Monday, November 14, 2011

DI BALIK KAMPANYE ANTI ROKOK INTERNASIONAL


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Hari Selasa (11/10/2011) yang lalu, Komunitas Kretek menyelenggarakan acara bedah buku, Kriminalisasi Berujung Monopoli di kompleks Kepatehan,  Yogyakarta. Buku ini adalah antologi hasil riset sejumlah aktivis LSM dan akademisi yang menguak soal kuatnya kriminalisasi rokok di dunia, khususnya di Indonesia. Pembicara utama dalam diskusi tersebut adalah Salamuddin Daeng (penulis buku dan peneliti Jatam).
Versus Kesehatan
 Isu kesehatan merupakan senjata ampuh dan sekaligus argumentasi paling absah bagi kriminalisasi dan kampanye anti merokok.  Merokok  dikonfrontasikan secara brutal dengan  persoalan kesehatan. Terkait dengan masalah kesehatan ini, ada tiga asumsi dasar yang diusung untuk menjadi dasar legitimasi gerakan anti merokok. Pertama, tembakau dan rokok membahayakan kesehatan si perokok karena menyebabkan jutaan kematian. Asumsi ini masih bersifat warning dan belum menimbulkan tindak preventif secara lebih jauh.
Kedua, tembakau dan rokok membahayakan orang lain atau perokok pasif (second –hand smoker). Asumsi kedua inilah yang kemudian memunculkan regulasi soal pelarangan merokok di tempat umum. Asumsinya adalah bahwa setiap sesuatu yang mengganggu kenyamanan orang lain maka harus diatur atau ditertibkan. Dari pemikiran itulah kemudian muncul peraturan-peraturan pemerintah tentang perlunya penertiban dan pembatasan merokok.
Sedangkan asumsi ketiga, para perokok adalah orang sakit yang harus disembuhkan melalui pengobatan khusus melalui therapy pengganti rokok. Asumsi ketiga inilah yang memunculkan produk-produk tehnologi sebagai terapi bagi para perokok untuk meninggalkan kebiasan merokoknya. Produk-produk ini bisa berupa klinik maupun barang-barang atau suplemen pengganti rokok.
Hingga saat ini isu kesehatan yang diusung sebagai dasar gerakan kampanye anti merokok masih sangat debatable.  Memang rokok mengandung unsur yang bisa menimbulkan kanker atau penyakit jantung. Tetapi apakah semua orang yang menderita kanker atau penyakit kronis secara eksplisit disebabkan oleh rokok?  Apakah kanker yang menyerang banyak manusia di dunia itu sepenuhnya disebabkan oleh rokok. Hingga saat ini belum ada sebuah penelitian yang mampu memastikan benar tidaknya persoalan tersebut. 
Dalam realitas empiris justru banyak ditemukan banyak para perokok yang umurnya jauh lebih panjang dan kesehatannya jauh lebih prima daripada mereka yang tidak merokok. Tidak jarang pula orang yang tidak merokok justru banyak terserang penyakit berat sehingga mati lebih dini daripada mereka yang merokok. Karena itu, menghubungngkan penyakit-penyakit kronis dengan aktifitas merokok hingga saat ini belum bisa diertanggungjawabkan secara ilmiah.
Memang terkesan sangat simplistik apabila merokok disebut-sebut sebagai biang keladi utama munculnya penyakit-penyakit kronis semacam kanker atau jantung. Sebab, kita hidup ini berada dalam lingkungan yang tidak seratus persen bersih dari zat-zat polutan. Ada banyak radikal bebas di sekeliling kita yang menyebabkan maraknya banyak penyakit. Sampah, zat polutan, asap kendaraan bermotor, asap pabrik dan sebagainya adalah juga penyumbang radikal bebas yang melahiran banyak penyakit kronis semacam kanker maupun jantung. Namun dalam kenyataannya, para aktifis LSM dan akademisi yang anti merokok telah menjadikan rokok sebagai sasaran utama dan bahkan satu-satunya dari munculnya berbagai macam penyakit.
Implikasinya bukan hanya para perokok (konsumen) yang dikriminalisasikan. Para penjual, pemroduksi bahkan para petani tembakau juga ikut dikriminalisasikan.   Seolah pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas rokok baik itu konsumen, penjual dan produsen merupakan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap terganggunya kesehatan masyarakat. Karena itu, rokok kini secara sepihak mengalami kriminalisasi. Berbagai tindakan kultural maupun struktural disosialisasikan untuk membatasi produksi, distribusi dan konsumsi rokok.
Bahkan lebih jauh, usaha untuk membatasi rokok dalam berbagai sektornya itu diwujudkan dalam berbagai bentuk regulasi atau peraturan, misalnya, peraturan dilarang merokok di tempat-tempat umum dan sebagainya. Padahal dalam negeri sendiri rokok merupakan pemasok pajak terbesar.  
Persaingan Pasar
Satu hal yang menjadi persoalan dalam polemik rokok ini adalah soal isu yang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu di balik gerakan anti merokok. Masalah utama yang ada di balik gerakan anti merokok ini bukan semata persoalan kesehatan, melainkan kepentingan ekonomi. Sebab, geliat kampanye anti merokok yang sudah melibatkan intervensi negara melalui sejumlah peraturan dan regulasi ini lebih disebabkan oleh usaha untuk memperebutkan pangsa pasar.
Pada hakekatnya, negara-negara maju tidak anti rokok. Produksi rokok terbesar justru ada di negara maju. Mereka berusaha menguasai pangsa pasar dunia bagi produk rokoknya dan sekaligus menggilas produk-produk rokok di negara berkembang. Ada lima perusahaan rokok terbesar yang memperoduksi rokok dan sekaligus menguasai pangsa pasar dunia, yaitu National China Monopoli Tobbaco Company (menguasai 41 %), Philip Morris International (16 %), Britis American Tobacco (13 %), Japan Tobacco (11 %) dan Imperial Tobacco (6 %).
Salah satu sasaran rokok lokal yang hendak digulung paksa oleh berberapa korporasi rokok internasional tersebut adalah rokok kretek khas Indonesia. Dengan alasan kesehatan, rokok kretek kini hendak dimatikan produksi dan distribusinya. Rokok kretek yang merupakan hasil perpaduan antara tembakau dan cengkeh sehingga memunculkan rasa yang khas nusantara diklaim lebih membahayakan kesehatan bila dibandingkan rokok putih hasil produksi para korporat rokok luar negeri semacam Philip Morris dan BAT.
Intinya, untuk memperluas pangsa pasar, rokok putih dianggap lebih aman daripada rokok kretek.  Inilah salah satu bentuk kelicikan perdagangan global di balik kampanye anti rokok kretek sedunia.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum kajian filsafat ZAT COMMUNITY Yogyakarta

No comments:

Post a Comment