Thursday, December 8, 2011

POLITICAL LIFESTYLE DAN KORUPSI


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Dalam orasi kebudayaannya di TIM (10/11), ketua KPK, Busyro Muqoddas menyindir hidup para pejabat yang hidupnya hedonis. “Mereka hidup parlente, mobil dinas Croen Royal Saloon yang jauh lebih mewah dari mobil Perdana Menteri negeri tetangga. Mereka lebih mencerminkan politisi yang hedonis –pragmatis” tegas Busyro. Gaya hidup (lifestyle) para pejabat yang cenderung glamour, borjuis dan hedonis itu ditengarai menjadi salah faktor menyeruaknya korupsi dilingkungan para pejabat. Memang selama ini akar penyebab korupsi  lebih sering disoroti hanya dari sisi struktural dan kurang memperhatikan pada sisi kulturalnya, termasuk pada gaya hidup para pejabat. Padahal sangat mungkin bahwa maraknya korupsi di Indonesia pada level yang lebih fundamental karena dipicu oleh gaya hidup para pejabatnya yang terlalu mengumbar kemewahan dan glamorisme.
Arena Pergulatan tanda
Politik adalah sebuah arena, dan arena sendiri adalah sebuah gelanggang pergulatan, yakni pergulatan untuk beradu kekuasaan. Namun, sejarah arena sendiri, menurut Piere Bourdieu (2010:127)  bukan hanya sejarah pergulatan memperebutkan monopoli kekuasaan untuk memaksakan dan memberlakukan kategori-kategori persepsi dan apresiasi yang legitim. Sebab, Pergulatan itu sendirilah, lanjut Bourdieu, yang menciptakan sejarah arena; melalui pergulatan arena mendapatkan domesi temporernya.
Sama halnya dengan politik. Politik, pada tataran praksisnya adalah arena untuk memperebutkan kekuasaan. Namun, ini adalah praktik politik yang sudah klasik dan bukan satu-satunya fungsi politik sebagai arena pergulatan. Pada tahap perkembangannya politik bukan hanya berfungsi sebagai arena perebutan kekuasaan. Dalam konteksnya yang paling naif, politik ternyata juga dijadikan sebagai arena pergulatan untuk mencari nafkah. Dalam konteks Indonesia, sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi yang menceburkan ke ranah politik adalah untuk mencari pekerjaan. Sangat minim mereka yang berebut kursi kekuasaan itu sepenuhnya hendak mengabdi kepada rakyat. Misi politik utama mereka tetap untuk mencari “suaka ekonomi” bagi diri dan keluarganya.
Selain sebagai arena perebutan kekuasaan dan medium mencari pekerjaan, politik juga sebagai arena untuk demonstrasi gaya hidup (lifestyle). Inilah maenstream gejala praktik politik di era kontemporer. Kecenderungan para politisi sekarang ini menjadikan politik sebagai arena untuk mengkonstruk dan menebarkan gaya hidup mewah dan performance yang serba wah!. Politik kemudian menjadi arena pergulatan tanda. Ruang politik tidak lagi berisi nilai-nilai substansial yang lebih menitikberatkan pada esensi dan kedalaman politik, melainkan lebih menjadi pertarungan simbol dan artifisialitas. Gaya hidup glamor, borjuis dan hedonis adalah cermin dari budaya yang suka memuja bentuk-bentuk kehidupan yang simbolis dan artifisialistis, lebih suka menampilkan citra daripada nilai, lebih mementingkan bungkus daripada isi, lebih memilih menonjolkan tanda daripada makna.
Karena itu para pejabat yang sudah terkontaminasi oleh virus-virus glamorisme, borjuisme dan hedonisme akan mudah terperangkap ke dalam nalar pragmatis yang lebih mementingkan sisi-sisi permukaan. Mereka hanya sibuk berlomba-lomba memoles wajah dan perfromance mereka melalui daya tarik  materialisme yang dipenuhi oleh mitos-mitos pencitraan (imagologi). Mereka baru merasa gagah dan terhormat kalau membawa mobil mewah, mereka baru merasa modern kalau tas dan sepatunya made in Italy, mereka baru merasa beradab kalau parfumnya buatan Prancis, mereka baru merasa eksis kalau cerutunya satu batang seharga lima ratus ribu dan seterusnya.
Padahal semua itu hanya kesan-kesan kosong belaka. Tidak ada hubungannya antara nilai kodernitas dengan sepatu Italy, tidak ada kaitannya antara nilai kehormatan dengan mobil mewah, tidak ada hubungannya keberadaban manusia dengan mahalnya harga parfum atau cerutu. Justru sebaliknya nilai-nilai seperti kehormatan, keberadaban dan kehebatan seorang pejabat publik itu terletak pada sisi kesederhanaan, kemerakyatan, kebersehajaan dan sejenisnya.  Tidak ada gunanya dan tak bermakna apa-apa, seorang pejabat yang mobilnya mewah, parfum dan cerutunya mahal, tas dan sepatunya buatan Italy, tapi prilakunya buruk dan korup. Bahkan kalau barang-barang mewah itu justru dibelinya dari hasil korupsinya, maka itu jelas lebih naif dan ironis.
Jalan menuju Korupsi
Kehidupan glamor, borjuis dan hedonis di kalangan para pejabat jelas merupakan jalan yang paling potensial menuju korupsi.   Korupsi di Indonesia sekarang ini bukannya turun, tetapi justru melambung tinggi, karena apara pejabatnya memang suka bermewah-mewahan dan senang bergaya hidup mewah. Tingkat korupsi yang terus mengalami eskalasi bisa jadi terkait dengan gaya hidup mewah para pejabat yang tidak terkontrol itu. Bukan hanya para pejabat sendiri yang hidupnya mewah dan glamor, melainkan para istri, anak dan keluarganya juga ikut-ikutan larut dalam gaya hidup yang sama.
 Untuk membuat hidup yang penuh gebyar kemewahan, jelas dibutuhkan biaya hidup yang mahal. Karena itu, para pejabat tidak merasa puas dengan gaji dan fasilitas mewah yang mereka terima. Mereka masih mencari obyekan lain yang tidak halal yang salah satunya adalah dengan menilap atau menggarong uang negara. Karena itu, kalau hendak mengatasi korupsi secara menyeluruh, gaya hidup (lifestyle) para politisi juga harus dirubah. Paling tidak, silahkan hidup glamor dan borjuis, kalau memang itu tidak menggunakan uang rakyat. Persoalannya di sini adalah ketika hasrat borjuisme dan glamorisme itu mendorong seseorang pejabat menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.
Apalagi, kalau para pejabat yang suka bergaya hidup mewah, glamor dan korup itu justru berada di tengah rakyatnya yang miskin, kelaparan dan tidak kuat membayar uang sekolah. Jelas sungguh menyakitkan!!!
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta

   

No comments:

Post a Comment