Friday, November 11, 2011

BERAGAMA DI ERA POSTMODERNISME

Wacana postmodernisme menjadi sebuah diskursus yang debatable baik dalam kancah pemikiran akademik maupun sosial. Ia menjadi grand tema yang turut menjadi bagian di hampir semua disiplin ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial dan humaniora.
Secara singkat gerakan postmodernisme hanyalah sebuah reaksi terhadap modernisme. Ia merupakan semangat pemikiran yang mencoba menggugat asumsi-asumsi dasar modernisme. Bagi postmodernisme nalar dan paradigma modern adalah bangunan pemikiran yang telah usang dan oleh karena itu tidak berlaku kembali. Tapi meskipun demikian postmodernisme ini pada hakekatnya juga bagian dari modernisme.Ia bukanlah gerakan pemikiran independen yang seratus persen terlepas dengan modernisme. Menurut Lyotard, kata post dalam post modernisme bukan bermakna telah atau paska modernisme. Gerakan postmodernisme ini tidak bisa dianggap sebagai gerakan baru setelah modernisme atau strukturalisme. Ia tetap merupakan bagian yang integral dari modernisme. Bahkan Habermas menyebutnya sebagai proyek modernisme yang belum selesai.
Untuk memahami apa itu postmodernisme, yang lebih tepat adalah dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri dan asumsi dasar pemikirannya yang membedakan dengan pola pemikiran modern. Lantas sekarang apa ciri khas pemikiran modern versus postmodern itu? Lebih tepatnya, corak pemikiran modernisme yang bagaimana yang menjadi sasaran dekonstruksi postmodernisme? Pemikiran modernisme yang menjadi sasaran kritik dan dekonstruksi postmodernisme adalah pola-pola pemikiran yang memposisikan manusia sebagai satu-satunya subyek dan dunia eksternal manusia sebagai obyek. Hal ini seperti yang tercermin dalam asumsi –asumsi modernisme yang menjadi dasar dari seluruh bangunan epistemologinya. Asumsi-asumsi itu diistilahkan oleh Lyotard dengan narasi-narasi besar (grand narratives) atau metanarasi (menurut Arandt). Asumsi-asumis itu misalnya berupa klaim rasionalisme, postivisme, materialisme dan humanisme. Sederetan paham ini mempertegas posisi manusia sebagai subyek dan rasio sebagai pusat.
Narasi besar tersebut merupakan sebuah klaim kebenaran universalisme yang ditotalitaskan menjadi dasar pegangan hidup yang pasti dan mengatasi seluruh realitas. Sehingga segala sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi-narasi besar itu tidak dianggap sebagai kebenaran. Dengan demikian ia merupakan pemikiran yang tunggal, seragam dan serba pasti atau absolut. Asumsi-asumsi dasar yang metanaratif semacam inilah yang digugat oleh postmodernisme. Gugatan terhadap modernisme yang serba pasti, tunggal dan absolut tersebut diawali oleh Heidegger dan puncaknya pada Derrida. Dengan proyek destruksinya Heidegger mencoba melebur dualisme subyek dan obyek yang dikapling secara jelas dan pasti oleh modernisme.
Ia menegaskan bahwa manusia dan alam sekitarnya adalah interrelasi yang saling mempengaruhi, sehingga tidak mungkin manusia menjadi satu-satunya subyek dan pusat yang menentukan gerak sejarah. Leburnya dualisme tersebut semakin lumat seiring dengan tampilnya Derrida. Kalau destruksinya Heidegger terhadap modernisme—yang menurut Derrida masih dibayang-bayangi absolutisme— itu masih ada kemungkinan untuk dibangun kembali, maka Derrida membawa proyek Heidegger itu ke wilayah yang lebih radikal. Ia telah memecah, mengahncurkan dan memporak-porandakan bangunan pemikiran modernisme sedemikian rupa sehingga tidak ada kemungkinan lagi untuk direkonstruksi. Palu yang digunakan oleh Derrida untuk melululantahkan paradigama modernisme tersebut adalah dekonstruksi.
Dengan dekonstruksi, narasi-narasi besar, yang serba pasti, tunggal, seragam dan absolut tersebut dicoba oleh postmodernisme untuk diganti dengan paradigma yang serba mungkin, plural, warna-warni dan relativ bahkan nihilis. Sehingga dunia postmodernisme adalah dunia yang tanpa pusat dan standar baku secara universal. Pandangan dunia modern yang cenderung dipakemkan, didisiplinkan dan ditotalitaskan akhirnya menjadi puing-puing kebenaran yang berserakan dan tak teratur.
Praktik keberagamaan di era postmo
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan sejarah peradaban manusia di atas, sekarang, bagaimanakah baiknya kita mengimplementasikan praktik keberagamaan kita? Pertanyaan semacam ini penting, karena untuk menjawab persoalan masalah keberagamaan di tanah air kita yang akhir-akhir ini dalam gejolak. Fenomena bergejolaknya praktik keberagamaan itu ditunjukkan dengan tragedi penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyyah yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu.
Apapun alasannya praktik penyerangan, teror dan ancaman terhadap kelompok Ahamadiyyah adalah tindakan kriminal yang tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun moral. Landasannya jelas bahwa masalah keyakinan atau agama adalah masalah fitrah manusia, masalah hak pribadi yang paling asasi. Ia merupakan hasil internalisasi dari pencarian, penghayatan dan pengalaman seseorang terhadap realitas hakiki. Oleh karena itu seseorang tidak boleh memaksa atau melarang kepada orang lain untuk berkeyakinan lain . Karena ini merupakan penghayatan pribadi, maka sudah barang tentu hasil pencarian atau penghayatan antara satu dengan yang lainnya berbeda. Meskipun itu bertentangan dengan keyakinan atau agama mayoritas yang menjadi mainstream masyarakat tertentu, bukan berarti ia salah. Salah dan benarnya sebuah keyakinan tidak bisa ditentukan dengan standar mayoritas atau minoritas kelompok. Meskipun FUI atau MUI yang mengklaim diri sebagai mayoritas, ia tidak bisa menuduh Ahmadiyyah sebagai kelompok yang salah atau sesat. Atas dasar kebenaran apa FUI atau MUI berani menjamin dirinya sebagai kelompok Islam yang benar dan Ahamdiyyah sebagai kelompok agama yang sesat.Lebih dari itu, masalah perbedaan keyakinan dan agama di negara kita, mendapat perlindungan undang-undang.
Masalah penghakiman sepihak terhadap Ahamadiyyah tersebut adalah sebuah potret praktik agama yang sudah usang, yakni sistem dan pola beragama yang menawarkan kepastian, kejelasan dan cenderung mengabsolutkan serta mentotalitaskan ajaran-ajarannya. Nilai-nilai dalam agama itu lebih diposisikan sebagai pakem ilahi yang absolut dan final dari pada sebuah bangunan nilai yang relatif dan dinamis.
Maka kalau agama masih tetap ingin mendapatkan tempat dalam peradaban postmo, pola keberagamaan yang sudah kedaluwarso tersebut saatnya harus didekonstruksi. Dalam beragama seseorang tidak lagi menjadikan paham keagamaanya sebagai satu-satunya kebenaran tunggal, melainkan tetap mengapresiasi kemungkinan-kemungkinan kebenaran lain di laur dirinya. Agama jangan lagi menawarkan ajaran-ajaran yang serba baku, jelas, absolut dan pasti melainkan lebih memberikan gedoran, rangsangan dan tantangan dengan sejumlah kemungkinan kepada pemeluknya. Agama jangan lagi membuka ladang kepastian yang di dalamnya tertanam nilai-nilai yang sifatnya sudah jadi dan pasti dan kemudian ditotalitaskan, tetapi sebaliknya agama harus bisa membuka semesta kemungkinan yang di dalamnya bersemayam beragam relatifitas dan semangat pencarian. Biarlah pelaku agama itu sendiri nantinya yang menemukan bentuk-bentuk kebenaran, agama cukup memposisikan dirinya sebagai lading pencarian itu.
Jadi dengan demikian, beragama di era postmo bukan lagi untuk mengambil bentuk dan ajaran yang merupakan produk yang sudah jadi dan final, melainkan justru sebuah pelecut untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang tak kenal batas dan kata selesai. Dengan demikian , dalam beragama sekarang ini, yang dibutuhkan adalah dialog dan saling membuka diri, bukannya saling menghakimi dan menutup diri.

NIKMATNYA HIDUP BERGOTONG ROYONG

Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Ada yang menarik dan inspiratif dari masyarakat Dusun Legundi, Giri Mulyo Gunung Kidul, Yogyakarta. Seperti yang diberitakan oleh Kompas Yogya (17/6/2009) bahwa masyarakat tersebut mampu membangun infrastruktur jalan melalui jimpitan. Salah seorang warga bahkan menyatakan bahwa melalui hasil jimpitan itu bukan hanya infrastruktur desa semisal jalan yang bisa dibangun, tetapi juga bisa dipinjamkan untuk pemenuhan kebutuhan warga satu RT. Jimpitan adalah secendok beras yang disumbangkan oleh warga masyarakat untuk kegiatan sosial. Jimpitan itu biasanya ditaruh di dalam cangkir atau wadah kecil lainnya dan diambil petugas ronda pada malam hari.
Secara material, orang bisa menganggap remeh tradisi jimpitan ini.Apa artinya secendok beras. Namun fakta membuktikan, secendok beras yang terkumpul tiap malam itu ternyata mampu membuahkan sesuatu yang besar. Para anggota masyarakat dusun Legundi awalnya barangkali juga tidak mengira bahwa satu sendok beras yang mereka sumbangkan itu mampu menjadi media untuk membangun infrastruktur dusun dan membantu sesamanya.  Sesuatu yang kecil, namun benar-benar bermanfaat besar.
Gotong royong
Kita lantas bertanya apa sebenarnya kunci dibalik itu semua? Jawabannya tidak lain adalah gotong royong. Tradisi jimpitan masyarakat dusun Legundi tersebut bukan sekedar aktifitas sosial yang biasa-biasa saja, melainkan artikulasi dari budaya gotong royong. Inti budaya gotong royong adalah semangat saling membantu antar anggota masyarakat. Ketika seorang anggota masyarakat satu mendapatkan masalah atau mempunyai gawe besar, secara tulus mereka ramai-ramai membantu. Atau apalagi kalau itu berkaitan dengan urusan sosial kemasyarakatan yang sifatnya lebih umum. Dengan semangat gotong royong, semua anggota masyarakat tanpa merasa keki,  turut ikut terlibat. Dengan saling melibatkan diri, secara implisit mereka telah bekerja sama, tolong menolong dan bantu membantu dalam menyelesiakan problematika sosial.
Inilah nilai atau manfaat besar budaya gotong royong. Manusia selamanya tidak bisa hidup sendiri. Untuk mempertahankan kehidupannya agar tetap eksis, mau tidak mau ia harus melobatkan pihak lain. Sebab, sangat tidak mungkin setiap indifidu mampu menyelesiakan problemnya dengan dirinya sendiri tanpa peran orang lain. Melihat karakter alamiah manusia yang demikian ini, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (ijtima’ insani) merupakan suatu keharusan. Dengan organisasi ini,  manusia tudak boleh tidak, sangat membutuhkan gotong royong. Selama gotong royong tidak ada, seseorang akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi berbagai persoalannya. Sebab, persoalan-persoalan yang ada di itu memerlukan banyak tangan dan peran untuk menyelesaikannya.
Komunitas masyarakat apapun, baik levelnya itu keluarga maupun negara, pada prinsipnya terwujud oleh kesadaran untuk bergotong royong. Ini membuktikan bahwa karakter manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa dihindari. Untuk apa manusia membutuhkan keluarga, membutuhkan komunitas, membutuhkan organisasi sosial dan bahkan negara, tidak lain adalah untuk menjalin kerja sama dan gotong royong antar sesama anggotanya demi terwujudnya cita-cita yang diinginkannya. Dalam bahasanya Aristoteles, manusia memerlukan kebersamaan sosial dan politis dengan semua yang diimplikasikannya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan asketik, keilmuan dan moral dan pengetrahguan yang luas. Semangat berkomunitas dan bersosial semacam ini tidak lain adalah usaha untuk menjalin gotong royong. Karena orientasinya jelas, bahwa masing-masing indifidu ternyata saling membutuhkan yang lain untuk diajak bersama-sama mengatasi persoalan.
Dengan tradisi gotong royong itu, masing-masing indifidu bisa saling menjinjing dan menjunjung atas masalah yang mereka hadapi. Masalah satu tidak disangga oleh satu orang, tetapi ditopang oleh banyak orang sehingga menjadi ringan. Pembangunan infrastruktur dusun Legundi di atas sulit akan terwujud manakala hanya dipikul oleh satu anggota masyarakat saja. Mereka bisa “menaklukkan” problematika dusun berkat kegotong royongan mereka melalui tradisi jimpitan tersebut. Berkat gotong royong, satu sendok beras bisa membuat mereka membangun infrastruktur dusun. Kalau di dalamnya tidak ada semangat gotong royong, belum tentu mereka bisa melakukan itu.
Semakin terkikis
Sayangnya, budaya gotong royong yang begitu besar manfaatnya itu, kini perlahan mulai dilupakan oleh banyak orang.  Adanya pergeseran budaya dan perubahan pola pikir masyarakat modern yang lebih menjunjung tinggi materialisme, menjadi penyebab utama. Ketika materi atau kapital sekarang bukan lagi menjadi medium, tetapi sudah menjadi kiblat dan tujuan, maka seluruh relasi sosial tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai dan semangat persaudaraan melainkan pada keuntungan. Semuanya akhirnya harus dinilai dan diukur dengan uang. Jasa, tenaga dan pikiran seolah tidak ada artinya kalau sudah dibandingkan dengan uang. Seolah dengan uang semua urusan selesai.Perubahan budaya ke arah materialisme ini terbukti telah menggerus semangat sosial dan mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan. Orang menghargai sesuatu pun bukan karena terdorong oleh nilai-nilai moral-kemanusiaan, melainkan lebih disebabkan karena uang dan keuntungan.
Budaya gotong royong, yang lebih disemangati oleh nilai-nilai sosial-etis akhirnya sekarang turut terkubur dari peradaban manusia. Nampaknya sudah jarang sebuah komunitas masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai kegotong royongan seperti masyarakat Legundi ini. Budaya jimpitan ini nampaknya hanya hidup di sekitar masyarakat Yogya dan sekitarnya. Di tempat-tenpat lain nampaknya sudah banyak yang punah. Kalau hanya sekedar mengalami perubahan bentuk atau model tentu tidak ada masalah. Namun persoalannya kalau budaya tersebut telah mengalami keterputusan garis kontinyuitasnya. Hal ini jelas sangat membawa kerugian besar terhadap kehidupan kita sebagai anggota masyarakat.
Saatnya kita perlu merefleksikan kembali untuk menghidupkan budaya gotong royong yang sekarang mulai termarginalkan dari sistem kebudayaan kita. Melihat prestasi jimpitan yang dicapai oleh masyarakat Giri Mulyo, Gunung Kidul di atas, jelas terbayang dalam pikiran kita bahwa betapa nikmatnya hidup bergotong royong.
*Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

HINDARI PEMILU GADUNGAN

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*
Meskipun Pilpres sudah berada di ambang pintu, namun sejumlah persoalan krusial dan substansial masih belum terselesaikan. Salah satu masalah yang saat ini masih menggelayuti proses pelaksanaan Pilpres 2009 adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pilpres kali ini terancam tidak bisa berjalan secara demokratis, karena kekisruhan DPT di sejumlah daerah. Ditemukan sejumlah fakta di lapangan tentang adanya sejumlah warga masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih, penggadaan kartu suara bahkan yang lebih naïf, masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui kapan pilpres kali ini dilakukan. Persoalan ini akhirnya semakin komplek. Bukan saja menyangkut tidak meratanya pendaftaran pemilih, tetapi juga terkait dengan persoalan yang paling fundamental, yakni tidak meratanya informasi dan sosialisasi pemilu di tengah masyarakat. Anehnya, kekisruhan ini nampak sengaja didesign untuk memenangkan capres-cawapres tertentu. Hal ini karena KPU dinilai tidak netral dan tertutup (Kompas, 6/6/2009).

Fata morgana politik
Munculnya persoalan DPT tersebut, menjadikan Pilpres kali ini ternacam jatuh (das fallen) ke dalam jurang fata morgana politik. Fata morgana politik menurut Yasraf A. Pilliang (Transpolitika:2005) adalah kondisi ketika politik terjatuh dan terserrap ke dalam mekanisme citra dan tanda-tanda, yang di dalamnya citra secara ontologism diterima sebagai bentuk eksistensi dan model realitas politik, yang meskipun demikian bukanlah lukisan tentang realitas dan kebenaran politik yang sesunguhnya dan autentik, yang menciptakan relasi politik sebagai relasi yang semu, palsu dan permukaan. Fata morgana politik menawarkan masyarakat politik sebuah dunia ilusi (tentang demokrasi, kepahlawanan, kemanuisaan, kejantanan, feminitas, status, prestise dan sebagainya), yang sebetulnya bukanlah gambaran dari realitas atau kebenaran yang sesungguhnya.
Politik pada dasarnya adalah dunia yang riel. Di dalamnya terkandung berbagai unsur ontologis yang kongkrit. Salah satu unsur itu adalah aktor politik. Ini meliputi para pemilih. Karena para pemilih ini merupakan subyek yang sangat menentukan terjadinya perubahan dalam dunia politik. Tetapi dengan terjerembabnya politik ke dalam jurang fata morgana, unsur-unsur ontologi di dalamnya, termasuk aktor politik menjadi kabur dan hilang.   Proes perjalanan politik akhirnya menjadi absurd. Ada banyak asap yang berjubel, tetapi tidak ada apinya.
DPT merupakan sebuah reprsentasi dari kuantitas pemilih. Banyaknya pemilih inilah yang nantinya menghasilkan jumlah suara yang menjadi tolok ukur siapa yang menang dan kalah dalam pertarungan Pilpres. Atas dasar itu, keksiruhan DPT itu akan menjadikan Pilprs kali menuju ketidakpastian dan ketidakjujuran. Sebagai wujud dari fata morgana politik, kekisruhan DPT ini akan membawa dampak negativ dalam panggung politik nasional. Absurditas DPT itu akan melahirkan virtualitas politik. Virtualitas politik inilah yang menyebabkan realitas poltik tercerabut dan tergantikan oleh artifisialitasnya. Hasil dari proses politik, dalam kontek Pilpres ini, bukan lagi mencerminkan fakta Pilpres yang sebenarnya, tetapi wujud rekayasanya. Jumlah suara yang terhitung dalam pilpres bukan lagi mencerminkan jumlah para pemilih, tetapi lebih merupakan ilusi dan fiksi belaka.
Pemilu gadungan
Kisruh DPT yang mengancam lahirnya fata morgana politik tersebut, jelas akan melahirkan pemilu gadungan. Pemilu gadungan adalah pemilu yang lebih diwarnai oleh berbagai absurditas karena luruhnya garis damarkasi antara realitas dan virtualitas, fakta dan fiksi, ontologi dan simulasi, kebenaran dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan. Batas-batas nilai itu akhirnya menjadi kabur karena diselimuti oleh kungkungan citra dan tanda sebagai hasil rekayasa. Ketika DPT ini tidak terselesaikan dan tetap dibiarkan absurd semacam ini, maka sama halnya itu akan membuka ruang sebebas-bebasnya terhadap menyeruaknya kebohongan, kepalsuan, kedustaan dan sebagainya.
Dampak negativ dari tidak jelasnya DPT tersebut, jelas, terjadinya penggelambungan suara. Pilpres akan dipenuhi oleh suara-suara palsu dan anonim. Jumlah suara nyaris berada dalam dunia virtual. Dunia virtual, seperti yang dikatakan oleh Michel Hardt dan Anthony Negri, adalah dunia yang melampoi ukuran. Dalam dunia yang melampoi ukuran ini tidak lagi dijumpai batas. Jumlah suara yang sudah masuk dalam ruang virtualitas akan tidak mengalami pembatasan, jumlah itu akan terus menggelembung dan berkembang secara fiktif. Bahkan bisa jadi ia akan melampoi realitas jumlah suara yang ada di lapangan. Pemanipulasian dan pemalsuan jumlah suara yang masuk itu tidak lain adalah cermin dari fatamorgana politik yang berada dalam pemilu gadungan.
Dalam pemilu gadungan itu tergambar jelas bahwa proses sebuah aktifitas politik tidak lagi berjalan di atas nilai-nilai moral, tetapi justru menggusur dan menjungkirkannya. Kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan akan menjadi penghias dalam proses pemilu tersebut. Ketika proses pemilu sudah di warnai oleh beragam kebohongan dan kedustaan, sudah penuh dengan rekayasa dan kepalsuan, sudah tidak legi mencerminkan fakta dan realitas, tetapi lebih menampakkan fantasi dan halusinasi, maka jangan berharap hasil pemilu nanti akan membuahkan hasil yang benar-benar riel. Karena diproses melalui rekayasa, maka hasil pemilu jelas palsu.Kepalsuan tersebut akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Seolah hasil pemilu gadungan itu benar-benar hasil yang murni dan riel, padahal itu semua hanya fata morgana.
Kalau memang Pilpres kali ini diharapkan mampu menjadi pintu untuk merubah dan langkah politik awal untuk menangani semua problem bangsa, maka masalah DPT yang diliputi oleh kabut absurditas tersebut harus segera diselesaiakan. Kata Matahma Gandhi, sebaik apapun tujuannya, tetapi cara yang digunakan salah, maka itu tidak bisa dibenarkan. Hendak mengatasi problem bangsa melalui pemilu gadungan jelas salah. Sebab, pemilu gadungan seringkali  menghasilkan pemimpin yang juga gadungan. Kalau pemimpinnya gadungan, kebijakannya pun gadungan.
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)

ANOMALI PERAN POLITIK KIAI

Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Sebuah anomali tak lazim terjadi di kalangan para kiai. Kamis (25/6) sejumlah kiai telah menghadiri silaturrahmi Kiai Kampung Se-DIY yang bertempat di Pesantren Khususi Krapyak, Yogyakarta. Para sesepuh-sesepuh agama ini berkumpul bukan untuk  bahtsul matsail atau  pengajian, melainkan membuat semacam deklarasi untuk mendukung pasangan capres-cawapres SBY-Boediono. Mereka juga bertekad agar kemenangan SBY-Boediono cukup dalam satu putaran (Kompas, 26/6/2009). Ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi menjelang pilpres 2009.  Sebelumnya Rabo (24/6) acara yang sama juga digelar di pulau garam Madura, tepatnya di Pondok Pesantren Azzubeir, Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur. Acara ini dihadiri sekitar 5.000 kiai kampung yang tersebar di seluruh pelosok pulau Madura (Tempo, 25/6/2009).
Peristiwa itu, dalam etika politik kiai ‘salaf’ baik kiai pesantren maupun  kiai kampong, terutama kiai khos, apalagi kiai khowasul khowas, jelas sesuatu yang tak lazim. Sebab, biasanya kiai lebih diidentikkan dengan sosok yang menjaga jarak dengan para penguasa. Alasannya, karena posisi dan fungsi elementer kiai adalah sebagai kekuatan moral dan sekaligus pendamping masyarakat ketika face to face dengan penguasa. Tetapi melalui pertemuan itu, para kiai justru secara terang-terangan mendukung penguasa.
Obyek kekuasaan
Anomali peran politik kiai yang mengarah pada aksi dukung mendukung terhadap para capres-cawapres tersebut jelas bisa merontokkan wibawa kiai sebagai kekuatan moral dan kultural masyarakat. Dengan mendukung salah satu kandidat secara transparan semacam itu, menunjukkan bahwa para kiai tersebut sudah menjadi obyek kekuasaan. Peran kiai sebagai check and balance terhadap kekuasaan tidak lagi bisa diharapkan. Sebab, ia sudah masuk dalam wilayah pragmatisme politik yang seharusnya menjadi ‘zona terlarang’ bagi para kiai. Ketika zona ini diterjang, para kiai tersebut sama saja telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan. Jelas, ini merupakan disorientasi perjuangan para kiai.
Kekuasaan, seperti yang disimbolkan oleh Gamal Al-Banna (2006), adalah api yang panas membara, yang akan membakar setiap yang bersentuhan dengannya secara langsung. Tidak ada jalan keluar kecuali kita kelilingi api ini dengan lautan air, yang ombaknya akan mampu memadamkan nyala api kekuasaan, atau membatasinya dalam daerah yang sempit. Disorientasi perjuangan para kiai tersebut akan membawa dampak pada mandulnya peran kiai sebagai penyeimbang dan pembatas kekuasaan. Karena orientasinya pada kekuasaan, mereka justru membakar dirinya, membakar  idealismenya, membakar idiologinya dan membakar moralnya dengan api kekuasaan itu sendiri.
Para kiai seharusnya lebih konsisten mengarahkan perjuangannya ke wilayah sosial kemasyarakatan, bukan ke arah struktur-kekuasaan. Dalam wilayah sosial ini garapan kiai sebenarnya jauh lebih luas dan besar. Mereka bisa menjadi motor penggerak masyarakat untuk membangun kekuatan sipil sebagai medium perlawanan terhadap segala macam kebobrokan sistem politik dan penyelewengan kekuasaan. Bentuk konkritnya misalnya mengajak masyarakat untuk mengusung isu good governance dan anti korupsi. Pengembangan agenda ini, sebagaimana dikatakan oleh As’ad Ali Said (2008) ditujukan untuk mendorong terwujudnya kantong-kantong anti korupsi yang dimotori kalangan Kiai dan Nyai selaku pemuka agama dan masyarakat. Mereka diharapkan tumbuh partisipasinya dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan publik. Utamanya, memantau kebijakan publik dalam penggunaan kekuasaan dan uang negara. Isu –isu lain yang sifatnya krusial dan substansial menyangkut kehidupan masyarakat juga sangat membutuhkan kontrol dan pengawasan para kiai.
Dengan menjadi kekuatan kultural- masyarakat tersebut justru akan menjadikan para  kiai sebagai subyek sentral yang sangat diperhitungkan dalam panggung politik. Ia mempunyai bargaining power dan bergaining position yang kuat di hadapan para penguasa. Ini sekaligus indikasi bahwa para kiai adalah orang-orang yang tidak mudah di dipengaruhi dan dijadikan kacung oleh para politisi. Posisi semacam ini akan menjadikan kiai sebagai figur yang sangat dihormati dan di segani oleh berbagai pihak, terutama oleh masyarakat dan para penguasa itu sendiri.
Namun harapan semacam itu kini mulai lenyap seiring dengan adanya anomali peran politik para kiai yang cenderung pragmatis tersebut. Para kiai, dalam hal ini, seolah  merelakan dirinya dijadikan budak politik oleh para politisi. Apalagi aksi dukung mendukung itu jelas-jelas hasil settingan dan agenda dari partai politik pendukung SBY. Secara tidak langsung para kiai itu telah diperalat oleh para poltisi.
Hilangnya perekat masyarakat
Dampak negatif dari anomali peran kiai ini bukan hanya menjatuhkan kehormatan para kiai, tetapi juga menjadikan masyarakat kehilangan sosok pengayom dan pemersatu anggota masyarakat. Pemilu sering kali menimbulkan ketegangan dan konflik di kalangan masyarakat yang berbeda pilihan. Hal ini sering menjadikan retaknya kohesi sosial yang menyebabkan perpecahan dalam masyarakat.
Di tengah konflik dan perpecahan yang mengancam ini, jelas sangat dibutuhkan sosok yang bijak, sejuk dan bisa mengayomi seluruh masyarakat. Dan sosok itu, di antaranya adalah para kiai. Sebagai tokoh kultural-masyarakat yang mempunyai wibawa tinggi dan kharisma besar, kiai mempunyai peluang yang luas untuk netral dan tidak ikut terjebak ke dalam faksi-faksi politik. Posisi semacam ini jelas sangat potensial dan efektif untuk meredam konflik di masyarakat.
Tetapi, ketika para kiai sudah ikut-ikutan aksi dukung mendukung, berarti mereka sama saja masuk ke dalam polarisasi politik.  Kondisi ini akan membawa mereka  terlibat dan terjerat konflik. Bagi para kiai pendukung pasangan SBY-Boediono tersebut, tidak menutup kemungkinan, akan terseret arus konflik dengan para kiai pendukung pasangan JK-Wiranto maupun pendukung Mega-Prabowo. Ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi para kiai itu sendiri. Dan umatlah (grass root) yang akan menjadi korban. Ketika para gajah saling sruduk, maka rumputlah yang rusak terinjak-injak. Inikah yang diinginkan oleh para kiai di balik aksi dukung-mendukungnya tersebut?
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).