Monday, November 21, 2011

JANGAN KORBANKAN HUTAN DEMI SEKEPING DOLLAR

Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Ada yang ganjil dari pernyataan presiden SBY ketika menanggapi kritikan dari berbagai elemen masyarakat tentang diberlakukannya peraturan pemerintah No. 2 tahun 2008. Dengan diplomatis SBY bilang bahwa PP tersebut tidak dimaksudkan untuk merusak hutan lindung, tetapi justru untuk meningkatkan kontribusi kepada negara dari 13 perusahaan tambang yang sudah berada di kawasan hutan lindung (Kompas, 23/2/2008). Lebih lanjut SBY mengatakan bahwa PP ini merupakan kelanjutan dari PP pengganti UU. No.1 tahun 2004 yang merupakan visi dari UU.no.4/1999 tentang kehutanan dan di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri perpu itu ditindaklanjuti dengan keputusan presiden No.41 /2004 yang mengatur tentang perizinan kepada 13 perusahaan.
Selintas kalau diamatai pernyataan SBY tersebut merupakan hal yang wajar-wajar saja. Apalagi itu sudah diatur secara legal dalam bentuk PP, tentu kebijakan ini sudah legitimate secara yuridis sehingga sudah tidak ada masalah. Namun semudah itukah SBY beralibi? Jawabnya tentu saja tidak.
Meskipun secara prosedural sah, namun bukan berarti kebijakan itu belum tentu sah secara substansial. Karena aspek –aspek fundamental seperti aspek moral, sosial dan kultural kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah. Hal-hal fundamental itu, dalam bentuknya yang spesifik adalah menyangkut keselamatan lingkungan hidup terutama hutan. Karena hutan adalah unsur ekosistem yang sangat penting, terutama untuk sekarang ini, demi menopang kehidupan orang banyak. Kita lihat bagaiamana sekarang ini kehidupan kita sering dihantam badai dan banjir bandang, karena hutan kita sudah banyak yang mengalami kepunahan. Atas dasar itulah, maka aspek-aspek fundamental terebut harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan di atas.
Namun kenyataannya, pertimbangan SBY untuk melakukan kebijakan tersebut hanya sekedar untuk mengatur hasil kontribusi dari 13 perusahaan tersebut. Ini merupakan sebuah pertimbangan yang cukup sembrono. Itu artinya, pemerintah lebih mementingkan interest ekonomi daripada berkomitmen melindungi rakyatnya dari ancaman bencana. Bagaimanapun juga hutan adalah unsur kehidupan yang sangat vital. Sementara harus diakui bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya penghancuran hutan adalah aktifitas industrialisasi para agen kapitalisme. Prinsip kapitalisme adalah profite oriented. Sehingga hal-hal yang selain profite halal untuk dikorbankan demi meraup profit yang sebesar-besarnya. Inilah bentuk kerakusan para kapitalisme. Dengan kerakusan kaum kapitalis ini, seperti kata A. Sonny Kerraf (2002) agenda ekonomi selalu diprioritaskan sehingga agenda lingkungan hidup selalu diminta untuk dikorbankan demi agenda ekonomi.
Coba kita renungkan, hutan kita, semakin lama, terus mengalami kerusakan. Di Jawa saja Palte en Tempelmen (1978) menyebutkan bahwa berdasarkan foto-foto satelit, luas hutan di Jawa pada waktu yang bersangkutan (termasuk hutan-hutan jati) hanya 12 persen dari seluruh pulau. Sebelum perang dunia kedua luas hutan kurang lebih 30 persen. Maka Ini berarti wilayah jawa telah berada dalam ketidakseimbangan ekologis. Ini belum ditambah kerusakan-kerusakan hutan di pulau lainnya seperti di kalimanatan atau Sumatra akibat illegal logging atau kebakaran. Ini semakin membuat geografis negara kita berada dalam ketidak seimbangan ekologis yang akut.
Dan ini tidak disadari oleh pemerintah sendiri. Seharusnya program pemerintah sekarang adalah melakukan penghijauan secara maksimal untuk menanggulangi ketidak seimbangan ekologis di negara kita itu. Dalam apologinya, SBY memang sudah menyatakan bahwa program pemberian ijin kepada 13 perusahaan ini sebenarnya adalah juga demi memperbaiki hutan. Usaha SBY ini sama halnya mengail di air yang keruh, sia-sia saja. Sebab, seperti sudah disinggung di atas bahwa , nonsense para perusahaan itu mau berusaha menjaga kelestarian hutan. Karena, sekali lagi kepentingan mereka adalah mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Sekarang kita lihat saja, selama perusahaan –perusahaan itu masih beroperasi bagaimana kondisi hutan dan lingkungan kita, tambah baik atau buruk? Fakta sudah membuktikan justru kerusakanlah yang ditmbulkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Bukti konkritnya, kita lihat, bagaimana sekandal Freeport yang merusak lingkungan di tanah Papua sehingga sampai pernah menyebabkan rakyat setempat berdemontstrasi. Belum lagi Lapindo Brantas, yang sekarang kasusnya hendak dikaburkan dengan menjadikan statusnya sebagai akibat bencana alam dan lain sebagainya.
Berangkat dari fakta itu sangat jelas bahwa kalau ijin 13 perusahaan itu tetap diberlakukan maka yang terjadi adalah eskalasi perusakan hutan. Dan kalau sudah begini maka yang terkena dampaknya secara langsung adalah masyarakat bawah yang tak tahu apa-apa.
Memang lagi-lagi ini adalah keslahan kita sendiri sebagai bangsa. Kita adalah bangsa yang kaya dengan sumber daya alam. Hampir seluruh kekayaan alam ada semua. Bumi kita subur sehingga segala macam tanaman ada. Emas, tembaga, perak, minyak, nikel dan sebagainya menumpuk di dalam bumi kita. Maka tak heran kalau budayawan Emha Ainun Nadjib menyebut bumi kita Indonesia dengan istilah bocoran Surga. Namun sayangnya, kekayaan alam yang melimpah ruah itu tidak kita imbangi dengan kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni. Sehingga kita terus bergantung pada tenaga asing untuk mengelola sumber daya alam kita.
Namun yang harus dicatat, dalam proses pengelolaan ini jangan lantas kita seenaknya sendiri. Dengan iming-iming Dollar lantas kita terbuat terbuai sehingga lupa kalau ekosistem kita, hutan lindung kita, lingkungan kita juga butuh penjagaan dan perlindungan. Maka kalau memang ke 13 perusahaan itu diijinkan untuk membuka pertambangan di hutan-hutan lindung kita, seharusnya mereka harus diberi persyaratan untuk bisa menjaga hutan lindung kita dan lingkungan sekitar. Jangan sampai dampak-dampak negativ terhadap hutan dan lingkungan hidup kita, seperti yang telah ditimbulkan oleh Freeport, Lapindo, Newmont dan sebagainya, terus berlanjut.
Tapi apakah pemerintah mampu mendeterminasi para agen kapitalisme tersebut untuk bisa menjaga kelestarian hutan dan lingkungan?. Di era kapitalisme global ini, di mana regulator pasar menjadi raja, maka sangat tidak mungkin pemerintah kita bisa dan berani mengintervensi perusahaan-perusahaan tersebut. Justru sebaliknya pemerintahlah yang harus tunduk dan manut dengan intruksi dan indoktrinasi para cukong kapitalisme tersebut.
Oleh karena itu, apapun alasannya, kalau langkah pemerintah dalam menangani masalah pertambangan ini masih terus terseret oleh nalar kapitalisme, sehingga yang dipentingkan adalah materi semata tanpa mempedulikan keselamatan hutan dan lingkungan hidup maka kebijakan itu justru merupakan bentuk kejahatan yang senagaja dilegalkan. Karena jelas, ini sangat mengancam keselamatan hidup orang banyak. Maaf bung, jangan gadaikan hutan kami demi sekeping Dollar.
*Muhammad Muhibbuddin adalah aktif dalam forum diskusi filsafat “ZAT Community"Yogyakarta

No comments:

Post a Comment