Friday, December 16, 2011

SUKA DUKA KKN DI JARANAN, BANGUNTAPAN , BANTUL



Oleh : Muhammad Muhibbuddin
Setelah satu minggu pembekalan di kampus, maka pada 25 Oktober 2011, tim KKN ke-75 UIN di lepas ke lokasi oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM), sebuah lembaga di kampus yang mengurusi soal kegiatan kampus di masyarakat, termasuk KKN. KKN ke-75 ini tergolong istimewa. Sebab, KKN kali ini hanya satu kelompok yang terdiri dari 8 orang, 7 cowok dan 1 cewek plus 1 anaknya yang masih kecil. Biasanya KKN diikuti oleh ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang terbgai dalam banyak kelompok. Namun untuk semester ini ternyata hanya satu kelompok. Istimewa kan?????..Ke tujuh mahasiswa cowok itu adalah Arief (ketua kelompok), Gunawan (sekretaris), Ujang , Beni,  Edy, Putro dan Muhib. Sementara 1 mahasiswi cewek itu adalah Titin (bendahara), anaknya, Lintang yang masih berumur 2 tahun diajak ikut KKN. Waktu KKN direncanakan mulai 25 Oktober -17 Desember 2011. Tetapi akhirnya dari pihak masyarakat minta diundur hingga tanggal 18 Desember.
Berangkat dari kampus bersama-sama dengan membawa sepeda motor. Aku membonceng Ujang, putro membonceng Gunawan dan Titien diantarkan oleh suaminya. Sebelum sampai di lokasi KKN, pertama harus singgah ke kantor kelurahan untuk ta’aruf sekaligus uluk salam kepada aparat desa Banguntapan untuk ber-KKN. Di Kantor lurah ini sudah ada petugas LPM yang menunggu. Setelah tim KKN tiba di kantor lurah maka acara penyerahan dan uluk salam pun dimulai. Acara itu tidak berlangsung lama. Hanya sambutan dari ketua LPM sebagai wakil dari  kampus dan dilanjutkan dnegan sambutan dari bapak lurah mewakili masyaakat Banguntapan.  Setelah itu acara selesai.
Setelah acara uluk salam dan penyerahan dari aparat desa selesai, maka tim KKN melanjutkan sendiri ke lokasi KKN. Lokasi KKN ke 75 berada di RT 10 dan RT 11 dusun Jaranan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Letak dusun ini di sebelah Selatan kampus UIN, tepatnya dari perempatan Wonosari ke Selatan. DPL kami adalah Drs. Khalid Zoelva, dosen fakultas Syari’ah UIN dan sekaligus warga Jaranan.  Sebagai sekretariat KKN, kami menyewa rumah pak Basuki (mantan RT 10). Satu orang ditarik 200.000 untuk menyewa rumah selama dua bulan.
Tiba di lokasi sekitar pukul 11.00 WIB, maka kami sekelompok langsung berramah tamah dengan bapak Basuki dan setelah itu kami langsung beres-beres menata barang-barang dan memberishkan rumah yang akan kami tinggali selama KKN. Rumah ini lumayan besar dengan kamar dua dan menghadap ke Timur. Di depan rumah terdapatr halaman dna kebun yang luas dan ditumbuhi oleh banyak pohon Mlinjo dan bunga-bunga. Semua cowok tinggal di rumah ini sementara Titin dan anaknya tinggal bersama tuan rumah di rumah sebelah. Di rumah ini Titin diberikan satu kamar untuk tinggal bersama anaknya.
Setelah bersih-bersih selesai, maka kami pun istirahat menunggu sore. Tugas pertama kali di lokasi untuk satu minggu pertama adalah observasi lokasi untuk mengetahui, mengindentifikasi dan menampung berbagai kebutuhan dan persoalan masyarakat sebagai bahan untuk membuat program KKN (RPK). Untuk melakukan observasi ini, kami harus sedring-sering bersilaturrahim ke masyarakat untuk berdialog. Maka, setelah Ashar, kami semua tim KKN pergi bersilaturrahim ke masyarakat dengan menemui tokokh-tokoh masyarakat setempat.
Pertama yang kami tuju adalah rumah pak RT 10 setelah itu ke ruamh pak RW 40 dan sampai maghrib tiba kami berada di ke pak RT 11. Setelah Maghrib kami meneruskan acara safari silaturrahim ke ketua pemuda (mas Ichus). Inti dari silaturrahim ini adalah untuk ta’ruf atau uluk salam (ijin) untuk ber-KKN dan sekaligus untuk observasi kebutuhan masyarakat.  Hari kedua, kami masih terus melakukan observasi. Pada malam hari, kebetulan, malam Jum’at ada kegaiatan Yasinan bapak-bapak kampung. Kami yang cowok-cowok langsung ikut kegiatan itu untuk berta’aruf dengan warga. Masa observasi ini berlangsung sampai pada akhir Oktober. Maka pada malam 1 Nopember kami mulai berkumpul di rumah DPL kami, Drs. Khalid Zoelva, Msi untuk menysun program berdasarkan observasi yang telah kami lakukan selama satu minggu. Dengan disuguhi aneka macam kue dan makanan seperti rempeyek kacang, makaroni, kacang goreng, kerupuk emping dan keripik pisang ditambah dengan satu teko teh dan satu teko kopi kami tim KKN bersama pak Khalid dan bu Khalid menyusun program KKN untuk dua bulan di Jaranan. Secara umum, KKN, kali ini dikonsentrasikan untuk pengembangan lembaga pendidikan di jaranan yakni TPA An-Najm.
Maka program-program sebagian besar harus diorientasikan ke sana. Dari hasil identifikasi dan inventarisas masalah selama observasi, akhirnya kami menghasilkan beberapa program kolektif yang secara umum kami kategorikan ke dalam program pokok (bidang keagamaan) dan program penunjang. Bidang Keagamaan meliputi empat program yaitu:
a.       Pendampingan dan pengembangan TPA An-Najm
b.      Menyelenggarakan takbur keliling untuk pemuda dan santri TPA An-Najm Jaranan, pada Idul Adha 1432 H
c.       Membantu penyembelihan dan distribusi hewan Qurban 1432 H
d.      Pengajian akbar
Dan bidang penunjang meliputi delapan program yaitu:
a.       Perbaikan jalan desa
b.      Pembuatan marka jalan
c.       Pendataan warga RT 11
d.      Penomoran rumah RT 11
e.       Pembuatan plang Musholla Al-Ikhlas dan TPA An-Najm
f.       Pembuatan proposal TBM dan pengembangan TPA
g.      Diskusi remaja dan pemuda.
h.      Senam kesehatan ibu-ibu.
Setelah pembahasan program kolektif selesai, masing-masing indifidu KKN, juga membuat program indifidu yang dalam aturannya juga terbagi dua yaitu program pokok (sesuai dengan prodi atau jurusan kuliah) dan program penunjang (non-prodi). Minimal masing-masing program itu adalah satu.  Teman-teman membuat porgram inifidu yang bermacam-macam, karena jurusannya memang berbeda-beda. Arief (IT-Saintek), Gunawan (Psikologi-Fishum), Putro (Psikologi-Fishum), Titien (Sosiologi-Fishum), Beni (Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)-Dakwah), Edy (Perbandingan madzhab dan hukum –Syari’ah), Ujang (Aqidah dan Filsafat-Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam) dan Muhib (Aqidah dan Filsafat-Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam).Rata-rata anak-anak KKN ini membuat 4 program indifidu. Dua untuk prodi (pokok) dan dua sebagai penunjang.
Aku sendiri cukup membuat empat program. Dua program pokok (untuk prodi/jurusan) yaitu lomba menulis untuk anak-anak TPA dan pewacanaan nilai-nilai tasawuf dan filsafat melalui aktivasi Mading TPA. Kemudian dua lagi untuk program penunjang yaitu aktivasi mading masyarakat yang telah lama tidak terurus dengan dibuat sebagai mading koran dan pembuatan taman baca Masyarakat (TBM) yang berlokasi di TPA An-Najm. Untuk lomba menulis, pada minggu ke dua bulan November aku umumkan kepada seluruh santri-santri TPA untuk membuat tulisan apa saja baik cerpen, opini, puisi dan yang lainnya untuk aku seleksi dan aku nilai kemudian aku tentukan siapa juaranya dari masing-masing tulisan. Kemudian untuk pewacanaan nilai-nilai tasawuf dan filsafat, aku sendiri menulis sebuah artikel soal tasawuf dan filsafat kemudian aku tempel di mading TPA sekaligus dengan menempel karya-karya santri-santri TPA sebagai langkah awal untuk aktivasi mading TPA yang telah lama mati.
Untuk program mading koran ini awalnya aku terinspirasi dengan adanya mading masyarakat yang sudha lama tidak terurus. Ini aku juumpai saat observasi. Mading inu letaknya di depan gardu ronda. Tempatnya sangat strategis karena banyak digunakan berkumpul orang. Mading itu awalnya hanya difungsikan untuk menempelpengumuman. Tapi lama-lama tidak digunakan alias nganggur karena orang-orang malas menempel pengumuman. Untuk pengumuman masyarakat cukup diumumkan di perkumpulan RT atau pertemuan lainnya. Karena itu aku mempunyai ide bagaimana kalau papan pengumuman itu aku sulap menjadi mading koran. Dengan tujuan, supaya masyarakat bisa meng-update informasi sekaligus untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat. Setelah ngomong dengan pak RT 11 akhirnya diijinkan. Karena itu, pada tanggal 29 Oktober aku pun langsung menemui loper koran setempat yang kebetulan dekat dengan posko KKN. Setelah berjalan setiap pagui tugasku adalah menempel koran Kedaulatan Rakyat (KR) ke mading. Awalnya aku ingin berlangganan koran Kompas yang ada program Kompas mahasiswa dengan harganya yang agak murah. Tapi kata pak loper, di Jaranan Kompas datangnya agak siang maka aku pun berganti langgana KR. Aku berlangganan KR selama stau bulan November (1-30 November) untuk merintis pembuatan mading koran di masayarakat tersebut dengan biaya Rp.65.000,-.
Program itu berakhir pada 30 November dan aku ngomong ke ketua RT dan ketua pemuda untuk meneruskan mading koran tersebut melalui program KR masyarakat. Karena koran KR punya program KR masyarakat yang memberi harga dengan potongan 50% dari harga asalnya. Jadi kalau satu bulan harga KR 65 ribu, maka dengan program KR masyarakat seseorang hanya cukup membayar 35 ribu perbula, lumayan muarh kan? Maka menjelang akhir dari program ku itu, aku pun bersama Ujang ke KR untuk menanyakan soal KR masyarakat tu. Aku temui direktur pemasarannya dan menyarankan supaya pemuda Jaranan mengajukan proposal ke KR untuk membuat memintaKR masyarakat. Maka informasi ini aku smapaikan ke pak RT dan ketua pemuda dan direspon dengan positif. Dari pihak pemuda siap membuat proposal tersebut. Mudah-mudahan berhasil dan mading ya bsia berlanjut terus.
Dan untuk program TBM, awalnya aku hanya bermodal sepuluh eksemplar buku yang aku beli dari Gugun dengan harga Rp.50.000,-. Kemudian aku menulis surat pembaca di Republika dan Harian Jogja (Harjo), aku mendapat bantuan buku banyak dsari masyarakat. Bantuan pertama dari pak Kumpul sebanyak 20 eksemplar, kemudian kedua dari Maulida, mahasiswi hukum UII sebanyak 10 eks, kemudian ketiga dari bapak Agus Hidayanto Jakarta yang menyumbang buku sekitar 100 eks yang dikirim lewat ekpedisi Cobra dan dari mas Aguk Irawan10 eksemplar. Kepada orang-orang yang menyumbang buku ini aku ucapkan banyak terima kasih. Karena itu dengan buku-buku bantuan tersebut plus satu rak buku yang aku beli sendiri, aku bisa membantu mengembangkan TBM yang ada di Jaranan. Mudah-mudahan buku-buku itu bermanfaat besar bagi masyarakat Jaranan. TBM yang ada bisa lebih maju dan mampu menjadi media untuk mencerdaskan dan meningkatkan SDM masyarakat. Itu harapanku, semoga berhasil amiiiiiinnn!!!.
Sejak pertama di Lapamgan, seluruh tim KKN langsung ditempa tugas-tugas KKN. Program kolektif pertama yang kami jalankan adalah pendampingan anak-anak TPA An-Najm. Dalam satu minggu, TPA An-Najm hanya masuk tiga kali yaitu pada ari Senin, Rabo dan Sabtu. Maka pada hari ketiga saat  pertama kali tiba di lokasi, tepatnya pada hari Sabtu, 27 Oktober 2011 kami langsung berta’aruf dengan ustadz-ustadz dan santri-santri TPA dan sekaligus mengajar ngaji ‘Iqra’ para santri. Program ini berlangsung sampai pada haris Sabtu, tanggal 17 Desember 2011.  Ini merupakan program harian.
Selain program harian itu, pada awal-awal di lapangan kami dihadapkan pada hari raya Idul Adha yang jatuh pafa 6 November 2011. Maka program KKN dalam menghadapi monetum Idul Adha tersebut adalah membuat takbir keliling dan membantu masyarakat dalam menyembelih dan mendistribusikan daging kurban. Dalam hal takbir keliling, kami diberitahu masyarakat, terutama dari pemudanya bahwa setiap musim Idul Adha, pemud atidak pernah membuat takbir keliling. Kalau ada takbir keliling di momentum Idul Adha, yang mengadakan adalah pengurus TPA dengan melibatkan santri-santri TPA. Pemuda tidak terlibat dalam takbir keliling kecuali hanya di momentum Idul Fithri. Karena itu tim KKN mempunyai inisiatif bagaimana kalau takbir keliling Idul Adha kali ini dan selanjutnya, di samping melibatkan TPA, juga melibatkan pemuda dan sekaligus pemuda yang menjadi penyelenggaranya. Rencana itu disambut baik oleh pihak TPA dan pemuda.
Maka tiga hari sebelum IdulAdha, tim KKN mengumpulkan pemuda di Mushola Al-Ikhlas untuk membahas program takbir keliling ini. Hasilnya lumayan bagus. Pemuda siap menjadi panitia penyelenggaraan takbir keliling yang diinisiasi dan difasilitasi oleh tim KKN. Ini erupakan yang pertama kali di Jaranan, ada takbir keliling di hari raya Idul Adha yang melibatkan para pemuda. Hasiulnya pun meriah. Pada malam takbir, banyak pemuda-pemudi dan santri-santri TPA dengan membawa oncor dan Helikopter sebagai maskotnya berkeliling Jaranan untuk melakukan takbir keliling.”Allahu Akbar..Allahuakbar..Alllaahuakbar...Laaailaahaillallahuallahuakbar, Allahuakbar walillaaahilhamd” begitulah suara mereka secara bersamaa. Takbir keliling ini berakhir sampai pukul 21.30 dan dilanjutkan dengan pembagian dorprize sampai pukul 23.30 di Mushola An-Najm.
Pagi harinya, setelah Sholat Id,masyarakat Jaranan banyak berkumpul di Musholla untuk menyelenggarakan penyembelihan hewan Qurban. Sebenarnya di Jaranan ada masjid. Tapi pusat kegiatan masyarakat Jaranan, termasuk penyembelihan hewan Qurban bukan di masjid melainkan di Musholla Al-Ikhlas. Takmir Musholla Al-Ikhklas adalah DPL kami sendiri pak Khalid Zoelva. Pada Idul Adha kali ini, ada 6 ekor sapi dan empat ekor kambing yang disembelih. Sejak mulai pukul 9 hewan-hewan Qurban itu mulaiu disembelih satun persatu kemudian dikuliti dan dipotong-potong untuk dibagikan ke masyarakat. Sebagian ada yang diamasak di dapur umum untuk dimakan bersama-sama pada hari itu juga. Satu hari sebelum Idul Adha, tepatnya tanggal 5 Nopember 2011, kami tim KKN membantu masyarakat untuk membuat dapur umum. Dapur umum ini berada di halaman rumahnya sahabat Saiful Anam. Selain membantu membuat dapur umum, kami juga membantu pemuda dalam mempersiapkan parasaran takbr keliling. Setelah daging dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, maka pada pukul 2.00 kami membantu masyarakat untuk membagikannya ke masyarakat.
Setiap KK mendapatkan satu bungkus daging yang isinya sekitar 1 kilo. Kegiatan ini selesai sampai pukul 16.30. tim KKN sendiri mendaoatkan tiga bungkus. Dan setelah Maghrib, daging itu kami masak ke dalam tiga jenis masakan yaitu tongseng, soup dan sate. Edy langsung nelpon ibunya untuk meminta tahu bumbu-bumbu apa yang digunakan untuk membuat soup, Ujang dan putro membuat sate kemudian Gunawan dan Arif membuat tongseng. Titin tidak ikut dalam acara masak-masak itu. Karena sejak habis Ashar tadi dia minta ijin pulang ke kampungnya selama satu minggu.  Aku sendiri hanya nonton TV sambil nunggu masakan matang, enak tooohhhhhhh???? Hehehehe... Setelah semuanya matang, maka makan malam pun dimulai. Soup, sate dan tongseng satu persatu memenuhi mulut dan akhirnya masuk semua ke dalam perut. Enak, segar dan kenyang. Hingga hari berikutnya toingsengnya masih banyak, maka pada hari kedua IdulAdha anak-anak KKN tidak membeli lauk pauk karena masih mempunyai tongseng.
Setelah momentum Idula Adha selesai, maka tim KKN dibenturkan pada persoalan dana. Maka kami pun membuat proposal yang staunya untuk LPM untuk meminta dana stimulan KKN sebesar Rp.1.200,- dan proposal lainnya kami buang ke lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Namun apa yang terjadi? Dari LPM sendiri tidak langsung cair . Setiap kali kami bertanya ke LPM , dari LPM malah memberi jawaban begini: “Dari dulu-dulu KKN yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan saja, dana stimulan itu turunnya memnag terlambat..bahkan ada yang turun ketika KKN...maka apalagi KKN yang hanya satu kelompok!!”. Mendengar jawaban itu aku menjadi heran. Kenapa budaya terlambat yang sangat merugikan itu bukannya diubah, tetapi justru dibudayakan dan dijadikan sebagai justifikasi? Maka, kami pun tak mau tahu. Pokoknya, dana stimulan itu harus turun secepatnya karena kebutuhan keuangan di lapangan sangat mendesak. Para peserta KKN sudah banyak keluar uang priobadi untuk membiayai program. Kami harus marah-marah dan berulang kali melobi ke LPM untuk meminta dana tersebut.
Maka meskipun terlambat dana itu pun turun. Jumlahnya sebesar Rp.1.900.000,- Dana ini yang  Rp.1.200.000,- kami buat membiayai program dan yan selebihnya kami buat membayar kos untuk bulan kedua dan juga untuk pembiayaan sehari-hari. Sementara untuk roposal lainnya, yang jumlahnya sekitar 12 proposal yang kami kirim ke erbagai instansi pemerintah dan swasta, tidak ada yang cair. Kecuali dari Depag Bantul yang memberi sumbangan Rp.100.000,-. Dan dari Dr. Rusli Muhammad (dekan fak.Hukum UII) mendapatkan sumbangan 100.000 mellaui Edy. Bang Rusli (demikian kami memanggilnya) memberi sumbangan karena berdasarkan hubungan kekeluargaan antara Edy dengan bang Rusli sendiri. Karena Edy dan Bang Rusli adalah sama-sama dari Makasar, Sulawesi Selatan. Edy memang agak beruntung karena mempunyai banyak senior dari daerah asalnya yang sukses di Yogya. Sehingga dia bisa mendapat bantuan dari para seniornya itu. Selain dari Bang Rusli, Edy juga mendapat sumbangan dari para seniornya yang lain.
Begitu juga Beni mendapat sumbangan dari dosennya Rp.100.000,-  Dari Depag Provinsi sendiri  tidak memberi sama sekali. Proposal itu ada yang dikirim ke Pemda, DPRD, Dikpora, Badan Pertanahan, Parpol dan lembaga lainnya semuanya tidak ada yang cair. Padahal kami sudah mengeluarkan uang banyak untuk membuat dan mondar-mandir menjajakan proposal-proposal itu. Hampir setiap hari kami selalu mondar-mandir ke sana kemari untuk memasukkan proposal tapi hasilnya nihil. Dari BPN, pernah janji “tunggu besok dik, mungkin ada”. Setelah beberapa minggu kami datangi terus menerus setiap pagi, malah jawabnya” maaf, kalau uang kami tidak ada, tetapi kalau tenaga penyuluhan hukum ada”. Padahal waktu penyuluhan sudah lewat. Maka gigit jarilah kami.
Karena itu, dengan terseoak-seoak anak-anak KKN membiayai programnya. Dana stimulan jelas tidak cukup untuk membiayai keseluruhan program selama 2 bulan. Maka, dengan modal seadanya, anak-anak KKN tetap bekerja merealisasikan program-programnya dengan menggunakan uang pribadi. Tak jarang, untuk membiayai program itu anak-anak KKN harus lari ke sana kemari mencari pinjaman ke teman-teman, saudara dan familinya. Aku sendiri pinjem ke temanku, Rukyat sebesar Rp.50.000,- dan Yanuar sebesar Rp.100.000,-
Dalam program penomoran rumah di RT 11 misalnya adaah program yang memkaan banyak biaya. RT 11 kondisi alamtanyamasih tertinggal jauh dengan RT 10. RT 10 adiministrasinya sudah sangat rapi. Hal ini wajar, karena rata-rata pendduk di RT 10 adalah para pendatang yang kebanyakan pegawai sehingga administrasi RT, termasuk alamat rumah sudah teratur. Ini berbeda dengan RT 11 yang umumnya rata-rata masyarakat menengah ke bawah. Mereka adalah para buruh, petani dan pedagang kecil. Karena itu adimistrasi RT-nya belum tertata rapi, termasuk alamat rumah. Maka RT 11 meminta tim KKN untuk membaut penomoran rumah yang jumlahnya sekitar 65 rumah dan melakukan sensus untuk warga RT 11.
Karena dari pihak RT belum mempunyai data yang jelas soal jumlah warga RT 11 baik yang menetap maupun para pendatang. Dalam pembuatan nomor rumah itu jelas dibutuhkan banyak biaya. Kalau dihitung semuanya habis sekitar 500 ribu. Sementara kas KKN sangat tipis, masih banyak porogram lain yang juga butuh pembiayaan. Dan pak RT 11 sendiri tidak berani meminta dana dari masyarakat. Alasannya , kata pak RT, masyarakat sungguh sulit kalau dimintai biaya, tetapi kalau dimintai tenaga mereka siap. Karena itu, untuk menyasatinya, tim KKN tidak memesan nomor jadi. Tetapi, tim KKN cukup beli mika kemudian dipotong-potong sendiri menjadi 70 potong dan disablonkan ke tukang sablon. Dengan cara demikian ini, pengeluaran biaya isa ditekan.
Dalam hal program sensus penduduk pengerjaannya dibantu dengan pak RT, Rp.50.000 untuk membeli minuman dan rokok. Sensus ini dikerjakan selama tiga hari. RT 11 memang belum mempunyai data yang jelas untuk warganya. Karena itu, pak RT 11 meminta tim KKN untuk melakukan sensus warga RT 11 baik yang tetap maupun yang pendatang. Semua ini dikerjakan oleh tim KKN dengan biaya sendiri. Untuk biata olah data, biaya membuat form sensus dan sebagainya.
Dalam pembuatan plang mushola dan TPA juga begitu. Awalnya kami mau memesan plang jadi. Tetpai setelah ke tempat tukang yang membuat plang itu, kalau dihitung-hitung biayanya ternyata habis  Rp.400.000,-. Maka kami pun beli besi dan seng bekas sendiri ke daerah Wirosaban. Besi sebagai tiangnya dan seng sebagai tempat tulisannya. Setelah itu kami bawa ke tukang las dan kami bawa ke posko. Kami cat sendiri dan kami tulisi sendiri dengan menggunakan phylox dan kami pasang di pintu masuk mushola. Maka, dengan mengerjakan sendiri itu, plang bisa menekan pengeluaran anggaran.
KKN kali ini sering berbarengan dengan momen-momen penting. Selain momen Idul Adha, juga berbarengan dengan momen Sea Games di Palembang. Pada final sepak bola di Sea Games, antara Indonesia vs Malaysia, masyarakat meminta tim KKN untuk membuat nonton bareng di lapangan tennes dekat posko KKN. Maka pada 21 Nopember 2011, ketika final Indonesia VS Malaysia tim KKN langsung menysun program susulan berupa nonton bareng. Dengan cepat acara ini digarap sejak mulai penyewaan LCD dan Proyektor hingga pada tahap pelaksanaannya dilakukan dengan tertib. Nonton bareng pun berjalan bagus. Masyarakat, bapak-bapak, ibu-ibu dan para pemuda-pemudi anyak yang nonton.
Selain program kolektif, program indifidu masing-masing peserta KKN juga berjalan dengan baik. Arif yang mempunyai program pengajaran Iqra’ multimedia kepada anak-anak TPA telah terlaksana, Gunawan yang mempunyai prgram Out Bond untuk santri-santri TPA juga terlaksana, Eddy yang programnya berupa Out Bond untuk pemuda kampung juga terlaksana, Ujang mempunyai program penerbitan buletin TPA dan aktivasi mading TPA juga berjalan, Titin yang programnya penyluhan kesehatan posyandu juga terlaksana, Putro yang programnya training asertivitas juga terlaksana dan Beni yang programnya membuat film soal sejarah TPA juga terlaksana. Masing-masing indifidu rata-rata mempunyai empat  program, dua untuk program pokok dan dua lagi untuk penunjang. Semuanya alhamdulillah terlaksana dengan baik meksipun dengan susah payah dan bahkan terseok-seok akibat kurangnya fasilitas dan dana.
Di smaping sibuk menjalankan program, peserta KKN juga banyak menemani bermain anak-anak kampung yang sering bermian bola atau tennes di depan posko KKN. Sejak  ada KKN, halaman rumah pak Basuki sering dijaidikan arena bermain oleh anak-anak kampung. Banyak para pemuda dan anak-anak kampung yang serring bermain atau berkunjung ke posko KKN dan akhirnya tercipta arena permainan bersama.
Hingga pada akhirnya tak terasa  kurang lebih dua bulan sibuk tenggelam dalam aktifitas KKN. D Maka kini saatnya detik-detik untuk meninggalkan lokasi KKN untuk kembali ke kampus. Pada tanggal 15 Desember, di rumah DPL kami, ada acara yasinan bapak-bapak, maka pada acara itu tim KKn mengikuti acara yasinan terakhir kalinya sekaligus untuk berpamitan kepada bapak-bapak kampung. Dan Pada tanggal 16 Desember 2011, tim KKN secara resmi ditarik oleh LPM dari lokasi. Acara penarikan itu bertempat di kelurahan Banguntapan. Tetapi masyarakat minta tim KKN membuat pengajian akbar pada tanggal 18 Desember. Karena itu tim KKN baru bisa angkat koper dari lokasi pada hariMinggu, 18 Desember 2011. Untuk hari Sabtu, 17 Desember, kami gunakan untuk berpamitan ke rumah pak RT, pak RW danbapak kepala dusun. Kemudian pada malam Minggu (Sabtu Malam), kami membuat bakar-bakaran jagung dengan pemuda-pemudi kampung sekaligus untuk berpamitan pada mereka.
Kini tim KKN telah kembali ke kampus. Segala peristiwa, suka dan duka di lokasi KKN akan menjadi kenangan indah. Mudah-mudahan apa yang diabdikan oleh tim KKN ke-75 meskipn kecil bisa memberi manfaat besar bagi masyarakat Jaranan dan sekitarnya dan KKN kali ini mudah-mudahan  menjadi ikatan persaudaraan selamanya. Sampai jumpa lagi masyarakat Jaranan, see you next time, We always miss you all.





Thursday, December 8, 2011

POLITICAL LIFESTYLE DAN KORUPSI


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Dalam orasi kebudayaannya di TIM (10/11), ketua KPK, Busyro Muqoddas menyindir hidup para pejabat yang hidupnya hedonis. “Mereka hidup parlente, mobil dinas Croen Royal Saloon yang jauh lebih mewah dari mobil Perdana Menteri negeri tetangga. Mereka lebih mencerminkan politisi yang hedonis –pragmatis” tegas Busyro. Gaya hidup (lifestyle) para pejabat yang cenderung glamour, borjuis dan hedonis itu ditengarai menjadi salah faktor menyeruaknya korupsi dilingkungan para pejabat. Memang selama ini akar penyebab korupsi  lebih sering disoroti hanya dari sisi struktural dan kurang memperhatikan pada sisi kulturalnya, termasuk pada gaya hidup para pejabat. Padahal sangat mungkin bahwa maraknya korupsi di Indonesia pada level yang lebih fundamental karena dipicu oleh gaya hidup para pejabatnya yang terlalu mengumbar kemewahan dan glamorisme.
Arena Pergulatan tanda
Politik adalah sebuah arena, dan arena sendiri adalah sebuah gelanggang pergulatan, yakni pergulatan untuk beradu kekuasaan. Namun, sejarah arena sendiri, menurut Piere Bourdieu (2010:127)  bukan hanya sejarah pergulatan memperebutkan monopoli kekuasaan untuk memaksakan dan memberlakukan kategori-kategori persepsi dan apresiasi yang legitim. Sebab, Pergulatan itu sendirilah, lanjut Bourdieu, yang menciptakan sejarah arena; melalui pergulatan arena mendapatkan domesi temporernya.
Sama halnya dengan politik. Politik, pada tataran praksisnya adalah arena untuk memperebutkan kekuasaan. Namun, ini adalah praktik politik yang sudah klasik dan bukan satu-satunya fungsi politik sebagai arena pergulatan. Pada tahap perkembangannya politik bukan hanya berfungsi sebagai arena perebutan kekuasaan. Dalam konteksnya yang paling naif, politik ternyata juga dijadikan sebagai arena pergulatan untuk mencari nafkah. Dalam konteks Indonesia, sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi yang menceburkan ke ranah politik adalah untuk mencari pekerjaan. Sangat minim mereka yang berebut kursi kekuasaan itu sepenuhnya hendak mengabdi kepada rakyat. Misi politik utama mereka tetap untuk mencari “suaka ekonomi” bagi diri dan keluarganya.
Selain sebagai arena perebutan kekuasaan dan medium mencari pekerjaan, politik juga sebagai arena untuk demonstrasi gaya hidup (lifestyle). Inilah maenstream gejala praktik politik di era kontemporer. Kecenderungan para politisi sekarang ini menjadikan politik sebagai arena untuk mengkonstruk dan menebarkan gaya hidup mewah dan performance yang serba wah!. Politik kemudian menjadi arena pergulatan tanda. Ruang politik tidak lagi berisi nilai-nilai substansial yang lebih menitikberatkan pada esensi dan kedalaman politik, melainkan lebih menjadi pertarungan simbol dan artifisialitas. Gaya hidup glamor, borjuis dan hedonis adalah cermin dari budaya yang suka memuja bentuk-bentuk kehidupan yang simbolis dan artifisialistis, lebih suka menampilkan citra daripada nilai, lebih mementingkan bungkus daripada isi, lebih memilih menonjolkan tanda daripada makna.
Karena itu para pejabat yang sudah terkontaminasi oleh virus-virus glamorisme, borjuisme dan hedonisme akan mudah terperangkap ke dalam nalar pragmatis yang lebih mementingkan sisi-sisi permukaan. Mereka hanya sibuk berlomba-lomba memoles wajah dan perfromance mereka melalui daya tarik  materialisme yang dipenuhi oleh mitos-mitos pencitraan (imagologi). Mereka baru merasa gagah dan terhormat kalau membawa mobil mewah, mereka baru merasa modern kalau tas dan sepatunya made in Italy, mereka baru merasa beradab kalau parfumnya buatan Prancis, mereka baru merasa eksis kalau cerutunya satu batang seharga lima ratus ribu dan seterusnya.
Padahal semua itu hanya kesan-kesan kosong belaka. Tidak ada hubungannya antara nilai kodernitas dengan sepatu Italy, tidak ada kaitannya antara nilai kehormatan dengan mobil mewah, tidak ada hubungannya keberadaban manusia dengan mahalnya harga parfum atau cerutu. Justru sebaliknya nilai-nilai seperti kehormatan, keberadaban dan kehebatan seorang pejabat publik itu terletak pada sisi kesederhanaan, kemerakyatan, kebersehajaan dan sejenisnya.  Tidak ada gunanya dan tak bermakna apa-apa, seorang pejabat yang mobilnya mewah, parfum dan cerutunya mahal, tas dan sepatunya buatan Italy, tapi prilakunya buruk dan korup. Bahkan kalau barang-barang mewah itu justru dibelinya dari hasil korupsinya, maka itu jelas lebih naif dan ironis.
Jalan menuju Korupsi
Kehidupan glamor, borjuis dan hedonis di kalangan para pejabat jelas merupakan jalan yang paling potensial menuju korupsi.   Korupsi di Indonesia sekarang ini bukannya turun, tetapi justru melambung tinggi, karena apara pejabatnya memang suka bermewah-mewahan dan senang bergaya hidup mewah. Tingkat korupsi yang terus mengalami eskalasi bisa jadi terkait dengan gaya hidup mewah para pejabat yang tidak terkontrol itu. Bukan hanya para pejabat sendiri yang hidupnya mewah dan glamor, melainkan para istri, anak dan keluarganya juga ikut-ikutan larut dalam gaya hidup yang sama.
 Untuk membuat hidup yang penuh gebyar kemewahan, jelas dibutuhkan biaya hidup yang mahal. Karena itu, para pejabat tidak merasa puas dengan gaji dan fasilitas mewah yang mereka terima. Mereka masih mencari obyekan lain yang tidak halal yang salah satunya adalah dengan menilap atau menggarong uang negara. Karena itu, kalau hendak mengatasi korupsi secara menyeluruh, gaya hidup (lifestyle) para politisi juga harus dirubah. Paling tidak, silahkan hidup glamor dan borjuis, kalau memang itu tidak menggunakan uang rakyat. Persoalannya di sini adalah ketika hasrat borjuisme dan glamorisme itu mendorong seseorang pejabat menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.
Apalagi, kalau para pejabat yang suka bergaya hidup mewah, glamor dan korup itu justru berada di tengah rakyatnya yang miskin, kelaparan dan tidak kuat membayar uang sekolah. Jelas sungguh menyakitkan!!!
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta

   

Tuesday, December 6, 2011

REFLEKSI TRAGEDI KARBALA


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*

Sayyidina Husein bin Ali. as.

Sejarah umat Islam pernah diwarnai oleh peristiwa tragis yang dikenal dengan tragedi Karbala. Tragedi Karbala adalah peristiwa pertumpahan darah antara pasukan Yazid bin Mu’awiyyah dari dinasti Umayyah melawan pendukung dan keluarga cucu Rasulullah Muhammad SAW, Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Pihak Husain terdiri dari anggota-anggota terhormat keluarga dekat Nabi Muhammad SAW sekitar 128 orang yang juga terdiri dari wanita dan anak-anak dari keluarganya.
Sementara , tentara bersenjata Yazid  yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash, berjumlah 4.000-10.000. Tentu sebuah jumlah yang tidak seimbang. Maka peristiwa ini bukan sebuah peperangan melainkan lebih sebagai  pembantaian, karena jumlah pasukan kedua belah sama sekali tidak seimbang. Dalam peristiwa ini seluruh pengikut Husein dibantai habis oleh tentara Yazid. Imam Husein sendiri wafat terbunuh secara sadis oleh tentara Yazid.


Tragedi itu terjadi pada 10 Muharram (10 Asyuro) tahun ke 61 H/680 M. Karena itu, para Muslim Syi’ah, yang dikenal sebagai kelompok “ekstrim” dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad SAW) memperingati persitiwa tragis ini setiap tahunnya selama 10 hari pada bulan Muharram. Dari komunitas Sunni juga banyak yang memperingati tragedi 10 Muharrom itu. Tetapi tidak seekstrim kelompok Syi’ah.
Dalam rangka turut menghormati dan merasakan penderitaan Imam Husein di Karbala, sebagian kelompok Syi’ah melakukannya dengan mencambuk diri sampai berdarah-darah. Ini merupakan wujud kecintaan dan simpati yang tinggi untuk ditujukan kepada Sayyidus Syuhada’ Imam Husein dan para pengikutnya tersebut.

Tragedi kemanusiaan
Tragedi Karbala patut disebut sebagai tragedi kemanusiaan. Apalagi itu dilakukan oleh seorang penguasa dengan balatentara yang besar terhadap kelompok minoritas yakni Husein dan pengikutnya. Bisa dibayangkan bagaimana kejam dan ngerinya peristiwa tersebut. Yang lebih naif lagi, peristiwa kelam dalam sejarah Islam tersebut justru menimpa cucu Rasulullah sendiri yang dilakukan oleh seorang penguasa yang mengaku sebagai pengikut agamanya Muhammad (Islam). 


Ini menunjukkan bahwa meskipun secara ideal ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, namun dalam praktiknya umat Islam sendiri masih banyak yang berprilaku bar-bar, haus darah dan suka bertindak tidak manusiawi kepada saudara-saudaranya sendiri. Prilaku umat Islam yang antikemanusiaan ini ternyata masih terus mengemuka hingga sekarang dalam berbagai bentuk dan manifestasinya. Tak jarang hanya persoalan perbedaan madzhab dan politik, masing-masing orang rela melakukan permusuhan dan pertumpahan darah. Nilai kemanusiaan adalah salah satu dari lima nilai moral Islam. Setiap jiwa layak dihargai dan tidak boleh dilenyapkan secara swewenang-wenang. 


Namun, hingga saat ini kejahatan kemanusiaan terus mengalami eskalasi, terutama di dalam komunitas umat Islam sendiri. Dalam konteks yang lebih universal, peristiwa-peristiwa tragis yang menghancurkan tatanan nilai kemanusiaan juga tumbuh semakin semarak. Maraknya aksi terorisme, anarkhisme, korupsi, egoisme, diktatorisme dan sejenisnya masih terus menghiasi lanskap kehidupan kita.
Di Indonesia sendiri berbagai aksi kekerasan, korupsi, terorisme dan berbagai bentuk kejahatan lainnya masih tumbuh subur. Manusia sekarang nampak telah kehilangan hatinurani dan akal sehatnya sehingga cenderung tega terhadap sesamanya. Seorang koruptor yang rakus menilap uang rakyat sehingga mengorbankan kehidupan rakyat kecil adalah sosok manusia yang super tega, sama sekali tidak mempunyai perasaan. Para pejabat yang ekstase dalam budaya hedonisme dan glamorisme di tengah rakyatnya yang menjerit karena kemiskinan dan rendahnya gaji buruh  adalah sosok-sosok yang telah mengalami krisis kemanusiaan akut. Begitu juga para teroris yang dengan seenaknya menebar bom dan tindak kekerasan di mana-mana adalah sosok manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya terhadap yang lain. 


Krisis kemanusiaan kini semakin menggejala di tengah kehidupan kebangsaan kita. Hal ini terutama di kalangan para elit. Akibatnya adalah berbagai bencana kemanusiaan. Anehnya, berbagai kejahatan kemanusiaan itu justru sering dibungkus dengan baju agama, hukum dan konstitusi. Orang melakukan kejahatan kemanusiaan seringkali berdalih dengan mengatasnamakan Tuhan, hukum dan undang-undang. Bencana terbesar dalam sejarah manusia adalah bencana kemanusiaan. Dan ironisnya ini justru banyak disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Manusia  dalam realitasnya masih belum mampu menghargai eksistensi kemanusiaannya. Seringkali peradaban manusia yang dianggap maju dan paling modern justru banyak menimbulkan dehumanisasi di berbagai sektor kehidupan manusia. 


Padahal keewajiban moral manusia yang paling prinsip adalah menjaga dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaannya yang universal. Ebeling, dalam Dogmatik des Christlichen Glaubens (1982), mengemukakan kritiknya bahwa  hanya manusia dapat menjadi tidak manusiawi. Bahkan manusia yang tidak manusiawipun mempunyai tuntutan untuk diperlakukan secara manusiawi. Ini artinya bahwa misi kemanusiaan universal adalah misi utama bagi kehidupan umat manusia di muka bumi. Ketika kehidupan manusia tidak lagi bisa menjamin tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal, apa kemudian nilai dari kehidupan itu?


Sebagai refleksi
Karena itu, peristiwa Karbala hendaknya tidak hanya  diratapi. Tetapi yang lebih penting adalah dijadikan ajang refleksi untuk memikirkan secara mendalam soal pentingnya nilai kemanusiaan universal. Jangan sok bangga dengan umat beragama. Karena orang-orang yang mengaku beragama justru sering bertindak kejam dan tidak manusiawi atas nama agamanya. 


Bagaimanapun, kemanusiaan universal adalah nilai utama yang tidak bisa ditukar , apalagi dikorbankan demi sekeranjang kekuasaan apapun. Manusia selagi hidup di dunia, memang dituntut untuk terus memikirkan dan merumuskan eksistensi kemanusiaannya. Sebab, manusia ternyata mudah lupa sehingga secara tak sadar sering merendahkan kemanusiaannya, khususnya ketika di dalam kekuasaan.


*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta

TRAGEDI KARBALA DAN KEJAMNYA KEKUASAAN


Oleh: Muhammad Muhibbuddin*



Tragedi Karbala yang terjadi pada 10 Muharram tahun ke 61 H adalah cermin buramnya potret sejarah Islam. Dalam peristiwa berdarah ini, Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya berjumlah 128 orang dibantai habis oleh tentara Yazid bin Mu’awiyyah, khalifah dari dinasti Umayyah. Imam Husein sendiri terbunuh secara sadis dalam peristiwa ini. Peristiwa inilah yang diperingati oleh kelompok Syi’ah hingga sekarang. Peringatan itu merupakan wujud simpati terhadap targedi Karbala yang turut menewaskan cucu Rasulullah tersebut. Karena peristiwa ini pula Imam Husein dikenal sebagai sayiidus Suhada’.



 
10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah padang Karbala memerah, banjir darah Al-Husein (sa) dan para syuhada’ Karbala. Bumi dan langit seolah menangis sedih mengiringi perginya Imam Husein dan para syuhada’ lainnya. Dari peristiwa tragis inilah, kelompok Syi’ah yang dikenal sebagai pecinta keluarga Rasulullah mengutuk keras para penguasa dari dinasti Umayah. Mereka menuduh keluarga Mu’awiyyah merampas kekuasaan yang seharusnya dipegang oleh Ali binAbi Thalib sebagai keturunan Rasulullah.  Imam Khomeini dalam ceramahnya di Najef Iraq secara terang-terangan mengatakan : “ Setelah wafatnya Nabi SAW, musuh-musuh Islam dari Bani Umayyah, semoga Allah melaknat mereka, tidak mengizinkan pemerintahan yang berwilayah pada Ali bin Abi Thalib”.
Agama dan kekuasaan
Sejarah perdaban Islam paska Rasulullah memang diwarnai oleh tragedi kekuasaan. Bukan hanya Imam Husein yang wafat terbunuh. Ketiga Khulafuarrasyidin, yakni Umar, Utsman dan Ali sendiri juga wafat terbunuh. Penyebabnya sebenarnya satu yakni konflik kekuasaan. Karena itu, berbicara soal sejarah Islam bila dilihat dari sisi politik dan kekuasaan, maka yang terjadi kebanyakan adalah intrik dan aksi saling bunuh membunuh antara kelompok satu dengan yang lain. Ini terlebih paska khulafaurrasyidin, maka kebanyakan pengusa Islam adalah sosok-sosok yang diktator dan haus darah.

Inilah tragisnya dalam Islam. Politik dan agama telah menjadi satu kesatuan unsur yang sulit dipisahkan. Sehingga dalam berbagai pergolakan politik yang menjadi korban adalah Islam itu sendiri.  Islam sebagai agama kemanusiaan menjadi tercoreng oleh berbagai konflik kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Politik dan agama (Islam) sebenarnya unsur yang berbeda. Tetapi dalam Islam seringkali bercampur baur bahkan tumpang tindih. Kuatnya unsur kekuasaan dan politik dalam Islam seringkali mengaburkan dan bahkan menenggelamkan substansi Islam itu sendiri sebagai universal values yang lebih menekankan pada dimensi sosial-kemanusiaan.  Imbasnya adalah timbulnya sebuah pandangan bahwa seolah misi utama Islam adalah kekuasaan dan bukannya kemanusiaan. Ini jelas sebuah distorsi.


Memang membedakan secara total antara agama dan politik adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sebab, agama ketika eksis dalam ruang sejarah ia juga menjadi fenomena politik. Politik adalah seni mengatur hubungan antar manusia. Sementara agama secara simplisit merupakan pola relasi antara manusia dengan Tuhan yang dipraktikkan dalam berbagai bentuk.. Keduanya  mempunyai kesamaan dan sekaligus perbedaan. Namun yang pasti keduanya saling mempengaruhi. Kesamaan utama agama dan politik adalah pada subyek atau pelaku dari praktik keduanya.  Baik politik maupun agama subyek pelakunya adalah manusia. Tanpa manusia keduanya tidak berarti. Walaupun demikian, seni dan misi kepemimpinan politik harus berbeda dengan pola dan misi kepemimpinan agama-agama. Praktik keduanya tidak boleh mengaburkan sisi ontologi masing-masing.
Sayangnya, dalam praktiknya perbedaan hakiki antara  agama dan politik seringkali tidak dibedakan, sehingga seringkali menimbulkan absurditas. Rupanya absurditas hakekat politik dan agama inilah yang dimanfaatkan oleh para politisi untuk melegitimasi kekuasaannya. Tak jarang banyak politisi yang menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kursi kekuasaannya. Dan sering pula banyak tokoh agama yang menggunakan strategi-strategi politik untuk mengukuhkan kekuasaannya atas umatnya. Padahal politik dan kekuasaan selamanya selalu meminta korban. Agama sering menjadi korban politik dan kekuasaan. Begitu juga dengan umat beragama tak jarang menjadi korban kekuasaan bagi para pemimpinnya. Ini yang tidak disadari oleh para pelaku agamawan yang politisi dan politisi dan berlabel agama.
Memperebutkan otoritas
Secara khusus, problem kekuasaan dalam Islam pada dasarnya adalah memperebutkan soal otoritas pemegang kekuasaan paska Rasulullah. Peristiwa Karbala adalah masuk dalam konteks perebutan otoritas kekuasaan ini. Dalam memperebutkan otoritas itu argumentasi yang dipakai adalah agama. Kelompok Syi’ah mempunyai keyakinan kepemimpinan politik dan agama harus dipegang oleh keturunan Rasulullah Muhammad SAW dan bukannya oleh yang lain. 


Sementara lawannya, dari kelompok Mu’awiyyah meyakini kepemimpinan paska Rasulullah tak harus dari keturunan Nabi. Dan ironisnya, prinsip ini dijadikan oleh Mu’awiyyah untuk mewariskan kekuasaan kepada anak turunnya, termasuk kepada Yazid. Dalam peristiwa Karbala ini persoalan agama dan politik begitu campur aduk sehingga sulit diidentifikasi secara pasti sisi-sisi kebenarannya. Husein dalam tragedi ini bukan hanya menjadi korban atas kebiadaban dan kekejaman Yazid, tetapi juga korban campur aduknya agama dan politik dalam Islam itu.
Tragedi kekuasaan yang merusak keluhuran Islam itu hingga kini masih terus bergejolak di kalangan umat Islam. Masih saja Islam diseret-seret untuk dijadikan sebagai komoditas politik. Akankah tragedi Karbala ini akan terus muncul karena umatnya asyik berkonflik berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan agama?
 *Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta