Friday, November 11, 2011

BERAGAMA DI ERA POSTMODERNISME

Wacana postmodernisme menjadi sebuah diskursus yang debatable baik dalam kancah pemikiran akademik maupun sosial. Ia menjadi grand tema yang turut menjadi bagian di hampir semua disiplin ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial dan humaniora.
Secara singkat gerakan postmodernisme hanyalah sebuah reaksi terhadap modernisme. Ia merupakan semangat pemikiran yang mencoba menggugat asumsi-asumsi dasar modernisme. Bagi postmodernisme nalar dan paradigma modern adalah bangunan pemikiran yang telah usang dan oleh karena itu tidak berlaku kembali. Tapi meskipun demikian postmodernisme ini pada hakekatnya juga bagian dari modernisme.Ia bukanlah gerakan pemikiran independen yang seratus persen terlepas dengan modernisme. Menurut Lyotard, kata post dalam post modernisme bukan bermakna telah atau paska modernisme. Gerakan postmodernisme ini tidak bisa dianggap sebagai gerakan baru setelah modernisme atau strukturalisme. Ia tetap merupakan bagian yang integral dari modernisme. Bahkan Habermas menyebutnya sebagai proyek modernisme yang belum selesai.
Untuk memahami apa itu postmodernisme, yang lebih tepat adalah dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri dan asumsi dasar pemikirannya yang membedakan dengan pola pemikiran modern. Lantas sekarang apa ciri khas pemikiran modern versus postmodern itu? Lebih tepatnya, corak pemikiran modernisme yang bagaimana yang menjadi sasaran dekonstruksi postmodernisme? Pemikiran modernisme yang menjadi sasaran kritik dan dekonstruksi postmodernisme adalah pola-pola pemikiran yang memposisikan manusia sebagai satu-satunya subyek dan dunia eksternal manusia sebagai obyek. Hal ini seperti yang tercermin dalam asumsi –asumsi modernisme yang menjadi dasar dari seluruh bangunan epistemologinya. Asumsi-asumsi itu diistilahkan oleh Lyotard dengan narasi-narasi besar (grand narratives) atau metanarasi (menurut Arandt). Asumsi-asumis itu misalnya berupa klaim rasionalisme, postivisme, materialisme dan humanisme. Sederetan paham ini mempertegas posisi manusia sebagai subyek dan rasio sebagai pusat.
Narasi besar tersebut merupakan sebuah klaim kebenaran universalisme yang ditotalitaskan menjadi dasar pegangan hidup yang pasti dan mengatasi seluruh realitas. Sehingga segala sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi-narasi besar itu tidak dianggap sebagai kebenaran. Dengan demikian ia merupakan pemikiran yang tunggal, seragam dan serba pasti atau absolut. Asumsi-asumsi dasar yang metanaratif semacam inilah yang digugat oleh postmodernisme. Gugatan terhadap modernisme yang serba pasti, tunggal dan absolut tersebut diawali oleh Heidegger dan puncaknya pada Derrida. Dengan proyek destruksinya Heidegger mencoba melebur dualisme subyek dan obyek yang dikapling secara jelas dan pasti oleh modernisme.
Ia menegaskan bahwa manusia dan alam sekitarnya adalah interrelasi yang saling mempengaruhi, sehingga tidak mungkin manusia menjadi satu-satunya subyek dan pusat yang menentukan gerak sejarah. Leburnya dualisme tersebut semakin lumat seiring dengan tampilnya Derrida. Kalau destruksinya Heidegger terhadap modernisme—yang menurut Derrida masih dibayang-bayangi absolutisme— itu masih ada kemungkinan untuk dibangun kembali, maka Derrida membawa proyek Heidegger itu ke wilayah yang lebih radikal. Ia telah memecah, mengahncurkan dan memporak-porandakan bangunan pemikiran modernisme sedemikian rupa sehingga tidak ada kemungkinan lagi untuk direkonstruksi. Palu yang digunakan oleh Derrida untuk melululantahkan paradigama modernisme tersebut adalah dekonstruksi.
Dengan dekonstruksi, narasi-narasi besar, yang serba pasti, tunggal, seragam dan absolut tersebut dicoba oleh postmodernisme untuk diganti dengan paradigma yang serba mungkin, plural, warna-warni dan relativ bahkan nihilis. Sehingga dunia postmodernisme adalah dunia yang tanpa pusat dan standar baku secara universal. Pandangan dunia modern yang cenderung dipakemkan, didisiplinkan dan ditotalitaskan akhirnya menjadi puing-puing kebenaran yang berserakan dan tak teratur.
Praktik keberagamaan di era postmo
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan sejarah peradaban manusia di atas, sekarang, bagaimanakah baiknya kita mengimplementasikan praktik keberagamaan kita? Pertanyaan semacam ini penting, karena untuk menjawab persoalan masalah keberagamaan di tanah air kita yang akhir-akhir ini dalam gejolak. Fenomena bergejolaknya praktik keberagamaan itu ditunjukkan dengan tragedi penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyyah yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu.
Apapun alasannya praktik penyerangan, teror dan ancaman terhadap kelompok Ahamadiyyah adalah tindakan kriminal yang tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun moral. Landasannya jelas bahwa masalah keyakinan atau agama adalah masalah fitrah manusia, masalah hak pribadi yang paling asasi. Ia merupakan hasil internalisasi dari pencarian, penghayatan dan pengalaman seseorang terhadap realitas hakiki. Oleh karena itu seseorang tidak boleh memaksa atau melarang kepada orang lain untuk berkeyakinan lain . Karena ini merupakan penghayatan pribadi, maka sudah barang tentu hasil pencarian atau penghayatan antara satu dengan yang lainnya berbeda. Meskipun itu bertentangan dengan keyakinan atau agama mayoritas yang menjadi mainstream masyarakat tertentu, bukan berarti ia salah. Salah dan benarnya sebuah keyakinan tidak bisa ditentukan dengan standar mayoritas atau minoritas kelompok. Meskipun FUI atau MUI yang mengklaim diri sebagai mayoritas, ia tidak bisa menuduh Ahmadiyyah sebagai kelompok yang salah atau sesat. Atas dasar kebenaran apa FUI atau MUI berani menjamin dirinya sebagai kelompok Islam yang benar dan Ahamdiyyah sebagai kelompok agama yang sesat.Lebih dari itu, masalah perbedaan keyakinan dan agama di negara kita, mendapat perlindungan undang-undang.
Masalah penghakiman sepihak terhadap Ahamadiyyah tersebut adalah sebuah potret praktik agama yang sudah usang, yakni sistem dan pola beragama yang menawarkan kepastian, kejelasan dan cenderung mengabsolutkan serta mentotalitaskan ajaran-ajarannya. Nilai-nilai dalam agama itu lebih diposisikan sebagai pakem ilahi yang absolut dan final dari pada sebuah bangunan nilai yang relatif dan dinamis.
Maka kalau agama masih tetap ingin mendapatkan tempat dalam peradaban postmo, pola keberagamaan yang sudah kedaluwarso tersebut saatnya harus didekonstruksi. Dalam beragama seseorang tidak lagi menjadikan paham keagamaanya sebagai satu-satunya kebenaran tunggal, melainkan tetap mengapresiasi kemungkinan-kemungkinan kebenaran lain di laur dirinya. Agama jangan lagi menawarkan ajaran-ajaran yang serba baku, jelas, absolut dan pasti melainkan lebih memberikan gedoran, rangsangan dan tantangan dengan sejumlah kemungkinan kepada pemeluknya. Agama jangan lagi membuka ladang kepastian yang di dalamnya tertanam nilai-nilai yang sifatnya sudah jadi dan pasti dan kemudian ditotalitaskan, tetapi sebaliknya agama harus bisa membuka semesta kemungkinan yang di dalamnya bersemayam beragam relatifitas dan semangat pencarian. Biarlah pelaku agama itu sendiri nantinya yang menemukan bentuk-bentuk kebenaran, agama cukup memposisikan dirinya sebagai lading pencarian itu.
Jadi dengan demikian, beragama di era postmo bukan lagi untuk mengambil bentuk dan ajaran yang merupakan produk yang sudah jadi dan final, melainkan justru sebuah pelecut untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang tak kenal batas dan kata selesai. Dengan demikian , dalam beragama sekarang ini, yang dibutuhkan adalah dialog dan saling membuka diri, bukannya saling menghakimi dan menutup diri.

No comments:

Post a Comment