyak politisi yang sarjana bahkan doktor; yang teori pengetahuannya soal etika dan kebijakan politik melangit, tetapi kenyataannya mereka tetap korupsi.


C. Penutup
Apa yang ditemukan oleh Aristoteles merupakan sebuah gebrakan besar di masanya sehingga sangat berpengaruh besar terhadap masa-masa berikutnya, utamanya bagi perkembangan kebudayaan Barat. Tetapi ada memang sisi-sisi yang sekarang kurang atau malah sudah tidak relevan. Seperti konsepnya atau jalan tengahnya soal sistem politik. Dan yang mungkin kurang dari Aristoteles terkait dari sisi ontologi dan epistemologinya adalah tidak dijelaskannya mengenai asal-usul (the origin) unsur-unsur material.
Kalau memang esensi atau abstraksi universal justru diangkat dari entitas material dan empiris sekarang pertanyaannya, dari manakah entitas material dan empiris itu? Kalau Plato bisa langsung menjawab bahwa dunia material dan empiris adalah bayangan dari dunia ide universal. Tetapi di dalam konsepnya Aristoteles tidak dijelaskan asal usulnya dunia empiris hubungannya dengan dunia ide tersebut. Memang dalam teorinya dia menciptakan hubungan antara bentuk dan materi. Tetapi apakah antara kedua entitas itu muncul secara bersamaan?
Dan yang kontradiktif lagi adalah soal penggerak utama yang tak tergerakkan (unmoved mover). Aristoteles bilang penggerak utama adalah aktus murni yang berupa akal dan tanpa potensi yang obyeknya adalah pemikiran ilahiyah sendiri. Kalau dia tak punya potensi bagaimana ia memunculkan relitas material yang menurut teorinya tentang gerak bahwa aspek material itu muncul sebagai perwujudan dari potensialita ke aktualita.
Sesuatu yang material itu mewujud (mengaktual) kalau memang ada potensi di dalamnya. Memang dia mengatakan Tuhan bukan materi, tetapi yang justru menjadi pertanyaan di sini adalah bagaimana sesuatu yang immateri dan tidak punya potensi bisa menjadikan atau menyebabkan sesuatu yang material? Ini yang tak dijelaskan oleh Aristoteles. Dia hanya menjelaskan bahwa Tuhan setaraf dengan pemikiran yang aktifitasnya hanya berpikir.







DAFTAR PUSTAKA:

-Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius,Cet.22,2006

-Gie, The Liang, Drs, Hardjosatoto, Suhartoyo, Drs,Asdi, Eandnag Daruni, NY, Dra, Pengantar Logika Modern Jilid 1 dan 2, Karya Kencana Yogyakarta,1980.

-Hunnex, Milton D, Peta Filsafat,Terj. Zubair, Cet. I Teraju, 2004.

-Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat Barat, Terj. Soejono Soemargono, Cet.IX, Tiara Wacana Yogya, 2004.

-Muthahhari, Murtadha, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis Dan Filsafat Praktis, Cet.I, Rausyan Fikr, 2010.

-Nasr, Seyyed Hossein, Mulla Shadra:Ajaran-ajarannya, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds), Tim Penerjemah Mizan, Cet.I. PT. Mizan Pustaka,2003

-Netton, Ian Richard, Al-Farabi And His School,Routledge,2001

-Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Penyunting Kamdani, Cet.III.Pustaka Pelajar, 2007.
-Schmandt, Henry J, Filsafat Politik,Terj. Ahmad Baedowi & Imam Baehaqi, Cet.I, Pustaka Pelajar,2002.

-Tafsir, Ahmad, Prof.Dr, Filsafat Umum-Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, PT. Remaja Rosdakarya,2004.



*Makalah ini dipresentasikan dalam forum diskusi rutin malam Sabtu di PP.Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Cabyen, Bantul, Yogyakarta  oleh ZAT Community pada Jum’at malam Sabtu (6/5/2011)

[1]Lihat Ian Richard Netton, Al-Farabi and His School,Routledge,2001.hlm.1 dan juga beberapa tulisan yang dikutip oleh Netton: AlBayhaqi, Tarikh Hukama Al-Islam, hlm.30; lihat juga Dunlop, Arab Civilization Hingga 1500 M hlm.184 dan Walzer, art. Al-Farabi, El,vol.2.hlm.778

[2] Sebagaimana diketahui, para filosof Muslim sebelumnya, khususnya Ibnu Sina, mengikuti filsafat alam Aristoteles dengan menerima gerak (al-harokah) hanya dalam kategori-kategori kuantitas (kamm), kualitas (kaif), stuasi (wadh), dan ruang/tempat (‘ain), yang semuanya adalah aksiden dan secara eksplisit menolak kemungkinan gerak dalam kategori substansi. Argumen utama Ibnu Sina adalah bahwa gerak mensyaratkan suatu subyek yang bergerak, dan jika substansi suatu obyek berubah melalui gerak trans-substansial, maka tidak akan ada subyek bagi gerak. Mulla Shadra menentang langsung tesis ini dengan mengatakan bahwa setiap perubahan aksiden suatu obyek sebenarnya mensyaratkan perubahan substansinya karena aksiden tidak mempunyai eksistensi yang bebas dari substansi. Shadra menegaskan bahwa selalu ada ‘beberapa subyek’ (maudhu’um ma) bagi gerak sekalipun kita tidak  bisa menetapkan dan menentukannya berdasarkan logika. Lihat selengkapnya dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Kedua), Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds),Tim Penerjemah Mizan, Cet.I,2003.hlm.918-919
[3] Logika dalam sejarahnya yang menemukan adalah Aristoteles….Logika dapat dilacak secara historis dari kelahirannya ada zaman Yunani Kuno, dengan tokoh pelopornya Aristoteles. Meskipun demikian untuk menyebut ajarannya tentang penalaran, tokoh pelopor logika tersebut belum menggunakan istilah logika. Untuk hal dimaksud dipakainya sitilah ‘Analitika’ dan “Dialektika’. Analitika digunakannya untuk menyebut cara penalaran dan perbincangan berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, sedangkan Dialektika dipakainya untuk menyebut cara penalaran dan perbincangan yang berdasarkan pada patokan duga atau pernyataan yang tidak pasti kebenarannya. Lih.Drs. The Liang Gie, Drs, Suhartoyo Hardjosatoto dan Dra.Ny.Endang Daruni Asdi dalam Pengantar Logika Modern JILId I dan 2,1980 hlm.16-17
[4] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius Cet.22.2006.hlm.154
[5] Untuk tepatnya masalah tahun ini dalam buku filsafat ada perbedaan. K .Bertens, misalnya di dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani mengatakan bahwa Aristoteles dipanggil oleh raja Philip pada tahun 342 sementara Bertrand Russell dalam bukunya Sejarah Filsafat Barat mengatakan 343 SM.
[6] Russell melanjutkan bahwa Alexander adalah pemuda ambisius dan bernafsu besar, hubungannya dengan ayahnya buruk dan agaknya tak telaten bersekolah. Aristoteles berpendapat bahwa hendaknya tak ada negara yang berpenduduk lebih dari seratus ribu jiwa dan mengajarkan doktrin tentang jalan tengah. Saya tak dapat membayangkan sang murid akan menghargai gurunya itu selain sebagai seorang penyembah buku yang tua dan menjemukan, yang diperintah oleh ayahnya untuk mengawasinya agar tak ugal-ugalan.Lih. Russell, Sejarah Filsafat Barat,Cet.III,2007.hlm.217-218
[7] K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius Cet.22.2006.hlm.156… Bahkan dalam keterangan Bertens selanjutnya Aristotels juga membangun sbeuah musium untuk mengumpulkan benda untuk menarik perhatian, terutama dalam bidang zoologi dan bootani. Diceritakan juga, Alexander memberikan suatu sumbangan besar untuk membentuk koleksi itu dan memerintahkan smeua pemburu, penangkap unggas dan nelayan dalam kerjaannya, supaya mereka melaporkan kepada Arstoteles mengenai semua hasil yang menarik dari sudut ilmiah.
[8] Ahmad Tafsir,Filsafat Umum –Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,Cet.13,2004.hlm.60
[9] Ontologi berasal dari kata On: kenyataan/ada dan logos: ilmu jadi ontologi adalah ilmu tentang kenyataan atau terkenal dengan teori hakekat. Hakekat adalah realitas, realitas adalah ke-real-an; ‘real’ artinya kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah. Lih. Ahmad Tafsir , Filsafat Umum –Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,Cet.13,2004.hlm.28. Sementara menurut Kattsoff, ontologi ini merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Yang tertua di antara segenap filsof Barat yang kita kenal adalah orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales. Lih. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (terj) Soejono Soemargono, cet.IX,2004.hlm.185
[10] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, (terj) Ahmad Baedowi & Ahmad Baehaqie, Cet.I,2002,hlm.85
[11] Seperti dijelaskan oleh Russell, Sejarah Filsafat Barat, Cet.III,2007.hlm.221.lihat juga Henry. J. Schmandt, Filsafat Politik, Cet.I,2002,hlm.85.


[12] Seperti yang dikutip oleh Russell,dalam Sejarah Filsafat Barat, Cet.III,2007.hlm.221
[13] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius, Cte.22.2006,hlm.187
[14] Russell, memberi contoh dengan sejumlah air: sebagian air itu dapat dibedakan dari bagian lainnya dengan menempatkannya ke dalam sebuah bejana, sehingga bagian ini lantas menjadi “sesuatu”, namun selama bagian ini belum dibedakan dari bagian air lainnya yang homogen maka ia bukan “sesuatu”.Lih. Russell, Sejarah Filsafat Barat, Cet.III,2007.hlm.223
[15] Kattsoff,Pengantar Filsafat,terj. Soejono Soemargono,cet.IX,2004.hlm.165
[16] K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius, Cte.22.2006,hlm.190
[17] K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius, Cet.22.2006,hlm.190
[18] Epistemologi berasal dari kata epistem :pengetahuan dan logos: ilmu jadi epistemologi ilmu tentang pengetahuan atau teori yang sistematis tentang pengetahuan atau akrab dikenal dengan filsafat atau teori pengetahuan. Artinya epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang sumber dan cara-cara memperoleh pengetahuan. Menurut Runes (1971) epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge, seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum –Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,Cet.13,2004.hlm.23
[19] Rosenthal, Knowledge Triumphant,p.209 dan kemudian dikutip kembali oleh Netton dalam Al-Farabi And His School, Routledge,2001.hlm.1 dari Bab III.
[20] Seperti yang dijelaskan oleh K. Bertens bahwa induksi tidak mendapat banyak perhatian dalam logika Aristoteles. Logika Aristoteles hampir tidak membicarakan lain daripada masalah-masalah yang berhubungan dengan deduksi saja. Lih. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius, Cet.22.2006,hlm.168-169
[21] K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius, Cte.22.2006,hlm.188
[22] Schmandt, Filsafat Politik, (terj) Ahmad Baedowi & Ahmad Baehaqie, Cet.I,2002,hlm.86-87
[23] Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Islam:Filsafat Teoritis dan Filsafat Praktis,cet.I.2010.hlm.26
[24] Aksiologi juga dikenal dengan filsafat nilai.Lih.Hunnex, Peta Filsafat, Teraju, 2004.
[25] Kattsoff,Pengantar Filsafat,terj. Soejono Soemargono,cet.IX,2004.hlm.341
[26] Russell, Sejarah Filsafat Barat, Cet.III,2007.hlm.234
[27] Pengetahuan Ilmiah tidak cukup untuk menjamin aturan yang baik; ilmu politik tidak bebas dari syarat-syarat akan keinginan yang benar. Lih. Schmandt, Filsafat Politik, (terj) Ahmad Baedowi & Ahmad Baehaqie, Cet.I,2002,hlm.105
[28] Russell, Sejarah Filsafat Barat, Cet.III,2007.hlm.235
[29] Russell, Sejarah Filsafat Barat, Cet.III,2007.hlm.240.