Monday, November 14, 2011

ADZAN DAN SUARA PEMBEBASAN


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Adzan merupakan salah satu fenomena religiusitas yang sudah sangat populer di kalangan umat Islam. Hingga saat ini budaya adzan begitu menyeruak di mana-mana. Semakin banyak masjid dan musholla semakin banyak suara adzan. Namun, budaya satu ini sekarang telah menjelma menjadi ritual yang dangkal dan rutinitas yang banal. Rutinitas dan banalitas adzan ini tanpa disadari telah menghilangkan nilai dan ruh transformasinya.  Adzan hanya menjadi raungan suara-suara kosong. Di mana-mana ada adzan tetapi ketulian sosial tetap membelenggu; korupsi, penyelewengan kekuasaan, kesenjangan sosial-ekonomi dan penindasan tetap menghiasi lanskap kehidupan sehari-hari.
Itu menunjukkan betapa adzan telah mengalami pendangkalan pemaknaan. Sehingga meskipun secara fisik adzan seringkali menggema dan meraung-raung setiap saat, namun dalam ranah sosial yang ada  tetaplah kesepian, kebisuan dan kehampaan. Tidak ada  perubahan sosial apa-apa di balik gegap gempitanya  adzan. Yang lebih naif lagi, makna adzan telah direduksi sedemikian rupa yaitu sekedar sebagai penanda (signifer) ditunaikannya sholat. Kalau hanya sebagai penanda ditunaikannya sholat mengapa harus repot-repot memakai adzan segala?. Bukankah menggunakan lonceng atau sirene juga bisa? Dengan redaksi kalimat yang demikian agung dan alunan suara yang demikian menggema, tidak mungkin adzan hanya berfungsi sebagai penanda waktu sholat. Mesti ada makna yang lebih besar di dalam adzan dari sekedar sebagai penanda waktu sholat, terutama terkait dengan kehidupan sosial yang lebih luas.
Spirit pembebasan
            Pada hakekatnya, adzan bukan sekedar panggilan biasa, melainkan panggilan yang mengandung sipirit pembebasan. Pembebasan dari apa? Tentu dari berbagai belenggu apapun yang mendestruksi dan menghancurkan nilai-nilai kehidupan. Kalimat “Allahu Akbar!” (Allah Maha Besar!) adalah pekik revolusi untuk menggugah kesadaran dan membakar semangat seseorang supaya berjuang, bergerak dan “berperang’ melawan berbagai penindasan, kesewenang-wenang dan ketidakadilan yang membelenggu.  Adzan dalam ruang sejarah muncul seiring dengan lahirnya Islam. Islam sendiri merupakan penanda bagi lahirnya perubahan besar bukan hanya dalam teologi, melainkan juga pada sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Struktur budaya jahiliyyah yang menindas dan eksploitatif, secara revolusioner diubah melalui spirit dan nilai-nilai Islam. Karena itu kehadiran Islam juga bermakna sebagai pembebas, yakni membebaskan manusia dari belenggu kegelapan dan ketidakadilan. Dalam konteks pergolakan transformasi sosial itulah adzan lahir. Maka adzan adalah seruan ilahi yang lahir dari rahim revolusi. Dalam pergolakan revolusioner itu, adzan seolah menjadi lonceng yang menandai perlunya perubahan kehidupan baru yang baik, penuh keadilan dan keberadaban, dan keharusan untuk mengubur kehidupan lama yang buruk, penuh ketidakdilan, keculasan dan kebiadaban.  Singkatnya, adzan  mengandung semangat liberasi dan transformasi.
Makna transformatif adzan itulah yang telah ditegaskan oleh seorang Marxis asal Lebanon, Raif Khoury. Dalam sebuah pernyataannya (1942:7), yang juga dikutip oleh Asghar Ali Engeener, Khoury menyatakan: “ Betapa sering kita mendengar suara adzan dari menara kota-kota Arab yang abadi ini: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering kita membaca atau mendengar Bilal, seorang keturunan Abyssinian, mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya sehingga menggema di jazirah Arab, ketika Nabi mulai berdakwah dan menghadapi penganiayaan serta hinaan dari orang-orang yang terbelakang dan bodoh: suara bilal merupakan sebuah panggilan, seruan untuk memulai perjuangan dalam rangka mengakhiri sejarah buruk bangsa Arab dan menyongsong matahari yang terbit……apakah setiap mendengarkan panggilan suci itu, kamu ingat bahwa Allahu Akbar bermakna : berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpk-numpuk kekayaan! sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecah umat….!!”.
Pemaknaan adzan yang transformatif-revolusioner sebagaimana disung oleh Khoury di atas kini semakin sirna. Adzan sekarang tidak mempunyai daya gebrak revolusioner yang mampu menjebol tatanan masyarakat yang tidak adil. Meskipun adzan banyak berkumandang, korupsi, penyelewengan kekuasaan dan penindasan tetap menyeruak di mana-mana.  Adzan seharusnya direfleksikan sebagai seruan ilahi yang mampu menggedor kesadaran manusia dalam membrantas koruptor, membela nasib TKW, melawan pembohongan, mengentaskan kemiskinan, mengatasi pengangguran, membela hak-hak buruh, memperjuangkan nasib para petani, menyelamatkan lingkungan dan sebagainya. Inilah adzan tansformatif-revolusioner yang bukan sekedar mengumandangkan tekstualitas melainkan menggaungkan semangat pembebasan.
Dengan pemaknaan yang transformatif dan revolusioner semacam itu, suara adzan akan kedengaran semakin nyaring, bukan hanya di dalam telinga melainkan di dalam kehidupan konkret. Adzan bukan hanya menjadi penanda masuknya waktu sholat secara konvensional, melainkan mampu menjadi penanda masuknya pencerahan bagi kehidupan baru. Adzan sebagai media perubahan dan transformasi pada hakekatnya bukan hanya sebuah ritual yang kering dan hampa seperti yang marak sekarang ini. Tetapi ia lebih berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating power) yang mampu menjebol status quo degradasi nilai.
Di Indonesia sendiri setiap hari terdengar suara adzan. Namun kenyataannya korupsi di Indonesia justru semakin menggurita. Ini jelas sebuah paradoks. Maka, supaya benar-benar mempunyai fungsi transformasi sosial yang konkret, adzan perlu direfleksikan sebagai suara pembebasan. Kalau tidak, maka adzan selamanya hanya menjadi raungan yang bising dan mengganggu orang istirahat. 

*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum kajian filsafat ZAT COMMUNITY Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment