Saturday, November 19, 2011

USHULUDDIN DAN TEOLOGI LINGKUNGAN



Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
19-21 Desember 2010 dulu, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah menyelenggarakan acara Pekan Ilmiah Nasional (PIN) ke-3 dan temu BEM Ushuluddin se-Indonesia di Wisma Diklat PU Kota Gede Yogyakarta. Tema yang diusung oleh forum tersebut adalah “Islam dan Perubahan Iklim”. Tema itu tentu saja sangat aktual dan signifikan mengingat saat ini dunia, khususnya Indonesia, tengah berada dalam amuk bencana alam yang terus menerus. Indonesia hingga kini bahkan masih berada dalam ancaman bencana gunung Merapi. Faktor utama munculnya berbagai peristiwa bencana tersebut, yang saat ini sedang ramai diperbincangkan adalah karena perubahan iklim (climate change).Perubahan iklim sendiri diakibatkan oleh pemanasan global (global warming) sebagai akibat tingginya intensitas gas rumah kaca (GKR) dan zat polutan lainnya.
Cosmos dan chaos
Bencana alam yang telah menjadi bagian hidup manusia itu secara implisit menunjukkan dua karakter utama alam semesta: keteraturan (cosmos) dan sekaligus ketidakteraturan (chaos). Ketegangan dua hal itulah yang menyebabkan alam semesta sering menimbulkan misteri dan absurditas. Peristiwa keteraturan alam yang berdasarkan pada hukum-hukum alam sendiri menjadikan alam semesta nampak sebagai fenomena yang maha indah dan menakjubkan. Dalam keteraturannya itu, unsur-unsur alam nampak begitu terorganisir dan bergerak secara proporsional, tepat sesuai dengan kapasitas dan ukurannya, saling menyeimbangkan di antara unsur-unsurnya. Namun, alam semesta juga tak jarang tampil dengan kekacauan dan kesimpangsiuran sehingga menimbulkan kehancuran, teror dan ketakutan.
Menariknya, peristiwa chaos itu kemudian memunculkan beragam perpesktif. Berbagai perpektif itu ada yang saling menegaskan dan sekaligus juga ada yang saling menegasikan. Hal ini terutama terjadi pada teologi (agama) dan sains. Hubungan antara teologi dan sains, menurut John F. Haught (Science And Religion:From Conflict To Conversation:1995) terbagi menjadi empat yang khas yakni hubungan konflik, hubungan kontras, hubungan kontak dan hubungan konfirmasi. Dari keempat pendekatan itu yang menarik adalah pendekatan konfirmasi. Karena melalui pendekatan inilah, agama dan sains bisa saling bertemu dan mengisi kekurangan masing-masing. Kubu konfirmasi menegaskan perlunya agama dan sains untuk saling meneguhkan dan berbagi pandangan dan asumsi-asumsi dasar soal realitas tanpa harus kehilangan jati diri masing-masing.
Dalam soal chaos atau bencana misalnya kubu konfirmasi memandang bahwa chaos tidak lain adalah kemampuan alam itu sendiri dalam menata diri.Bagi kubu sains, alam semesta lebih dipandang sebagai diri-kreatif yang aktif dan mampu untuk menata dirinya. Karena itu tidak perlu campur tangan gaib apapun. Lantas bagaimana dengan Tuhan? Kalau alam semesta memang mampu menata dirinya sendiri bagaimana kita masih perlu membicarakan soal Tuhan? Dalam perpspektif konfirmasi, pengetahuan soal kemampuan alam untuk menata dirinya sendiri itu justru bagian dari usaha meneguhkan eksistensi Tuhan. Sebab, alam semesta ada dan mampu menata dirinya sendiri justru karena cinta Tuhan dalam mengosongkan dirinya (kenosis), kerendahan hati Tuhan untuk membiarkan ciptaan itu. Ciptaan termasuk alam semesta bukanlah ungkapan dari wajah Ilahi itu sendiri, melainkan wujud kerendahan hatiNYA. Dengan kerendahan hatiNYA itu, sejak awal lahirnya alam semesta sudah dibekali kemampuan untuk berjalan dan hidup sendiri dalam mengatur dan menata diri.
Karena kerelaan Tuhan untuk melepas kehidupan alam semesta inilah, ciptaan (alam semesta) itu eksis. Kalau Tuhan itu tidak secara sengaja bersedia mengosongkan diri (kenosis) dari bayang-bayang kekuasaannya terhadap ciptaan itu, maka ciptaan itu tidak akan mempunyai eksistensi. Dalam hal ini kekuasaan Tuhan diwujudkan secara efektif tidak dalam konteks ketika Dia begitu absolut mempengaruhi gejala alam semesta, tetapi justru dalam konteks kerendahan hatiNYA dalam membebaskan alam semesta untuk menata dirinya sendiri. Ini merupakan bagian kecil pemikiran dalam memaknai chaos yang terkait dengan pola relasi antara teologi (agama) dan sains.
Teologi Lingkungan
Chaos atau bencana alam dengan demikian mampu menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahauan,termasuk dalam bidang teologi.  Maka di sinilah letak relevansinya fakultas Ushuluddin untuk perlu berperan aktif dalam merumuskan teologi lingkungan sebagai pengkayaan. Selama ini, teologi yang diajarkan di fakultas Ushuluddin masih terbatas pada teologi klasik yang lebih terfokus pada perdebatan aliran-aliran teologi Islam klasik semisal Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah dan Ahlussunnah. Persoalannya adalah akar persoalan atau problem teologi yang diajarkan itu tetap mengacu pada persoalan-persoalan yang diangkat oleh aliran-aliran teologi tersebut di awal kelahirannya. Misalnya persoalan dosa besar, surga, neraka, qodlo- qodar dan sebagainya seperti yang dahulu diperdebatkan antara jabariyah dan qodariyah.
Ingat!,tantangan teologi sekarang sudah berubah dan jauh lebih komplek.Seharusnya persoalan-persoalan teologi itu bisa di up date dengan merujuk pada persoalan-persoaalan baru dan aktual, termasuk persoalan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Sehingga belajar teologi di Ushuluddin tidak sekedar menengok masa lalu, tetapi juga berusaha menjawab problematika masa kini, bukan sekedar melulu membincang Tuhan pada kontek  normatifnya melalui persoalan-persoalan eskatologis, tetapi juga Tuhan dalam kontek historisnya melalui persoalan-persoalan konkrit, termasuk persoalan ekologis.
Bagaimana teologi di Ushuluddin  menjawab krisis ekologi dan perubahan iklim yang sekarang sedang melanda? Inilah perlunya di Ushuluddin dirumuskan teologi yang peka dan sensitif terhadap persoalan lingkungan dan persoalan-persoalan lain di masyarakat.Pandangan ini nantinya akan menjadi bagian dari praksis teologi dalam bentuk penanggulangan krisis ekologi.Pola semacam inilah yang membuat teologi di Ushuluddin mampu menghadirkan manifestasi Tuhan yang hidup dan segar, bukanya manifestasi Tuhan yang sudah memfosil dan menjadi mumi selama ratusan tahun.  
  *Muhammad Muhibbuddin adalah pegiat komunitas pecinta filsafat “ZAT Community “Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment