Monday, November 14, 2011

KEPALSUAN POLITIK DAN PEMBOHONGAN PUBLIK


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
 Politik nasional sekarang ini semakin telanjang mempertontonkan kepalsuan, kedustaan dan kebohongan. Polemik surat palsu MK soal hasil pemilu di Sulsel I yang sekarang ini mencuat adalah salah satu contohnya. Tidak menutup kemungkinan kepalsuan-kepalsuan lain yang berkaitan dengan kebijakan politik nasional kita sangat banyak jumlahnya. Hanya saja rakyat secara umum tidak mengetahuinya. Boleh jadi, berbagai kebijakan politik yang selama ini kita anggap benar justru palsu, apa yang selama ini nampak sebagai kebenaran politik justru merupakan kebohongan politik. Betapa silang sengkarutnya tatanan politik nasional kita sekarang ini, sehingga nyaris kabur dan sulit diidentifikasi antara kebenaran dan kepalsuan, antara realitas dan artifisialitas, antara fakta dan fiksi.
Fatamorgana Politik
Terkuaknya berbagai skandal politik palsu belakangan ini menunjukkan bahwa fenomena politik yang selama ini ada tidak lain hanyalah sebatas fatamorgana politik. Apa yang nampak di permukaan tidak mencerminkan fakta aslinya. Bahkan yang ada di permukaan itu sebenarnya kontradiktif dengan yang sebenarnya. Fenomena politik yang selama ini nampak kasat mata hanyalah sebatas citra, image, kesan yang sengaja dikontruksi untuk mengelabui publik. Termasuk polemik  soal pembrantasan korupsi, tidak menutup kemungkinan, hanyalah lipstik belaka. Jangan-jangan program pembarantasan para koruptor yang selama ini umup dipermukaan justru usaha untuk melindungi para koruptor itu sendiri. Kalau memang kenyataannya begitu, maka sungguh sempurna fatamorgana politik di negeri ini.
Fatamorgana politik  pada prinsipnya adalah ilusi, fantasi dan halusinasi yang jauh dari kenyataan politik. Apa yang disajikan oleh fatamorgana politik  bukanlah fakta politik melainkan simulakra politik. Apa yang disajikan oleh simulakra hanyalah citra dan kesan, sesuatu yang seolah-olah alias palsu. Simulakra politik berarti politik palsu, simulakra keadilan berarti keadilan palsu dan seterusnya. Termasuk simulakra hukum sendiri. Ketika wacana hukum  telah diliputi dan dikuasai oleh citra dan image, maka kata Jean Baudrillard (Simulacra and Simulation:1993) dunia hukum akan menjelma menjadi iring-iringan simulakra, tiruan model-model realitas hukum yang melampaui dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan realita hukum yang sesungguhnya (hyper-reality of law).
Terkait dengan fatamorgana politik di negeri kita saat ini, boleh jadi diskursus hukum  yang selama ini terus mengemuka adalah cermin dari simulakra hukum semata. Sehingga wajar kalau keadilan hukum yang selama ini kita nanti-nantikan tak kunjung menjadi kenyataan. Sebab, hukum yang selama ini dipraktikkan oleh para aparat hukum hanya sebatas simulakra, hanya sebatas citra, kiasan, lipstik dan permainan belaka. Para aparat hukum tidak sungguh-sungguh menegakkan hukum, tetapi hanya sanggup bermain-main untuk memproduksi kepalsuan wacana hukum. Terbukti, para aparat hukum hanya mampu menghukum penjahat-penjahat kelas teri, tetapi tetap tak berdaya di hadapan penjahat-penjahat kelas hiu. Para garong negara yang statusnya sudah terdakwa banyak yang lari dan sembunyi ke luar negeri. Tetapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda dari aparatur hukum untuk bisa menindaknya. Penegakan hukum akhirnya menjadi tebang pilih.
Fatamorgana politik semakin melembaga menjadi budaya karena masing-masng aktor politik berada dalam politik sandra. Seseorang tidak bersedia mengungkap kasus temannya karena dia sendiri khawatir kalau kasusnya akan diungkap. Akhirnya, masing-masing aktor politik yang terjerat masalah hukum menjalin  kesepakatan untuk saling menutupi. Yang dimunculkan ke permukaan kemudian wacana-wacana politik palsu, informasi-informasi hukum palsu, kebijakan-kebijakan palsu, penyidikan-penyidikan palsu, proses pengadilan palsu, pola pembrantasan palsu dan keputusan palsu. Inti dari semua kepalsuan itu adalah untuk menutupi kebobrokan dan kebusukan mereka yang sebenarnya. Aneka macam produk politik palsu tersebut sengaja didesain untuk menghilangkan dan menyamarkan jejak-jejak kejahatan bahkan untuk memutarbalikkan fakta yang sesungguhnya.
Pembohongan publik
Maraknya berbagai fatamorgana politik yang diwujudkan oleh menyeruaknya beragam bentuk citra dan kepalsuan tersebut, mengindikasikan bahwa orientasi kerja para aktor politik di negeri ini bukan untuk membela nilai-nilai kebenaran. Tetapi justru sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk  bisa menciptakan dan menyuguhkan aneka macam menu kepalsuan kepada publik; bukannya kebenaran yang mereka persembahkan kepada publik, melainkan kebohongan dan kebohongan.  Merupakan sebuah kenyataan bahwa para politisi kita itu tidak bekerja sesuai dengan aspirasi rakyat yang sebenar-benarnya.  Mereka justru semakin bergairah untuk berusaha membohongi rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru sengaja ditelikung, dikhianati, diliciki dan dipecundangi. Betapa mereka itu adalah setan-setan yang terlaknat!.
Sudah tidak ada yang bisa dipercayai lagi di negeri ini. Kalau para penguasa dan pemimpin di negeri ini hanya bisa main intrik dan strategi membohongi rakyatnya sendiri, maka tidak ada gunanya mempercayai mereka lagi. Rakyat sudah sungguh-sungguh memberi kepercayaan kepada mereka, tetapi sebaliknya mereka justru memberikan kebohongan dan kepalsuan kepada rakyat; rakyat sudah sepenuhnya memberikan kesempatan kepada mereka, tetapi mereka justru mengkhianati dan menyia-nyaikan amanah itu. Memang betapa mahalnya kejujuran di negeri Pancasila ini. Para penguasa benar-benar tidak lagi mempunyai itikad baik (political will) untuk berlaku jujur kepada rakyatnya sendiri. Mereka menjalankan amanah rakyat tidak lagi dengan akal sehat dan hati nurani, melainkan dengan nafsunya sendiri. Apa yang ada di dalam kepala para penguasa itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan. Kebusukan inilah yang kemudian dibungkus sedemikian rupa sehingga seolah nampak baik dan benar.   
Ketika para penguasa di negeri ini pola bekerjanya sudah berdasarkan pada kepalsuan dan kebohongan, maka tidak ada harapan lagi dari mereka akan hadirnya sebuah keadilan dan kesejahteraan, kecuali keadilan dan kesejahteraan yang palsu.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum kajian filsafat ZAT COMMUNITY Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment