Monday, November 14, 2011

HEGEMONI POLITIK PALSU


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Panggung politik nasional sekarang tengah digegerkan oleh munculnya dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penambahan suara untuk Partai Hanura dapil Sulsel I. Berdasarkan surat yang tertanggal 14 Agustus 2009 itu, KPU memutuskan kursi DPR untuk Dewi Yasin Limpo, caleg Hanura dari dapil Sulsel I tersebut. Namun, dengan suratnya tanggal 17 Agustus 2009 MK menegaskan bahwa surat itu palsu sehingga kursi DPR dari Dapil Sulse I beralih ke Mestariyanie Habie dari parati Gerindra.
Program merekayasa
Setiap keputusan politik tentu akan berdampak pada kehidupan publik. Sebab, persoalan politik di dalamnya merepresentasikan kepentingan umum. Karena itu, setiap keputusan yang menyangkut urusan orang banyak harus dibuat secara benar dan transparan. Sekali keputusan itu salah maka yang menjadi korban dan yang terlukai bukan hanya indifidu, melainkan kolektif. Namun berdasarkan kenyataan di atas menunjukkan bahwa keputusan politik sekarang justru sengaja (by design) dibuat untuk jauh dari nilai kebenaran dan kejujuran. Trend politik yang sekarang semarak adalah masing-masing aktor politik justru larut dalam semangat mereproduksi kepalsuan atas setiap keputusan politiknya.  Sebuah kebijakan bukan hanya tidak transparan, melainkan penuh nilai kebohongan , distoris dan deviasi.
Nampaknya geliat politik saat ini lebih diwarnai oleh program merekayasa dari masing-masing politisi. Setiap politisi berlomba-lomba untuk pandai merekayasa sebuah kebenaran untuk kepentingan indifidunya. Perekayasaan kebenaran, pemutarbalikan fakta dan pendistorsian relitas memang sengaja diprogramkan, sengaja diplainningkan untuk menipu publik. Para politisi dalam menjalankan kekuasaan bukan lagi terdorong oleh nilai-nilai luhur, idealisme dan komitemen tinggi terhadap kebenaran politik, melainkan berbalik menjadi aktor-aktor jahat yang suka menipu, merekayasa dan memutarbalikan fakta. Tidak mungkin keputusan negara yang demikian penting bisa dipalsukan tanpa adanya kesengajaan dari si pelaku. Tidak mungkin itu terjadi karena faktor ketidaksengajaan (by accident).  Kepalsuan itu jelas diitikadkan dan didesain secara licik dan cerdik.
Standar kehebatan bagi seorang politisi sekarang kemudian bukan lagi terletak pada komitemennya dalam menegakkan kebenaran dan kejujuran, melainkan lebih pada kecerdikan dan kepiwaiannya memproduksi kepalsuan dan kebohongan. Maka tidak heran kalau sekarang para politisi di hadapan publik lebih terkonsentrasi pada usaha penciptaan citra, image, dan tanda-tanda yang seolah-olah (as if) benar tetapi kenyataannya justru berisi kebohongan dan kedustaan.
Bukan kebenaran yang kemudian menjadi dasar dan prinsip menjalankan kebijakan politik, melainkan kebohongan dan kepalsuan itu sendiri. Bukan hukum yang menjadi dasar dan pegangan dalam menciptakan kebijakan, melainkan simulakra hukum itu sendiri. Simulakra hukum, seperti kata Yasraf A. Piliang (2004:308) adalah sebuah dunia hukum, yang di dalamnya kebenaran (truth) diambil alih oleh tiruan-tiruan kebenaran yang bersifat fiktif, retoris dan palsu (pseudo-truth).  Politik yang di dalamnya lebih didasarkan pada simulakra hukum itu akhirnya mempunyai legitimasi palsu tetapi itu justru yang berlaku dan diterima sebagai fakta kebenaran umum.
Budaya merekayasa kebenaran yang sudah sedemikian melembaga dan membudaya dalam dunia politik tersebut akhirnya menjungkir balikkan sebuah tatanan nilai. Nila-nilai kebenaran dan kejujuran akhirnya dicampakkan dan digantikan dengan nilai-nilai kebohongan dan kepalsuan. Perubahan dan pendistorsian nilai tersebut pada level wacana publik menimbulkan absurditas nilai. Ketika kebenaran sudah ditelikung dan dimanipulasi sedemikian rupa, maka akan sulit diidentifikasi antara kebenaran dan kepalsuan, antara fakta dan ilusi, antara realita dan dusta. Bahkan sangat mungkin, kedustaan dan kebohongan akan diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Politik yang program dan rencana utamanya adalah merekayasa, maka langkah utama yang ditempuh oleh masing-masing aktor politik adalah bagaimana merekayasa kebenaran dengan kebohongan, bagaimana menyajikan kedustaan dan kepalsuan kepada publik supaya diyakini dan diterima sebagai sebuah kebenaran dan realitas. Kedustaan dan kepalsuan yang direkayasa dan diikhtiarkan untuk menjadi fakta kebenaran yang bisa diterima oleh publik tersebut merupakan kejahatan yang dibungkus dengan nilai-nilai yang sebenarnya palsu. Memang kebohongan itu nampak mempunyai landasan hukum, tetapi landasan hukum itu sendiri hasil rekayasa dan manipulasi dari sang pembuat hukum. Kepalsuan itu sengaja diciptakan dengan legitimasi hukum yang palsu untuk mengelabui publik supaya mau menerimanya sebagai sebuah kebenaran.
Pola perekayasaan kepalsuan menjadi fakta kebenaran tersebut jelas mengandaikan adanya relasi pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus pengetahuan dan kebenaran politik yang berkembang bukan lagi hasil dari observasi ilmiah, melainkan produk dari rekayasa kekuasaan, dengan politisi itu sendiri menjadi produsennya. Maka pencarian kebenaran dalam dunia politik, sebagaimana kata oleh Michel Foucault (1980:132) bukan merupakan usaha menemukan kebenaran secara obyektif, tetapi lebih merupakan sebuah arena perang yang di dalamnya masing-masing kepentingan ekonomi dan politik bergulat untuk mendapatkan akses kekuasaan demi mendefinisikan dan menentukan kebenaran, tidak peduli apakah produk kebenaran itu merepresentasikan kebenaran itu sendiri atau tidak. Kebenaran dalam ranah politik kemudian lebih ditentukan oleh siapa yang berkuasa untuk merekayasa.
Betapa mengerikan
Ketika politik, sebagai representasi kepentingan umum,  sudah menjadi ajang memproduksi kepalsuan, maka hidup menjadi cemar  karena diliputi hal-hal palsu.  Tanpa sadar kita sekarang terbiasa disuguhi dan makan kebijakan palsu, keputusan palsu, hukum palsu, keadilan palsu, pemerintahan palsu, pegawai palsu, wakil rakyat palsu, pemilu palsu dan produk-produk politik palsu lainnya. Semua produk politik palsu ini turut membentuk wacana, paradigma dan bahkan keberadaan kita sebagai bangsa. Betapa mengerikannya kondisi negara kita sekarang?
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum kajian filsafat ZAT COMMUNITY Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment