Saturday, November 19, 2011

SUFISME DAN MATA AIR ESTETIKA



Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Sufi adalah belantara simbolik. Kehidupan para sufi sarat dengan simbol, metafor,  kode dan tanda. Karena itu, performance sufisme di setiap tingkatannya,perkataan (aqwal) maupun perbuatannya (af’al), tidak bisa dipahami dan ditelan secara mentah-mentah, literal dan apa adanya. Kondisi seorang sufi yang sebenarnya justru berada di balik tanda dan simbol yang dikenakannya. Apabila seseorang memandang sufi dengan logika positivistik, pasti akan tertipu. Sebab, para sufi itu justru banyak yang sengaja menyembunyikan nilai sufistiknya di balik performance fisiknya.
Di sinilah kemudian dunia sufi adalah dunia puisi. Sebagaimana puisi, sufi  berusaha menyingkap realitas sekaligus menyembunyikannya. Setrategi mengungkapkan pesan atau makna dalam sufi terletak pada kepiwaiannya dalam menyembunyikan pesan tersebut. Penalaran yang berlaku dalam sufisme bukanlah penalaran logik, melainkan penalaran simbolik. Penalaran simbolik seperti kata Mudji Sutrisno (2005) adalah menggunakan penalaran untuk mengetahui, memahami kenyataan namun lewat simbol-simbol atau tanda-tanda. Ketika tanda-tanda di susun begitu rupa hingga orang paham maksudnya, disitu susunan tanda menjadi kode.
Mata air  estetika
Aspek simbolik dalam dunia sufi yang bukan hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga pada tindakan-tindakan nyata tersebut, tentu secara eksplisit maupun implisit menjadikan dunia sufi sebagai mata air estetika. Sesuatu yang sufistik, pada saat yang sama juga menjadi sesuatu yang estetik. Di dalamnya mengandung banyak unsur keindahan.Sebagai mata air estetika, sufisme dalam memandang sebuah realitas tidak sekedar mengungkai makna, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana menyajikan dan mengungkapkan realitas itu melalui cara-cara yang indah. Realitas, makna atau pesan yang diungkapkan oleh seorang sufi tidak sekedar  mengandung kedalaman logika, tetapi juga harus mengandung kedalaman estetika. 
Inilah kemudian bahasa simbolik menjadi bahasa komunikasi paling utama dalam dunia sufi.Lihat saja bagaimana para sufi itu dalam memahami, mengungkapkan dan menyikapi realitas. Sudah barang tentu idiom yang dipakai adalah idiom-idiom simbolik dan metaforis. Dalam memahami Tuhan, manusia dan alam semesta para sufi senantiasa menggunakan term-term simbolik. Dalam mempersepsi Tuhan misalnya, para sufi tidak mengungkapkannya secara literal, tetapi lebih menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik seperti cahaya, cinta,keabadian dan sebagainya. Begitu juga manusia, bunga, binatang, kondisi alam dan sejenisnya sering disimbolisasikan dalam ungkapan-ungkapan sufistik.
Lihat juga tokoh sufi Jalaluddin Rumi yang mengungkapkan secara puitis pemandangan musim semi di Konya. Ketika Musim semi muncul di Konya, maka Konya akan dipenuhi oleh banyaknya burung-burung dan bunga-bunga yang bermekaran. Fenomena semacam ini ternyata menginspirasi Rumi untuk memaknainya secara sufistik. Salah satunya adalah yang tergambar dalam pandangan Rumi soal burung merak.  Seorang pakar Rumi, Annemarie Schimmel, (Rumi’s World:The Life and Work Of The Great of Sufi Poet; Boston & London:2001) menulis bahwa karena terpesona dengan keindahan burung merak yang mengagumkan, Rumi membandingkan musim semi dengan seekor merak, yang sangat bangga tengah berjalan-jalan di hadapan sang sahabat yang mencintainya, karena burung merak berpartisipasi dalam kemolekan musim semi.
Burung yang berwarna-warni ini mengembangkan bulu-bulunya yang mengagumkan”seperti hati sang pencinta; menari, ia mengajak ruh manusia menari dan bergabung dengan kompleksnya citra yang besar yang dihubungkan dengan musim semi. Tentu saja, lanjut Schimmel burung merak dengan tepat bisa dituduh sebagai lambang kesombongan, dan demikianlah Matsnawi menuturkan kisah burung merak yang menyesal dan mencabuti bulunya yang berwarna-warni. Namun seorang sufi yang penuh kasih sayang memperingatkannya agar tidak berbuat demikian, karena keindahannya, bagaimanapun juga diciptakan oleh Tuhan, dan bulu-bulunya itu kemudian dijadikan sebagai penunjuk halaman buku di dalam salinan-salinan al-Qur’an. Ini baru satu contoh dari Rumi. Para sufi lainya juga banyak yang berbuat sama yakni memaknai dan memandang berbagai fenomena secara simbolik dan puitis.

Gerakan kebudayaan
Kedekatannya dengan dunia estetik- simbolik tersebut, sufisme sebenarnya bukan sekedar gerakan keagamaan an sich, tetapi juga gerakan kebudayaan. Unsur-unsur dalam sufisme merupakan khasanah budaya luhur yang berakar pada realitas ultime. Estetika sufistik merupakan estetika ultime. Sufisme, dengan dasar estetikanya yang dalam itu, sejatinya sangat efektif  dan inspiratif  sebagai pendorong berkembanganya tradisi kebudayaan yang lebih kompleks, termasuk dalam dunia seni seperti seni sastra, musik, patung dan sejenisnya.
Banyak karya-karya seni seperti sastra, musik dan lukisan yang terinspirasi dari gairah sufisme.  Seperti yang dikatakan oleh Oliver Leaman (Islamic Aesthetics; Terj- Irfan Abubakar, 2005:65)) bahwa salah satu faktor budaya penting dalam banyak lukisan adalah pengaruh sufisme. Ketika sufisme menjadi bagian penting dari kultur Islam, ia mengubah pendekatan terhadap sastra dan seni-seni visual karena sufisme menghasilkan bahasa simbolik yang penuh dengan kerumitan dan kepentingan.
Tapi aspek estetika ini gaungnya terasa masih rendah dalam praktik sufisme sekarang. Saat ini maenstrem sufisme baru mampu bergaung dalam ranah keagamaan dan kurang dalam ranah kebudayaan. Gerakan sufisme baru ditampilkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan atau paling banter sebagai wacana sosial-keagamaan. Tetapi sebagai spirit kebudayaan dan kreatifitas seni sufisme belum digali dan dimanfaatkan secara optimal. Padahal, estetika sufistik yang sangat kaya dan dalam itu sebenarnya mengandung nilai kebudayaan adiluhung.
 Sufisme sebagai mata air estetika adalah khasanah penting tersendiri. Ia  sangat berpotensi menjadi dasar kemajuan peradaban. Sebab acuannya lebih pada nilai-nilai ultime dan universal sehingga tidak terperangkap dalam klaim-klaim teologis dan yuridis seperti mukmin-musyrik atau halal- haram. Maka, sufisme sebagai mata air estetika ini merupakan mutiara berharga yang  harus digali dan dikembangkan bagi kemajuan peradaban.
 *Muhammad Muhibbuddin adalah anggota studi  filsafat ZAT Community Yogyakarta

No comments:

Post a Comment