Tuesday, December 6, 2011

TRAGEDI KARBALA DAN KEJAMNYA KEKUASAAN


Oleh: Muhammad Muhibbuddin*



Tragedi Karbala yang terjadi pada 10 Muharram tahun ke 61 H adalah cermin buramnya potret sejarah Islam. Dalam peristiwa berdarah ini, Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya berjumlah 128 orang dibantai habis oleh tentara Yazid bin Mu’awiyyah, khalifah dari dinasti Umayyah. Imam Husein sendiri terbunuh secara sadis dalam peristiwa ini. Peristiwa inilah yang diperingati oleh kelompok Syi’ah hingga sekarang. Peringatan itu merupakan wujud simpati terhadap targedi Karbala yang turut menewaskan cucu Rasulullah tersebut. Karena peristiwa ini pula Imam Husein dikenal sebagai sayiidus Suhada’.



 
10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah padang Karbala memerah, banjir darah Al-Husein (sa) dan para syuhada’ Karbala. Bumi dan langit seolah menangis sedih mengiringi perginya Imam Husein dan para syuhada’ lainnya. Dari peristiwa tragis inilah, kelompok Syi’ah yang dikenal sebagai pecinta keluarga Rasulullah mengutuk keras para penguasa dari dinasti Umayah. Mereka menuduh keluarga Mu’awiyyah merampas kekuasaan yang seharusnya dipegang oleh Ali binAbi Thalib sebagai keturunan Rasulullah.  Imam Khomeini dalam ceramahnya di Najef Iraq secara terang-terangan mengatakan : “ Setelah wafatnya Nabi SAW, musuh-musuh Islam dari Bani Umayyah, semoga Allah melaknat mereka, tidak mengizinkan pemerintahan yang berwilayah pada Ali bin Abi Thalib”.
Agama dan kekuasaan
Sejarah perdaban Islam paska Rasulullah memang diwarnai oleh tragedi kekuasaan. Bukan hanya Imam Husein yang wafat terbunuh. Ketiga Khulafuarrasyidin, yakni Umar, Utsman dan Ali sendiri juga wafat terbunuh. Penyebabnya sebenarnya satu yakni konflik kekuasaan. Karena itu, berbicara soal sejarah Islam bila dilihat dari sisi politik dan kekuasaan, maka yang terjadi kebanyakan adalah intrik dan aksi saling bunuh membunuh antara kelompok satu dengan yang lain. Ini terlebih paska khulafaurrasyidin, maka kebanyakan pengusa Islam adalah sosok-sosok yang diktator dan haus darah.

Inilah tragisnya dalam Islam. Politik dan agama telah menjadi satu kesatuan unsur yang sulit dipisahkan. Sehingga dalam berbagai pergolakan politik yang menjadi korban adalah Islam itu sendiri.  Islam sebagai agama kemanusiaan menjadi tercoreng oleh berbagai konflik kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Politik dan agama (Islam) sebenarnya unsur yang berbeda. Tetapi dalam Islam seringkali bercampur baur bahkan tumpang tindih. Kuatnya unsur kekuasaan dan politik dalam Islam seringkali mengaburkan dan bahkan menenggelamkan substansi Islam itu sendiri sebagai universal values yang lebih menekankan pada dimensi sosial-kemanusiaan.  Imbasnya adalah timbulnya sebuah pandangan bahwa seolah misi utama Islam adalah kekuasaan dan bukannya kemanusiaan. Ini jelas sebuah distorsi.


Memang membedakan secara total antara agama dan politik adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sebab, agama ketika eksis dalam ruang sejarah ia juga menjadi fenomena politik. Politik adalah seni mengatur hubungan antar manusia. Sementara agama secara simplisit merupakan pola relasi antara manusia dengan Tuhan yang dipraktikkan dalam berbagai bentuk.. Keduanya  mempunyai kesamaan dan sekaligus perbedaan. Namun yang pasti keduanya saling mempengaruhi. Kesamaan utama agama dan politik adalah pada subyek atau pelaku dari praktik keduanya.  Baik politik maupun agama subyek pelakunya adalah manusia. Tanpa manusia keduanya tidak berarti. Walaupun demikian, seni dan misi kepemimpinan politik harus berbeda dengan pola dan misi kepemimpinan agama-agama. Praktik keduanya tidak boleh mengaburkan sisi ontologi masing-masing.
Sayangnya, dalam praktiknya perbedaan hakiki antara  agama dan politik seringkali tidak dibedakan, sehingga seringkali menimbulkan absurditas. Rupanya absurditas hakekat politik dan agama inilah yang dimanfaatkan oleh para politisi untuk melegitimasi kekuasaannya. Tak jarang banyak politisi yang menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kursi kekuasaannya. Dan sering pula banyak tokoh agama yang menggunakan strategi-strategi politik untuk mengukuhkan kekuasaannya atas umatnya. Padahal politik dan kekuasaan selamanya selalu meminta korban. Agama sering menjadi korban politik dan kekuasaan. Begitu juga dengan umat beragama tak jarang menjadi korban kekuasaan bagi para pemimpinnya. Ini yang tidak disadari oleh para pelaku agamawan yang politisi dan politisi dan berlabel agama.
Memperebutkan otoritas
Secara khusus, problem kekuasaan dalam Islam pada dasarnya adalah memperebutkan soal otoritas pemegang kekuasaan paska Rasulullah. Peristiwa Karbala adalah masuk dalam konteks perebutan otoritas kekuasaan ini. Dalam memperebutkan otoritas itu argumentasi yang dipakai adalah agama. Kelompok Syi’ah mempunyai keyakinan kepemimpinan politik dan agama harus dipegang oleh keturunan Rasulullah Muhammad SAW dan bukannya oleh yang lain. 


Sementara lawannya, dari kelompok Mu’awiyyah meyakini kepemimpinan paska Rasulullah tak harus dari keturunan Nabi. Dan ironisnya, prinsip ini dijadikan oleh Mu’awiyyah untuk mewariskan kekuasaan kepada anak turunnya, termasuk kepada Yazid. Dalam peristiwa Karbala ini persoalan agama dan politik begitu campur aduk sehingga sulit diidentifikasi secara pasti sisi-sisi kebenarannya. Husein dalam tragedi ini bukan hanya menjadi korban atas kebiadaban dan kekejaman Yazid, tetapi juga korban campur aduknya agama dan politik dalam Islam itu.
Tragedi kekuasaan yang merusak keluhuran Islam itu hingga kini masih terus bergejolak di kalangan umat Islam. Masih saja Islam diseret-seret untuk dijadikan sebagai komoditas politik. Akankah tragedi Karbala ini akan terus muncul karena umatnya asyik berkonflik berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan agama?
 *Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta

No comments:

Post a Comment