Wednesday, January 23, 2013

Tuhan, Atheisme dan Problem Kedewasaan


TUHAN, ATHEISME DAN PROBLEM KEDEWASAAN
Oleh: Muhammad Muhibbuddin

Ada seorang koruptor yang mencuri uang rakyat miliaran rupiah. Ketika perbuatannya itu tidak terendus KPK, sang koruptor pun senang dan kemudian berkata: “Tuhan telah menyelamatkanku dari incaran KPK. Alhamdulillah”!. Bukan hanya itu, sang koruptor menggelar syukuran besar-besaran karena menganggap bahwa dirinya diselamatkan Tuhan dari cengkraman KPK. KPK kemudian menjadi sosok yang paling ditakuti daripada Tuhan itu sendiri. Di sisi lain ada juga seorang pejabat. Pejabat ini mengaku sebagai orang yang beriman kepada Allah Swt. Bahkan setiap kali bicara di hadapan rakyatnya selalu menganjurkan rasa takut dan patuh kepada Allah Swt. Setiap kali bicara, term-term keagamaan pun membanjir deras dari mulutnya: Masya Allah, Allah ya Kariim, Subhnallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar dan seterusnya. Pokoknya “Tuhan” banget!. Namun pejabat ini mempunyai banyak hobi, salah satunya adalah selingkuh. Setiap kali selingkuh yang ditakutkan bukan Tuhan, melainkan istri dan rakyatnya. Dia benar-benar sangat takut dan malu kalau sampai istri dan rakyatnya mengetahui skandalnya itu. Setiap kali selingkuh dan tidak diketahui oleh istri dan rakyatnya, sang pejabat pun bilang: “Alhmadulillah ya Allah, istri dan rakyatku tidak tahu kalau aku selingkuh” dan dia pun selalu rajin berdo’a. salah satu tujuan do’anya adalah skandalnya bisa tertutupi dari mata istri dan rakyatnya. Kemudian ada seorang anak sekolah yang tengah menghadapi ujian. Pada malam harinya dia berdo’a mudah-mudahan dia bisa mengerjakan soal-soal itu dan lulus ujian. Saat keinginannya itu tercapai; dia mendapatkan nilai bagus dan lulus ujian, maka dia pun bersyukur kepada Tuhan karena merasa do’anya dikabulkan.
Itu adalah sekelumit cerita soal Tuhan. Tuhan hingga kini masih dipersepsikan sebagai sosok yang sangat personal dan fungsional. Dalam konteks ini Tuhan kemudian dipandang sebagai pelindung, penyelamat dan pengayom bagi siapa saja, tak terkecuali bagi para koruptor dan pejabat yang menyeleweng. Bukan hanya para ulama, orang bijak dan  anak sekolah yang sedang ujian, para penjahat negara pun merasa berhak meminta perlindungan dari Tuhan atas segala tindak kejahatannya. Dalam konteks fungsionalitas inilah Tuhan diyakini keberadaanNya. Tuhan ada karena oleh manusia dipandang sebagai sosok yang bisa melindungi dan menyelamatkan. Tuhan ada karena manusia  membutuhkan sosokNya sebagai kekuatan penolong atas segala problematika kehidupannya. Tuhan ada karena manusia membutuhkan semacam sandaran bagi segala persoalan hidupnya, termasuk misteri yang melingkupinya. Tuhan ada sejauh manusia dilanda ketakutan dan ketidakberdayaan. Tuhan ada sejauh manusia mempersepsikanNya sebagai Sang Mesiah, Sang Penyelamat, Sang Pencipta dan sebagainya. Tuhan ada sejauh manusia didera inferioritas kompleks dan tak kuasa menghadapi kenyataan hidupnya. Kalau memang demikian, benar-benar adakah Tuhan? Kalau Tuhan ada sejauh manusia membutuhkan kedigdayaanNya, apakah Tuhan atau Allah benar-benar ada sebagaimana adaNya (Das ding ansich)?
Tuhan Sebagai  Paradigma
Sejarah soal Tuhan sangat terkait dengan usaha manusia untuk memaknai dan memahami dunia. Sejak kelahirannya manusia selalu berusaha mempertanyakan, menginvestigasi dan memahami dunia yang didiaminya. Hal ini karena memang dunia yang didiami manusia syarat dengan misteri dan kompleksitas persoalan yang tak terperi. Dalam usahanya itu, manusia selalu menemukan banyak cara untuk memahami dan memaknai dunia, yang tentu saja sesuai dengan kapaistas nalar dan intelektualnya. Karena itu pemahaman dan pemaknaan atas manusia selalu berkembang seusia dengan perkembangan inteleknya. Pengetahuan-pengetahuan baru manusia selalu muncul sebagai konsekuensi dari usahanya yang tak henti-hentinya memaknai dunia. Dengan pengetahuan –pengetahuan baru ini pula, bisa memajukan kualitas kehidupannya. Dengan usaha memahami dunia yang tiada henti pula, manusia selalu bisa merekonstruksi peradabannya.
Sebagai bagian dari proses pemaknaan dan pemahamannya terhadap dunia itulah muncul beragam paradigma, pola pikir, cara nalar yang diciptakan manusia dari generasi ke generasi. Paradigma atau pola pikir manusia yang paling purba untuk memahami dunia dan kehidupan alam semesta adaah pola pikir mitologis. Mitos diciptakan manusia sebagai kerangka berfikir dalam memahami dunia dan alam semesta.  Dalam mitos-mitos ini manusia meyakini dewa-dewa yang menguasai dunia. Dari pola pikir mitologis inilah cara menalar manusia terhadap dunia dan alam semesta kemudian terus mengalami perkembangan. Hingga pada suatu saat muncullah agama sebagai pola pikir baru bagi manusia. Agama dengan demikian, merupakan bagian strategi manusia untuk memahami dunia dan alam semesta sebagaimana mitos yang telah eksis sebelumnya.  Seperti kata John Farndon dkk (The History of Civilization: The Great Landmarks in the Development of Mankind,  2003:6) bahwa sebagaimana manusia berpikir tentang alam dunia dan posisi mereka di dalamnya, mereka mengembangkan mitos-mitos dan kepercayaan agama untuk memahami dunia dan alam semesta.
Pola pikir religius, sebenarnya secara esensial tidak jauh berbeda dengan pola pikir mitologis. Bagaimana pola pikir religius itu? yakni pola pikir yang bertolak dari pemahaman bahwa aspek-aspke kehidupan yang tidak mudah dinalar, tidak bisa dijelaskan dengan rasio atau nalar sehat, maka akan diyakini sebagai kenyataan yang dikuasai oleh sesuatu yang superior, entah itu roh-roh transenden,  Tuhan atau dewa---kalau dalam era mitologi. Bedanya dengan era mitologi, kalau realitas superior yang di era mitologi itu disebut dewa (god), maka pada era agama realitas superior itu berubah menjadi Tuhan atau Allah (God). Baik dewa (god) maupun Tuhan atau Allah (God), mencerminkan cara nalar manusia yang sama, yakni pola pikir yang meyakini adanya kekuatan yang serba Maha di luar diri manusia. Dari keyakinan ini muncullah ritual-ritual, tata cara penyembahan yang oleh kaum agama disebut dengan ibadah. Kalau dalam mitologi diteguhkan bahwa ada banyak dewa di balik yang kasat mata, maka dalam tradisi agama, khususnya dalam tradisi monotheisme diteguhkan bahwa ada Yang Satu yang berada di balik yang kasat mata. Yang Satu inilah yang menguasai seluruh kehidupan dan alam semesta, termasuk manusia. Seluruh alam material, berasal dariNya dan ada dalam genggamanNya. Dari Yang Satu ini pula, dalam Islam, muncul teori Wahdatul Wujud. Munculnya teori Wahdatul Wujud konon dilator belakangi oleh sebuah kegelisahan untuk menjawab hubungan antara Yang Satu dan yang jamak (alam material). Sementara itu, Ibnu Shina menyebut Yang Satu itu sebagai Wajibul Wujud dan yang jamak (alam material) disebutnya sebagai Mumkinul Wujud.
Dari situ kemudian jelas bahwa yang disebut dengan Tuhan, Allah, Elohim, Yahweh, God dan sebagainya tidak lain adalah sebuah paradigma atau pola pikir manusia paska pola pikir mitos. Kenapa Tuhan dalam konteks ini disebut paradigma? Karena dalam konteks agama, Tuhan menjadi kata kunci (key word) untuk menjelaskan dan memahami seluk beluk kehidupan dan alam semesta, bahkan menjadi dasar untuk memahami kehidupan sosial manusia. Tuhan dalam agama, kalau dalam pemikirannya Marx kemudian menjadi semacam Materialisme Dialektis: sebuah kerangka berpikir untuk memahami kenyataan sosial-masyarakat. Penjelasan apapun soal kenyataan, soal kehidupan, soal masyarakat, soal kosmologis, dalam agama selalu bertolak dari Tuhan.
Tuhan dalam agama, selain sebagai basis ontologi, juga menjadi dasar epistemologi. Melalui Tuhan, seluruh pengetahuan dalam agama, baik di alam fisik maupun non-fisik, bisa dimungkinkan. Hal ini terutama pengetahuan soal kehidupan paska kematian. Sebagaimana dalam teori moralnya Kant bahwa supaya kehidupan paska kematian bisa dimungkinkan dan tindakan manusia bisa dipertanggung jawabkan, maka mau tidak mau Yang Maha Sempurna, atau Tuhan, mesti ada. Tuhan atau Allah menjadi dasar bagi munculnya pengetahuan, termasuk di wilayah eskatologi. Dalam wilayah kosmologi dan sosiologi, Tuhan juga menjadi dasar pengetahuan yang sentral. Apa yang terjadi di dunia, baik dalam ranah kosmologi maupun sosiologi, merupakan bayangan pucat Tuhan. Karena itulah, Tuhan kemudian juga dipersepsikan sebagai tempat bergantung, sebagai pusat sandaran bagi seluruh kehidupan di muka bumi. Tuhan kemudian tidak benar-benar ada sebagaimana adanya. Ia hanya ada karena dikonstruk oleh pikiran manusia sebagai paradigma.
Pola Pikir Kekanakan dan Ketidak warasan
Sebagai sebuah paradigma, pola pikir yang berbasis pada Tuhan sebenarnya pola pikir yang kekanak-kanakan, pola pikir anak kecil. Kalau Tuhan dipahami sebagai pusat dan sandaran, yang eksistensinya diyakini sangat personal dan fungsional sehingga bisa menyelamatkan, melindungi, mengayomi, mengutuk, menyiksa, menghentikan banjir, menimbulkan gempa bumi, menyebarkan penyakit, menaburkan rizqi dan sebagainya, sehingga manusia harus berbondong-bondong mengemis kasih sayangNya, maka jelas ini merupakan pola pikir kekanak-kanakan. Bahkan Frued menyatakan bahwa pola pikir agama adalah penyakit syaraf kekanak-kanakan dan Tuhan merupakan proyeksi seorang bapak. Dalam konteks pemikiran Frued ini, agama atau Tuhan malah menjadi semacam penyakit kejiwaan. Sebagaimana juga Marx yang menegaskan bahwa agama merupakan symptoma: gejala penyakit jiwa bagi manusia atas segala ketidakberdayaannya dalam kehidupan material.
Atas segala kektidakberdayaannya, manusia kiemudian berpaling, mereka-reka tentang sesuatu yang serba Maha yang disebut Tuhan atau Allah dan kemudian memeluknya sebagai penyelamat. Atas segala kebingungan dan ketakutannya, manusia kemudian lari dari kenyataan dirinya sendiri dan kemudian lari menuju sebuah titik yang diproyeksikan oleh imajinasinya sendiri sebagai sandaran, sebagai benteng pertahanan diri. Dari sinilah kemudian nampak bahwa Tuhan merupakan fata morgana soal sebuah oase yang muncul akibat jiwa manusia yang dilanda kekeringan dan kehausan yang amat sangat. Sebuah telaga seolah hadir dalam kenyataan akibat kegugupan, ketidaksatbilan mental dan ketidakberdayaan manusia. Padahal telaga itu hanya fatamorgana. Dengan ketidaksatbilannya itu apapun diharapkan muncul oleh manusia sebagai pegangan, termasuk Tuhan. Namun yang tidak disadari oleh manusia adalah pegangan atau sandaran yang disebut Tuhan itu bukanlah sesuatu yang benar-benar adanya, melainkan sebatas ilusi atau halusinasi atas ketidakstabilan mental manusia sendiri. Inilah jelas bentuk pola pikir bagi manusia yang belum matang mental dan eksistensinya.
Pola pikir manusia yang masih menghamba pada sosok superior transenden yang direkayasa sendiri oleh pikiran dan imajinasinya; sebuah pola pikir yang bukan hanya kekanakan, tetapi juga gila. Pola pikir agama seperti itu, tidak ada bedanya dengan pola pikir kaum pagan yang membuat patung sendiri untuk disembah-sembah dan dimintai pertolongan. Hanya bedanya, kaum agamawan mewujudkan Tuhannya itu dalam bentuk halusinasi dan ilusinya, sementara kaum pagan mewujudkan Tuhannya dalam bentuk benda-benda materi. Jadi Tuhan adalah potret pola pikir manusia yang belum dewasa dan  tidak waras.
Atheisme Scientific dan Kedewasaan
Kalau memang Tuhan atau agama adalah wujud pola pikir yang kekanak-kanakan, pola pikir yang tidak waras, maka manusia perlu merubah paradigmanya supaya menjadi dewasa dan waras. Manusia perlu dari kungkungan Tuhan untuk menuju kedewasaannya dan kewarasannya. Dalam konteks ini Atheisme perlu menjadi pilihan manusia. Atheisme bukan dijadikan sebagai ideologi atau dogma, melainkan juga harus diposisikan sebagai paradigma, sebagai metoda berpikir untuk menggantikan pola pikir agama yang berbasis pada Tuhan. Dalam paradigma Atheism itulah, maka manusia harus sadar bahwa Tuhan tidak ada sehingga percuma meminta suaka kepada Tuhan. Satu-satunya kekuatan yang bisa menolong manusia adalah dirinya sendiri. Manusia harus berani meneguhkan eksistensinya sendiri di luar baying-bayang Tuhan. Manusia harus berani hidup di atas kakinya sendiri yang terlepas dari bayang-bayang realitas transenden sebagai sandaran.
Manusia harus mampu memaknai dunia, harus mampu mamahami dunianya dengan dirinya sendiri, tanpa bertolak dari konsep soal Tuhan. Bagaimanapun konsep soal Tuhan yang dijadikan sebagai paradigma untuk memahami dunia sekarang sudah tidak relevan lagi. Tuhan untuk saat ini justru mencerminkan kebodohan manusia ketika dijadikan sebagai dasar pemahaman manusia soal dunia dan alam semesta. Tuhan lahir dari kebodohan dan ketakutan, begitulah kata Lucretius. Benar, manusia sepanjang masih berada dalam ruang kebodohan, ia akan lari kepada Tuhan. Selain sumber kebodohan, Tuhan juga menjadi sumber inresposibelity. Apa yang terjadi didunia  sejatinya adalah hasil tindak laku manusia, dalam skala apapun, namun semua itu justru dialamatkan kepada Tuhan. Karena itu, sepanjang manusia masih di bawah bayang-bayang soal Tuhan manusia selamanya tidak akan pernah dewasa,  sehingga juga tidak pernah mau bertanggung jawab atas diri dan kehidupannya. Apa-apa selalu diserahkan kepada Tuhan.
Segala persoalan dan misteri yang melingkupi kehidupan manusia, harus dipecahkan berdasarkan analisis antropologis, dan bukannya analisis teosentris. Analisis teosentris jelas sudah kedalu warsa sehingga tidak layak digunakan untuk era sekarang. Atheisme adalah usaha untuk memahami dna memaknai dunia dan alam semesta secara antropologis, pemahaman terhadap dunia dan kehidupan yang bertolak dari eksistensi manusia itu sendiri di sini dan sekarang ini, bukan berdasarkan atas realitas yang ada di sebrang sana. Memang harus diakui bahwa  manusia adalah terbatas. Tetapi justru keterbatasan inilah yang harus dipandang manusia sebagai tantangan: bagaimana manusia selalu bisa melampaui keterbatasannya. Bukankah Nietzsche sudah berfatwa: “Manusia itu sesuatu yang harus dilampaui…sampai sekarang semua makhluq telah menciptakan sesuatu yang melamapaui diri mereka sendiri. apakah kalian memilih untuk menjadi arus balik dari arus pasang agung itu dan lebih suka kembali menjadi binatang daripada melampaui manusia?”. Kalau manusia tidak hendak menjadi bodoh dan kekanakan selamanya, maka sekarang perlu merubah paradigmanya dari teosentris ke antroposentris, dari agama ke atheis.
Sebagai ganti dari paradigmanya yang teosentris itu, maka sekarang manusia perlu mendasarkan paradgmanya pada sains dalam memahamni dunia dan kehiduannya. Manusia cukup membutuhakn diri dan rasionya dalam menguak misteri jagat raya dan perlu mengenyahkan Tuhan sebagai konsekuensinya.  Dengan atheism scientific manusia bisa bebas memaknai dan memahami dunia tanpa perlu mandek dan terkungkung oleh kekuatan superior bernama Tuhan. Dengan sains, pemahaman yang berdasarkan pada wahyu Tuhan tidak diperlukan lagi. Karena wahyu Tuhan itu sendiri ketika berhadapan dengan sains maka akan menjadi mitos. Wahyu bisa keluar dari mitos kalau dia dirasionalisasikan. Sepanjang dia hanya diyakini maka selamanya akan menjadi mitos.Sainslah yang sekarang ini layak dijadikan sebagai alat untuk menguak kerumitan dan bukannya Tuhan. Berbagai hal yang sebelumnya tidak terpikirkan dan bahkan dimitoskan atau disakralkan oleh agama, satu per satu runtuh karena terkuak oleh sains.  Richard Dawkins menyatakan bahwa sains memberi kita penjelasan tentang bagaimana kompleksitas (kerumitan) muncul dari simplisitas. Sebaliknya, lanjut Dawkins, hipotesis tentang Tuhan tidak memberikan penjelasan apapun, karena ia hanya mempostulatkan apa yang justru ingin kita jelaskan. Ia mempostulatkan betapa sulitnya mencari penjelasan semaam itu dan membiarkannya begitu saja.
Penjelasan soal dunia dalam koridor atheisme yang bertumpu pada sains, akan memberikan enjelasanyang lebih segar daripada penjelasan yang berbasis pada Tuhan. Dengan penjelasan yang berbasis pada atheism dan sains ini, maka Tuhan dengan sendirina aan tergusur. Sebab, penjelasan dan pemahaman soal dunia yang berbasis pada atheisme adalah penjelasan dan pemahaman dunia yang mencukupkan diri pada eksistensi manusia dan alam semesta. Semesta tidak perlu ditransendensikan sebagai realitas supra-rasional. Ia harus dipahami sebagai realitas material yang ada. Kalau semesta sekedar ada, di manakah tempat bagi sang Pencipta? Begitulah kata Stephen Hawking.  Jadi, sudah saatnya sekarang atheism yang bertumpu pada sains dijadikan sebagai paradigma baru untuk memahami dan memaknai dunia. Hal ini untuk membawa manusia pada pola pikir yang dewasa.

No comments:

Post a Comment