Friday, February 24, 2012

ESTETIKA DAKWAH DALAM SEKATEN

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

Secara historis budaya Sekaten muncul pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, ketika Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara yang didukung oleh Wali Songo mendirikann Masjid Agung Demak. Dalam musyawarah para wali itu tercetus ide tentang  digelarnya kegiatan dakwah Islam yang Syi’ar  secara kontinyu selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W sekaligus untuk memperingati maulid Nabi.  Ide itu disebut Sekaten. Sekaten merupakan cara yang khas masyarakat Jawa dalam memperingati milad (hari lahir) Nabi SAW. Karena orientasi acara ini adalah untuk dakwah maka tentu perlu mendapatkan simpati atau perhatian masyarakat.
  Agar kegiatan tersebut menarik perhatian masyarakat luas, dibunyikanlah dua perangkat gamelan  buah karya Sunan Giri dengan membawakan gending-gending ciptaan para wali, khususnya dari Sunan Kalijaga. Hingga kini penabuhan dua gamelan itu dijadikan sebagai tanda untuk memulai acara besar Sekaten. Di Yogya sekarang dua gamelan itu dinamakan, Kiai Guntur Madu dan Kiai Nagawilaga. Pembukaan acara Sekaten di Yogya dimulai dengan penabuhan dua “kiai gamelan “tersebut.Setelah mengikuti kegiatan tersebut, konon masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun mengucapkan dua kalimah syahadat atau yang disebut dengan syahadatain. Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten yang berlaku secara populer sampai sekarang.
 Islam dan Seni
Satu hal yang menarik dari fenomena Sekaten tersebut adalah bahwa seni dan estetika ternyata bukanlah barang haram dalam Islam. Dalam sejarahnya yang panjang di bumi Nusantara, seni dan estetika  bisa berjalan seirama dengan Islam dan terbukti menjadi medium efektif untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman ke tengah  masyarakat. Maka sungguh heran dan  tidak masuk akal kalau di Indonesia ada kelompok  umat Islam yang dengan gampangnya membid’ahkan atau malah mengharamkan bentuk-bentuk kesenian dan budaya dalam masyarakat; dengan entengnya mereka menyebut bahwa Islam dan seni tidak bisa dipertemukan. Pandangan semacam  ini selain mereduksi dimensi keagamaan, juga menunjukkan kekerdilan dan kedangkalan pemikiran. Mereka yang membid’ahkan dan mengharamkan seni, kaitannya dengan agama, secara jelas hanya melihat bentuk luaran sebuah seni tanpa melihat muatan nilai yang terkandung di dalamnya.
Pola dakwah  yang dikemas dalam bentuk kesenian tersebut merupakan karya genius para wali dulu untuk menyebarkan ajaran agama ke tengah masyarakat secara damai dan indah. Keindahan adalah unsur primordial dalam diri manusia. Kecenderungan  jiwa manusia di antaranya adalah menyukai hal-hal indah. Ini memang sesuatu yang wajar. Sebab, manusia memang  sejak lahir dianugerahi jiwa dan potensi estetika . Dengan jiwa estetikanya inilah manusia bisa menikmati dan memaknai sebuah keindahan  yang ada di sekelilingnya. Karena itu, seni pada prinsipnya bukan hanya relevan dengan agama, tetapi lebih dari itu adalah refleksi dari fitrah manusia. Sebagai hasil dari olah dan penggalian potensi fitrah kehidupan manusia seni tidak mungkin dilepaskan dari kehidupan, terutama dari kehidupan masyarakat yang berkebudayaan dan berperadaban.
Dalam konteks yang lebih luas, seni atau estetika, pada prinsipnya juga berfungsi sebagaimana agama yani medium untuk memahami realitas. Ini terkait dengan  manusia sebagai makhluq yang berbudaya, yang mana ia tidak hanya hidup secara alami dan menuruti instingnya saja, tetapi mampu menanyakan dan mempersoalkan keberadaannya di dunia. Karena itu ia terus mempertanyakan, mencoba mencari jawaban atas berbagai misteri dan teka-teki hidup yang melingkupi dirinya. Dari sini lahirlah berbagai sudut pandang. Ada sudut pandang yang terbentuk dari indra, rasio dan intuisi atau perasaan. Seni adalah bagian dari sudut pandang untuk memahami dunia. Bahkan menurut Schopenhauer, seni merupakan jalan untuk mengetahui dunia noumenal. Schopenhauer membagi dua jalan dalam memahami dunia, yaitu jalan sains dan jalan seni. Jalan sains merupakan jalan yang dipakai untuk memahami dunia fenomenal (dunia obyektif), sementara  dunia noumenal bisa diketahui melalui jalan  seni. Dalam memahami dunia  noumenal ini tidak ada lagi distingsi antara subyek-obyek, keduanya lebur dalam  kesatuan.
Dalam pemahaman semacam inilah, seni dan agama (teologi atau tasawuf) pada prinsipnya tidak bertentangan melainkan bisa saling mendukung untuk menguak realitas. Dan pada level sosial, seni menjadi daya tarik tersendiri dalam mengkomunkasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai agama.
Miskin estetika
Seiring dengan perubahan zaman, dakwah sekarang justru semakin miskin estetika. Karena itu wajar kalau sekarang dakwah sama sekali tidak menarik. Bahkan yang seringkali terjadi dakwah sekarang lebih banyak muncul dalam bentuk teriakan kasar, penghujatan, ancaman, teror, intimidasi, memaki dan menyesatkan orang lain. Karena itu wajar, kalau Islam yang sejatinya indah dan menarik, kemudian berubah menjadi fenomena yang tidak menarik, karena ulah para pemeluknya yang miskin estetika dalam menyampaikan dan  mensosialisasikannya ke publik.
Bercermin dari Sekaten jelas bahwa cara dakwah para wali dulu lebih genius daripada da’i-da’i sekarang. Para wali itu bukan hanya mampu merefleksikan ajaran-ajaran Islam secara mendalam, tetapi juga mampu menyampaikan ajaran-ajaran itu dengan indah dan estetis. Sebaliknya, untuk berdakwah, da’i sekarang hanya mencukupkan diri menghafal satu dua ayat kemudian menafsirkannya secara literal dan ditambah dengan hujatan bid’ah,  kafir no!  atau retorika Islam  kaffah. Sungguh memalukan!.

*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta

No comments:

Post a Comment