Friday, November 11, 2011

HINDARI PEMILU GADUNGAN

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*
Meskipun Pilpres sudah berada di ambang pintu, namun sejumlah persoalan krusial dan substansial masih belum terselesaikan. Salah satu masalah yang saat ini masih menggelayuti proses pelaksanaan Pilpres 2009 adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pilpres kali ini terancam tidak bisa berjalan secara demokratis, karena kekisruhan DPT di sejumlah daerah. Ditemukan sejumlah fakta di lapangan tentang adanya sejumlah warga masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih, penggadaan kartu suara bahkan yang lebih naïf, masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui kapan pilpres kali ini dilakukan. Persoalan ini akhirnya semakin komplek. Bukan saja menyangkut tidak meratanya pendaftaran pemilih, tetapi juga terkait dengan persoalan yang paling fundamental, yakni tidak meratanya informasi dan sosialisasi pemilu di tengah masyarakat. Anehnya, kekisruhan ini nampak sengaja didesign untuk memenangkan capres-cawapres tertentu. Hal ini karena KPU dinilai tidak netral dan tertutup (Kompas, 6/6/2009).

Fata morgana politik
Munculnya persoalan DPT tersebut, menjadikan Pilpres kali ini ternacam jatuh (das fallen) ke dalam jurang fata morgana politik. Fata morgana politik menurut Yasraf A. Pilliang (Transpolitika:2005) adalah kondisi ketika politik terjatuh dan terserrap ke dalam mekanisme citra dan tanda-tanda, yang di dalamnya citra secara ontologism diterima sebagai bentuk eksistensi dan model realitas politik, yang meskipun demikian bukanlah lukisan tentang realitas dan kebenaran politik yang sesunguhnya dan autentik, yang menciptakan relasi politik sebagai relasi yang semu, palsu dan permukaan. Fata morgana politik menawarkan masyarakat politik sebuah dunia ilusi (tentang demokrasi, kepahlawanan, kemanuisaan, kejantanan, feminitas, status, prestise dan sebagainya), yang sebetulnya bukanlah gambaran dari realitas atau kebenaran yang sesungguhnya.
Politik pada dasarnya adalah dunia yang riel. Di dalamnya terkandung berbagai unsur ontologis yang kongkrit. Salah satu unsur itu adalah aktor politik. Ini meliputi para pemilih. Karena para pemilih ini merupakan subyek yang sangat menentukan terjadinya perubahan dalam dunia politik. Tetapi dengan terjerembabnya politik ke dalam jurang fata morgana, unsur-unsur ontologi di dalamnya, termasuk aktor politik menjadi kabur dan hilang.   Proes perjalanan politik akhirnya menjadi absurd. Ada banyak asap yang berjubel, tetapi tidak ada apinya.
DPT merupakan sebuah reprsentasi dari kuantitas pemilih. Banyaknya pemilih inilah yang nantinya menghasilkan jumlah suara yang menjadi tolok ukur siapa yang menang dan kalah dalam pertarungan Pilpres. Atas dasar itu, keksiruhan DPT itu akan menjadikan Pilprs kali menuju ketidakpastian dan ketidakjujuran. Sebagai wujud dari fata morgana politik, kekisruhan DPT ini akan membawa dampak negativ dalam panggung politik nasional. Absurditas DPT itu akan melahirkan virtualitas politik. Virtualitas politik inilah yang menyebabkan realitas poltik tercerabut dan tergantikan oleh artifisialitasnya. Hasil dari proses politik, dalam kontek Pilpres ini, bukan lagi mencerminkan fakta Pilpres yang sebenarnya, tetapi wujud rekayasanya. Jumlah suara yang terhitung dalam pilpres bukan lagi mencerminkan jumlah para pemilih, tetapi lebih merupakan ilusi dan fiksi belaka.
Pemilu gadungan
Kisruh DPT yang mengancam lahirnya fata morgana politik tersebut, jelas akan melahirkan pemilu gadungan. Pemilu gadungan adalah pemilu yang lebih diwarnai oleh berbagai absurditas karena luruhnya garis damarkasi antara realitas dan virtualitas, fakta dan fiksi, ontologi dan simulasi, kebenaran dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan. Batas-batas nilai itu akhirnya menjadi kabur karena diselimuti oleh kungkungan citra dan tanda sebagai hasil rekayasa. Ketika DPT ini tidak terselesaikan dan tetap dibiarkan absurd semacam ini, maka sama halnya itu akan membuka ruang sebebas-bebasnya terhadap menyeruaknya kebohongan, kepalsuan, kedustaan dan sebagainya.
Dampak negativ dari tidak jelasnya DPT tersebut, jelas, terjadinya penggelambungan suara. Pilpres akan dipenuhi oleh suara-suara palsu dan anonim. Jumlah suara nyaris berada dalam dunia virtual. Dunia virtual, seperti yang dikatakan oleh Michel Hardt dan Anthony Negri, adalah dunia yang melampoi ukuran. Dalam dunia yang melampoi ukuran ini tidak lagi dijumpai batas. Jumlah suara yang sudah masuk dalam ruang virtualitas akan tidak mengalami pembatasan, jumlah itu akan terus menggelembung dan berkembang secara fiktif. Bahkan bisa jadi ia akan melampoi realitas jumlah suara yang ada di lapangan. Pemanipulasian dan pemalsuan jumlah suara yang masuk itu tidak lain adalah cermin dari fatamorgana politik yang berada dalam pemilu gadungan.
Dalam pemilu gadungan itu tergambar jelas bahwa proses sebuah aktifitas politik tidak lagi berjalan di atas nilai-nilai moral, tetapi justru menggusur dan menjungkirkannya. Kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan akan menjadi penghias dalam proses pemilu tersebut. Ketika proses pemilu sudah di warnai oleh beragam kebohongan dan kedustaan, sudah penuh dengan rekayasa dan kepalsuan, sudah tidak legi mencerminkan fakta dan realitas, tetapi lebih menampakkan fantasi dan halusinasi, maka jangan berharap hasil pemilu nanti akan membuahkan hasil yang benar-benar riel. Karena diproses melalui rekayasa, maka hasil pemilu jelas palsu.Kepalsuan tersebut akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Seolah hasil pemilu gadungan itu benar-benar hasil yang murni dan riel, padahal itu semua hanya fata morgana.
Kalau memang Pilpres kali ini diharapkan mampu menjadi pintu untuk merubah dan langkah politik awal untuk menangani semua problem bangsa, maka masalah DPT yang diliputi oleh kabut absurditas tersebut harus segera diselesaiakan. Kata Matahma Gandhi, sebaik apapun tujuannya, tetapi cara yang digunakan salah, maka itu tidak bisa dibenarkan. Hendak mengatasi problem bangsa melalui pemilu gadungan jelas salah. Sebab, pemilu gadungan seringkali  menghasilkan pemimpin yang juga gadungan. Kalau pemimpinnya gadungan, kebijakannya pun gadungan.
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)

No comments:

Post a Comment