Monday, November 21, 2011

PEMIKIRAN WAHIB DALAM SPIRIT NIHILISME NIETSZCHE


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Kalau boleh dibandingkan, spirit pemikiran Wahib hampir sama dengan pemikiran Nietsche. Nietszche, sang filsof godam, adalah sosok gelisah dan dekonstruktif terhadap nilai-nilai agama. Hampir seluruh bangunan nilai-nilai dan asumsi-asumsi dasar agama telah dipertanyakan kembali oleh Nietszche. Agama yang ada, bagi Nietszche adalah sebuah belenggu yang memasung kebebasan manusia. Manusia harus berani berkata ya terhadap hidup (Ja sagen) dan tidak boleh berkata tidak atau menolaknya. Kalau manusia mencoba menolak dan lari dari apa yang ditawarkan oleh hidup, maka manusia itu sama saja dengan mengkhianati kodrat eksistensinya. Tapi semangat itu akhirnya terganjal, karena agama atau tuhan mewartakan moralitas yang membagi realitas kehidupan ke dalam dualisme baik dan buruk. Dari sinilah Nietszche berusaha membebaskan manusia dari hegemoni tuhan. “Tuhan telah mati (God Is Dead/Got is Tot)” begitulah pekik perlawanan sang filsof terhadap tuhan. Kenapa tuhan saya bunuh? Karena dia telah membuat manusia terbelenggu dan dekaden.Manusia harus bisa menjadi tuhan untuk dirinya sendiri.
Sementara Wahib juga berada dalam semangat yang sama. Meskipun tidak seradikal Nietsche, dalam beberapa percikan pemikirannya ia juga sangat garang dalam mempertanyakan pakem-pakem agama yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. umum. Wahib tidak puas dengan formulasi nilai-nilai agama yang selama ini berlaku. Ia mencoba meninggalkan jubah agama yang lama dan terus mencari bentuk –bentuk baru agama dan tuhan yang ideal menurut dia. Sama seperti Nietszche, pencariannya itu menandakan kegelisahan dan kebingungan yang mendalam. Karena pakem-pakem keagamaan lama telah ia dekonstruksi. Seperti dalam pernyataanya: “Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh….Islam menurut yang lain-lain. Terus terang, aku tidak puas, yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yakni Islam menurut Allah”
Yang paling fenomenal, adalah usahanya untuk mendekonstruksi pegangan atau dasar keagamaan umat Islam yakni al-Qur’an dan Hadits. Bagi Wahib, sumber utama Islam bukanlah al-Qur’an dan Hadits melainkan sejarah Muhammad. al-Qur’an dan Hadits hanyalah bagian dari sejarah Muhammad itu sendiri.
Lantas persoalannya sekarang, apa sebenarnya yang sama antara Wahib dengan Nietszche? Jawabnya satu:nihilisme. Baik Wahib maupun Nietszche adalah sosok pemikir yang nihilis. Nihilisme sendiri adalah sebuah kondisi di mana sudah tidak ada lagi pegangan yang jelas dan kepastian yang menjadi sandaran. Semua serba absurd dan relatif. Tuhan yang merupakan konsep yang jelas untuk menjadi pegangan umat manusia dinyatakan mati oleh Nietszche. Sehingga dengan kematian tuhan ini sudah tidak ada lagi dasar kehidupan yang pasti, semua serba relatif dan hampa. Begitu juga, dengan dinyatakan al-Qur’an dan Hadits tidak lagi sebagai sumber dan dasar Islam, menjadikan kehidupan keberagamaan umat Islam menjadi ambyar. Dasar pijakan yang asalnya dibangun umat Islam untuk menentukan nilai-nilai keagamaannya telah diruntuhkan oleh Wahib. Sehingga keberagamaan umat Islam jatuh dalam lautan kerelatifan. Pijakan alternatif yang ditawarkan oleh Wahib, yakni sejarah Muhammad, bukanlah pijakan yang konstan dan pasti, melainkan sangat relatif dan dinamis. Karena yang namanya sejarah akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
Lalu apa makna dari nihilisme Wahib itu untuk kehidupan manusia, khususnya umat Islam? Apakah Nihilisme, yang merupakan kerelatifan itu, sama sekali meaningless? Tentu saja tidak. Nihilisme justru merupakan sebuah pelecut bagi umat manusia untuk merumuskan sendiri nilai-nilai kehidupannya. Maka disinilah letak urgensi nihilisme Wahib. Dengan didekonstruksinya bangunan yang menjadi dasar agama Islam, umat Islam dituntut untuk merumuskan sendiri nilai-nilai keislamannya tanpa harus merujuk secara literer terhadap al-Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus mencari sendiri landasan moral untuk kehidupannya tanpa bergantung pada teks-teks keagamaan, bahkan kalau perlu tanpa merujuk pola-pola yang ada dalam sejarah Muhammad. Umat Islam sekarang harus merumuskan sendiri pola keislamannya yang khas dan relefan dengan kehidupannya yang mutakhir.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota diskusi filsafat ZAT Community Yogyakarta

No comments:

Post a Comment