Friday, November 11, 2011

ANOMALI PERAN POLITIK KIAI

Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Sebuah anomali tak lazim terjadi di kalangan para kiai. Kamis (25/6) sejumlah kiai telah menghadiri silaturrahmi Kiai Kampung Se-DIY yang bertempat di Pesantren Khususi Krapyak, Yogyakarta. Para sesepuh-sesepuh agama ini berkumpul bukan untuk  bahtsul matsail atau  pengajian, melainkan membuat semacam deklarasi untuk mendukung pasangan capres-cawapres SBY-Boediono. Mereka juga bertekad agar kemenangan SBY-Boediono cukup dalam satu putaran (Kompas, 26/6/2009). Ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi menjelang pilpres 2009.  Sebelumnya Rabo (24/6) acara yang sama juga digelar di pulau garam Madura, tepatnya di Pondok Pesantren Azzubeir, Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur. Acara ini dihadiri sekitar 5.000 kiai kampung yang tersebar di seluruh pelosok pulau Madura (Tempo, 25/6/2009).
Peristiwa itu, dalam etika politik kiai ‘salaf’ baik kiai pesantren maupun  kiai kampong, terutama kiai khos, apalagi kiai khowasul khowas, jelas sesuatu yang tak lazim. Sebab, biasanya kiai lebih diidentikkan dengan sosok yang menjaga jarak dengan para penguasa. Alasannya, karena posisi dan fungsi elementer kiai adalah sebagai kekuatan moral dan sekaligus pendamping masyarakat ketika face to face dengan penguasa. Tetapi melalui pertemuan itu, para kiai justru secara terang-terangan mendukung penguasa.
Obyek kekuasaan
Anomali peran politik kiai yang mengarah pada aksi dukung mendukung terhadap para capres-cawapres tersebut jelas bisa merontokkan wibawa kiai sebagai kekuatan moral dan kultural masyarakat. Dengan mendukung salah satu kandidat secara transparan semacam itu, menunjukkan bahwa para kiai tersebut sudah menjadi obyek kekuasaan. Peran kiai sebagai check and balance terhadap kekuasaan tidak lagi bisa diharapkan. Sebab, ia sudah masuk dalam wilayah pragmatisme politik yang seharusnya menjadi ‘zona terlarang’ bagi para kiai. Ketika zona ini diterjang, para kiai tersebut sama saja telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan. Jelas, ini merupakan disorientasi perjuangan para kiai.
Kekuasaan, seperti yang disimbolkan oleh Gamal Al-Banna (2006), adalah api yang panas membara, yang akan membakar setiap yang bersentuhan dengannya secara langsung. Tidak ada jalan keluar kecuali kita kelilingi api ini dengan lautan air, yang ombaknya akan mampu memadamkan nyala api kekuasaan, atau membatasinya dalam daerah yang sempit. Disorientasi perjuangan para kiai tersebut akan membawa dampak pada mandulnya peran kiai sebagai penyeimbang dan pembatas kekuasaan. Karena orientasinya pada kekuasaan, mereka justru membakar dirinya, membakar  idealismenya, membakar idiologinya dan membakar moralnya dengan api kekuasaan itu sendiri.
Para kiai seharusnya lebih konsisten mengarahkan perjuangannya ke wilayah sosial kemasyarakatan, bukan ke arah struktur-kekuasaan. Dalam wilayah sosial ini garapan kiai sebenarnya jauh lebih luas dan besar. Mereka bisa menjadi motor penggerak masyarakat untuk membangun kekuatan sipil sebagai medium perlawanan terhadap segala macam kebobrokan sistem politik dan penyelewengan kekuasaan. Bentuk konkritnya misalnya mengajak masyarakat untuk mengusung isu good governance dan anti korupsi. Pengembangan agenda ini, sebagaimana dikatakan oleh As’ad Ali Said (2008) ditujukan untuk mendorong terwujudnya kantong-kantong anti korupsi yang dimotori kalangan Kiai dan Nyai selaku pemuka agama dan masyarakat. Mereka diharapkan tumbuh partisipasinya dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan publik. Utamanya, memantau kebijakan publik dalam penggunaan kekuasaan dan uang negara. Isu –isu lain yang sifatnya krusial dan substansial menyangkut kehidupan masyarakat juga sangat membutuhkan kontrol dan pengawasan para kiai.
Dengan menjadi kekuatan kultural- masyarakat tersebut justru akan menjadikan para  kiai sebagai subyek sentral yang sangat diperhitungkan dalam panggung politik. Ia mempunyai bargaining power dan bergaining position yang kuat di hadapan para penguasa. Ini sekaligus indikasi bahwa para kiai adalah orang-orang yang tidak mudah di dipengaruhi dan dijadikan kacung oleh para politisi. Posisi semacam ini akan menjadikan kiai sebagai figur yang sangat dihormati dan di segani oleh berbagai pihak, terutama oleh masyarakat dan para penguasa itu sendiri.
Namun harapan semacam itu kini mulai lenyap seiring dengan adanya anomali peran politik para kiai yang cenderung pragmatis tersebut. Para kiai, dalam hal ini, seolah  merelakan dirinya dijadikan budak politik oleh para politisi. Apalagi aksi dukung mendukung itu jelas-jelas hasil settingan dan agenda dari partai politik pendukung SBY. Secara tidak langsung para kiai itu telah diperalat oleh para poltisi.
Hilangnya perekat masyarakat
Dampak negatif dari anomali peran kiai ini bukan hanya menjatuhkan kehormatan para kiai, tetapi juga menjadikan masyarakat kehilangan sosok pengayom dan pemersatu anggota masyarakat. Pemilu sering kali menimbulkan ketegangan dan konflik di kalangan masyarakat yang berbeda pilihan. Hal ini sering menjadikan retaknya kohesi sosial yang menyebabkan perpecahan dalam masyarakat.
Di tengah konflik dan perpecahan yang mengancam ini, jelas sangat dibutuhkan sosok yang bijak, sejuk dan bisa mengayomi seluruh masyarakat. Dan sosok itu, di antaranya adalah para kiai. Sebagai tokoh kultural-masyarakat yang mempunyai wibawa tinggi dan kharisma besar, kiai mempunyai peluang yang luas untuk netral dan tidak ikut terjebak ke dalam faksi-faksi politik. Posisi semacam ini jelas sangat potensial dan efektif untuk meredam konflik di masyarakat.
Tetapi, ketika para kiai sudah ikut-ikutan aksi dukung mendukung, berarti mereka sama saja masuk ke dalam polarisasi politik.  Kondisi ini akan membawa mereka  terlibat dan terjerat konflik. Bagi para kiai pendukung pasangan SBY-Boediono tersebut, tidak menutup kemungkinan, akan terseret arus konflik dengan para kiai pendukung pasangan JK-Wiranto maupun pendukung Mega-Prabowo. Ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi para kiai itu sendiri. Dan umatlah (grass root) yang akan menjadi korban. Ketika para gajah saling sruduk, maka rumputlah yang rusak terinjak-injak. Inikah yang diinginkan oleh para kiai di balik aksi dukung-mendukungnya tersebut?
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

No comments:

Post a Comment