Friday, February 24, 2012

PERLAWANAN SENI TERHADAP RADIKALISME AGAMA


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*

Seniman Bramanthyo Prijosusilo, Rabo (15/2) dikeroyok oleh puluhan anggota Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Aksi pengeroyokan laskar MMI itu terkait dengan pertunjukan seni Social Sculpture (Patung Sosial) Bramanthyo yang berjudul “Melawan Kerusakan Atas Nama Agama”. Pertunjukan seni ini merupakan usaha Bramanthyo untuk melawan gerakan radikalisme agama yang sampai sekarang terus menggejala. Aksi Bramanthyo ini tergolong berani karena digelar secara langsung (live) di depan markas MMI Yoya, Jl. Karanglo 94, Bantul, Yogyakarta.Akibat tindakannya itu, sekretaris MMI, Shabbarin Syakur melaporkan Bramanthyo ke POLDA DIY dengan tuduhan melakukan kegiatan seni yang bernuansa SARA (Kompas:Kamis,16/2/2012). Namun, Bramanthyo tidak peduli dengan tuntutan hukum MMI itu. Dia tetap akan terus berjuang melawan anarkhisme dan radikalisme kelompok agama melalui jalur seni.

Ekspresi kreatif Seniman
Ekspresi Bramanthyo tersebut adalah bagian dari ekspresi kreatif seorang seniman. Ekspresi kreatif, kata Muji Sutrisno (Teks-Teks Kunci Estetika: 2005), merupakan tanggapan dari renungan seniman terhadap kehidupan masyarakatnya. Apa yang ditampilkan oleh Bramanthyo lewat aksi keseninya itu merupakan wujud kegelisahannya terhadap persoalan masyarakatnya. Persoalan itu adalah aksi radikalisme, anakhisme dan tindak kekerasan yang dibungkus agama. Sebuah kekerasan yang dianggap absah dan wajar hanya karena ditampilkan dalam performance religius. Akibatnya adalah menggejalanya absurditas nilai dan penyesatan pemikiran.Aksi kekerasan dan tindakan bar-bar kemudian dipahami sebagai bentuk “jihad suci”, tindakan arogansi, intoleransi dan menang sendiri  dianggap sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. Tak jarang aksi-aksi semacam ini kerap melanda masyarakat dan salah satu sasarannya adalah para seniman.
Seniman dengan  imaji-imajinya yang liar sebagai bentuk refeleksi kritis dan inovatif terhadap realitas sering menjadi sasaran teror para kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu. Namun, apa yang digelisahkan oleh para seniman, termasuk oleh Bramanthyo tersebut, tentu bukan hanya menyangkut persoalan yang menimpa dunianya sendiri, melainkan mencakup wilayah yang lebih luas. Fenomena radikalisme dan kekerasan atas nama agama, adalah problem sosial yang menimpa seluruh masyarakat. Banyak elemen masyarakat yang dirugikan oleh gerakan ini. Sebuah agama yang sejatinya mengandung nilai-nilai luhur juga akhirnya tercoreng disebabkan oleh ulah kelompok radikal dan anarkhis.
Faktornya sebenarnya sederhana. Para kelompok radikal itu tidak siap untuk menerima perbedaan. Mereka rata-rata berpikiran monolitik yang melihat realitas hanya berdasarkan prinsip hitam- putih. Paradigma yang digunakan adalah opsisi biner:  mukmin-kafir, theis-atheis, surga-neraka dan seterusnya. Padahal kenyataannya realitas kehidupan begitu kaya warna bahkan kompleks yang tidak bisa direduksi ke dalam ukuran-ukuran yang serba hitam-putih tersebut. Pola-pola berpikir yang hitam putih semacam itu akhirnya menggiring masyarakat ke dalam budaya berpikir dangkal. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai yang dipakemkannya maka itu dianggap bid’ah dan bahkan murtad sehingga halal dirusak. Pola pikir semacam ini hingga sekarang masih terus menggeliat di tengah masyarakat. Maka wajar kalau benturan antar umat beragama maupun antar kelompok sosial lainnya, yang seharusnya tidak perlu terjadi justru menjadi tontonan sehari-hari.
 Radikalisme dan anarkhisme berbaju agama  kemudian adalah penyakit yang menimbulkan ketidaknyamanan di tengah kehidupan bersama. Eksistensi kehidupan sosial menjadi terancam. Relasi sosial dan kemanusiaan yang menjadi pilar bagi tegaknya harmoni dan perdamaian antar sesama indifidu dan kelompok menjadi tercabik-cabik. Sehingga wajar kalau fenomena radikalisme dan kekerasan berlatar belakang agama kemudian menjadi kegelisahan para pihak, termasuk dari kalangan seniman, khususnya Bramanthyo.
Dengan keliaran dan kebebasan imajinasi-reflekstifnya, Bramanthyo mengolah kegelisahannya itu menjadi suguhan kreasi estetis yang sarat dengan gugatan-gugatan kritis. Hal ini dtampilkan sebagai usaha untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap persoalan sosial yang akut yakni radikalisme agama. Melalui aksi pertunjukan seninya, Bramanthyo bukan sekedar berusaha menunjukan kreasi imajinasinya yang unik, melainkan menyuguhkan sebuah persoalan yang cenderung dilupakan masyarakat. Fenomena itu sekarang bahkan semakin tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan.
Karena itu, perlu memang sosok-sosok  seperti Bramanthyo, yang berani dan mampu menyajikan suguhan-suguhan kreatif dan kritis untuk membangunkan kesadaran masyarakat yang saat ini tengah terlelap akibat terus menerus tertindas oleh berbagai macam persoalan termasuk kekerasan atas nama agama.
Salah alamat
Apa yang digelisahkan dan dikritik oleh Bramanthyo adalah gejala radikalisme, anarkhisme dan kekerasan yang dibalut dengan baju agama. Karena itu tidak tepat dan salah alamat kalau MMI memperkarakan Bramanthyo dengan tuduhan berbuat SARA. Pada prinsipnya, Bramanthyo tidak mempermasalahkan jenis agama,suku atau kelompok apapun. Yang dia persoalkan adalah pola pikir atau paradigma berpikir sekelompok masyarakat. Kalau yang diangkat oleh Bramanthyo itu adalah budaya radikalisme dan anarkhisme, maka itu lebih tertuju pada paradigma dan pola berpikir sebuah masyarakat dalam memandang persoalan, bukan kepada organisasi atau kelompok tertentu misalnya MMI.
Sebab, gejala radikalisme itu adalah persoalan budaya dan pemikiran yang bisa tumbuh di mana-mana. Bahkan kelompok-kelompok agama yang mengklaim paling moderat pun faktanya masih bisa terjangkiti oleh budaya radikalisme dan anarkhisme. Kalau MMI misalnya menjadi salah satu sasaran kritik Bramanthyo, pada dasarnya bukan eksistensi MMI yang dipersoalkan oleh Bramanthyo melainkan pola pikir MMI yang dianggap radikal dan anarkhis.  Benarkah MMI tidak radikal dan tidak anarkhis? Ini yang harus dijawab oleh MMI.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota diskusi filsafat ZAT Community Yogyakarta

No comments:

Post a Comment