Sunday, January 15, 2012

DARI AKIDAH KE REVOLUSI*

Upaya Intelektual Hassan Hanafi Merekonstruksi Teologi Islam Sebagai Basis Gerakan Transformasi Sosial

Oleh : Muhammad Muhibbuddin



Siapakah Hassan Hanafi?

Hassan Hanafi adalah salah satu tokoh intelektual muslim progresif-libral. Ia dilahirkan di Mesir pada  14 Februari 1935[1]. Hassan Hanafi tumbuh dan berkembang ketika Mesir mengalami pergolakan Politik yang dahsyat.  Saat dia masih remaja, Mesir yang terlibat dalam perang dunia II, menjadi ajang imperialisme bangsa-bangsa Eropa. Saat itu Mesir menjadi sasaran penjajahan Jerman.  Dalam kondisi negaranya yang penuh gejolak politik dan perang inilah Hassan Hanafi mengalami serangkaian tahap perkembangan kesadaran.[2]
Dengan melihat kenyataan negaranya yang menjadi ajang penjajahan bangsa-bangsa asing, kesadaran pertama yang tumbuh dalam diri Hassan Hanafi adalah kesadaran nasionalisme (nationalism consciousness). Namun, nasionalisme yang tumbuh di dalam jiwa Hassan Hanafi adalah nasionalisme Arab[3]. Kesadaran nasionalismenya yang pertama kali dia tujukan untuk melawan Inggris yang pada abad ke-19 telah menduduki Mesir. Maka pada era perang dunia II yang membuat Mesir menjadi salah satu negara jajahan, semangat nasionalisme Hassan Hanafi ini semakin kuat. Rasa nasionalisme Hasan Hanafi tumbuh semakin kuat pada tahap berikutnya ketika terbentuknya negara Israel pada 1948 yang jauh sebelumnya telah mendapat dukungan penuh dari Inggris. Maka, dengan semangat nasionalismenya yang menyala-nyala itu, Hassan Hanafi berpandangan bahwa  musuh bangsa-bangsa Arab yang sesungguhnya adalah Inggris.
Karena terbawa oleh kobaran api nasionalismenya, pada saat duduk di sekolah menengah, ia mendaftarkan diri menjadi sukarelawan perang melawan Israel. Namun, tidak lama kemudian dia melihat adanya perpecahan di antara bangsa-bangsa Arab sendiri. Perpecahan di kalangan bangsa Arab ini tentu tidak menguntungkan Mesir. Karena itu, dengan melihat kondisi yang diharmonis di kalangan bangsa Arab itu, Hassan Hanafi pun menarik kesimpulan bahwa nasionalisme Arab adalah idiologi yang rapuh karena tidak mampu mengikat dan menyatukan seluruh bangsa Arab sebagaimana yang dicita-citakan oleh idiologi ini pada awal kelahirannya.
Karena kecewa dengan nasionalisme Arab, maka saat masuk menjadi mahasiswa jurusan filsafat, Universitas Cairo, kesadaran Hassan Hanafi kemudian beralih ke Islam (Islamic consciousness). Kesadaran keislamannya ini ia wujudkan dengan menjadi aktifis Ikhwanul Muslimin (IM) yang saat itu sedang sangat populer di kalangan mahasiswa Mesir. Hassan Hanafi memilih turut aktif dalam gerakan IM ini karena sebuah alasan bahwa IM bukan hanya berada dalam garda depan dalam melakukan perang terhadap Israel, melainkan juga mampu melakukan perlawanan sengit terhadap gerakan sosialisme-komunisme di lingkaran pemerintahan Mesir.
Saat menjadi aktifis IM itu Hassan Hanafi juga sangat kritis terhadap gerakan sosialisme-komunisme yang dianggapnya sebagai kelompok manusia yang rusak. Pada masa-masa inilah bisa disebut sebagai masa-masa kebangkitan keagamaan Hassan Hanafi.  Di tengah bangkitnya rasa keagmaannya ini, Hassan Hanafi membangun intelektualnya berdasarkan motif-motif Islam dan gerakan keislaman. Ia kemudian secara aktif membaca Hasan Al-Banna, Al-Maududi, Sayid Quttub, An-Nadvi dan yang lainnya. Dalam pikiran-pikiran para tokoh-tokoh Islam tersebut, menurut Hassan Hanafi terdapat semangat kebangkitan Islam yang begitu kuat. Karena pemikiran mereka lebih cenderung kepada gerakan keislaman (harokah islamiyyah).
Namun sebagai mahasiswa filsafat, ia tetap kritis dan tidak menelan mentah-mentah apa yang ditawarkan oleh para tokoh-tokoh Islam harokah tersebut. Hassan Hanafi melihat pikiran-pikiran para tokoh tersebut banyak yang tidak relevan dengan situasi kontemporer. Karena itu, ia mulai melakukan reinterpreatsi terhadap persoalan-persoalan keislaman berdasarkan semangat rasionalitasnya sendiri. Inilah tahap pertama Hassan Hanafi dalam usahanya merumuskan konsep-konsep Islam berdasarkan semangat rasionalisme.
Selanjutnya kondisi di dalam negeri Mesir sendiri juga semakin tidak menguntungkan bagi IM dan Hassan Hanafi. Pada medio dasawarsa 1950-an, kebijakan-kebijakan Gamal Abdul Nasir dirasa sangat menindas dan mempersulit gerakan IM dan Hassan Hanafi. Kekacauan dan situasi krisis di Mesir ini semakin memuncak ketika akhir dasawarsa 1950. Pada saat ini berbagai krisis politik dan kekacauan intelektual melanda seluruh Mesir. Pada masa-masa krisis seperti ini hegemoni rezim Nasir semakin kuat. Hassan Hanafi sendiri kemudian turut terlibat konflik dengan para guru besarnya. Bahkan ia sempat diadili dan dicabut statusnya sebagai mahasiswa teladan di kampusnya karena dianggap melecehkan.
Dalam kondisi yang kacau seperti itu, maka Hassan Hanafi mulai bergeser ke dalam kesadaran filosofis (Philosopihical consciusness). Kesadaran filosofis ini merupakan kesadaran Hassan Hanafi tentang perlunya rekonstruksi paradigmatik sebagai dasar perjuangan. Kesadaran ini menekankan pentingnya sebuah pembaharuan dan rekonstruksi pemikiran sebagai asas gerakan pembebasan. Kesadaran filosofis Hasan Hanafi ini tumbuh semakin kuat saat dia melakukan studi filsafat di Universitas Sorbone, Prancis. Dalam studinya di Sorbone inilah dia menemukan geliat intelektualnya yang baru.
Dengan pengalamannya mengenyam studi di Prancis, dia dapat merumuskan metodologi, pendekatan dan konsep baru dalam merumuskan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya di wilayah filsafat dan teologi. Pada tahap inilah ia mulai merancang untuk mewujudkan proyek besar intelektualnya yang salah satunya adalah at-Tsurats wat Tajdid (tradisi dan modernisasi). Proyek intelektualnya ini ia gaungkan saat dia kembali dari Prancis dan mengajar di almamaternya, Unversitas Cairo.
Tetapi ternyata dia tidak betah juga di Mesir. Pemikiran Hassan Hanafi yang libral dan mendobrak kemapanan dianggap berbahaya dan mengganggu status quo. Sebagai intelektual plus aktivis yang sangat kritis dan vokal, Hassan Hanafi dipandang sangat berbahaya apabila dibiarkan berbicara secara bebas mengenai tema-tema politik, kekuasaan, gerakan, revolusi dan sejenisnya. Sehingga atas tekanan pemerintah, Rektor Unversitas Cairo memecatnya dari universitas almamaternya tersebut. Akibat situasi politik Mesir yang tidak kondusif dan cenderung merepresi kebebasan berpikir itu, maka dia menerima tawaran untuk mengajar di Universitas Temple, AS. Di AS inilah dengan iklim dan suasana intelektual yang bebas dan menyegarkan Hassan Hanafi bisa meneruskan dan memperkaya wacana intelektualnya.





AKIDAH DAN REVOLUSI
           
Dalam proyek intelektualnya, at-Tsurat wat Tajdid, tema keislaman yang coba diusung dan direkonstruksi oleh Hassan Hanafi adalah Teologi. Ini merupakan sikap kritis Hassan Hanafi terhadap khasanah intelektual klasik. Hassan Hanafi bukannya anti dengan tradisi klasik. Dia bahkan mencoba untuk mengeksplorasi dan membangkitkan tradisi-tadisi intelektual klasik itu. Tetapi warisan tradisi kalsik itu harus direkonstruksi dan dibaca ulang dengan memakai pendekatan, metode dan pendekatan baru sehingga bisa aktual dan kontekstual.
Hassan Hanafi dalam menyikapi warisan khasanah klasik itu tidak seperti kaum puritan dan konservatif, yang mencoba menarik kembali secara asli budaya terdahulu untuk diterapkan secara literal dan bahkan brutal di era sekarang. Hassan Hanafi justru sebaliknya, ia mencoba menggali warisan klasik itu dan berusaha mengkostruk ulang dasar-dasar epistemologinya agar relevan dengan kehidupan kontemporer. Jadi semangat Hassan Hanafi terhadap khasanah klasik adalah pembaharuan (reformation) dan bukannya pengulangan (reafirmation). Pengulangan (reafirmation) atau yang oleh Luthfi Assyaukanie disebut dengan restatement adalah prinsip yang selama ini banyak digaungkan oleh  kalangan puritan-salafi-radikal- konservatif[4].
Hassan Hanafi sebagai tokoh pembaharu (reformation) menyerukan perlunya rekonstruksi konsep aqidah yang selama ini dipahami oleh umat Islam. Inti yang hendak dicapai oleh Hassan Hanafi dalam rekonstruksi aqidah ini adalah usaha untuk menjadikan aqidah bukan sebagai medium memperdebatkan Tuhan, melainkan sebagai kekuatan dan inspirasi untuk membebaskan manusia dari berbagai belenggu penindasan.  Singkatnya aqidah harus menjadi motivator dan dasar pembangkit gerakan transformasi sosial.
Dalam tilikan sejarahnya, kalau para teolog muslim klasik dahulu menjadikan teologi sebagai basis epistemologi dalam membela dan meneguhkan keberadaan Tuhan karena para ulama dahulu, terutama para mutakillimin, merasa bahwa keimanan kepada Tuhan rawan pendistorsian dan pendangkalan dari kelompok non-muslim, karena itu keimanan itu harus dibela dan dipertahankan dengan menggunakan argumentasi rasional. Singkatnya, keberadaan Tuhan harus dibela melalui serangkaian rumusan-rumusan logis sebagai tema sentral dari ilmu teologi. Namun, untuk sekarang, menurut Hassan Hanafi, yang menjadi tantangan serius dan sekaligus menjadi masalah krusial bagi umat Islam adalah penjajahan dan penindasan di berbagai sektor sosial dan kemanusiaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pelanggaran HAM, penindasan buruh, penindasan petani, perampasan hak-hak rakyat dan seterusnya.
Karena itu, bagi Hassan Hanafi, ilmu teologi harus difungsikan untuk menghadapi berbagai penjajahan dan penindasan di wilayah sosial-kemanusiaan tersebut. Ilmu teologi sekarang kebutuhan utamanya bukan lagi digunakan sebagai pembela Tuhan, melainkan untuk membela manusia dengan seluruh problematika sosialnya. Ini mengandaikan terjadinya perubahan dan reorientasi ilmu akidah dari yang semula sebatas sebagai rumusan teoritis ketuhanan untuk kemudian menjadi landasan praksis bagi aksi sosial -kemanusiaan.
Akidah bukan membahas sesuatu melainkan mengarahkan prilaku. Ia pendorong tindakan dan pembangkit aktivitas yang menyatukan niat dan mengejawantahkan tujuan[5]. Tuhan bukanlah obyek transendental yang bertahta di atas langit, melainkan gerak kehidupan dalam sejarah manusia di bumi itu sendiri. Dalam tradisi klasik, terutama pada abad pertengahan, perdebatan aqidah hanya sebatas usaha untuk meneguhkan eksistensi Tuhan. Perdebatan di level teologi sepenuhnya terfokus pada afirmasi atau penegasan soal ada-tidak adanya Tuhan. Sementara eksistensi manusia dan kehidupan sosial masyarakat di dunia, tidak menjadi perhatian dalam kajian teologi. Sehingga kajian teologi justru semakin membuat orang terasing dengan kondisi sosialnya.
Untuk mendekonstruksi sisi epistemologi teologi dalam Islam itu, Hassan Hanafi berangkat dari hal-hal yang paling mendasar. Salah satu persoalan teologis paling elementer  adalah muqaddimah konvensional dalam kajian ushuluddin yang senantiasa menyebut nama Allah dan Nabi SAW.  Muqaddimah konvensional ini mencerminkan bagaimana para ulama dahulu hanya berusaha menetapkan keimanan terhadap Tuhan, tanpa bertumpu pada eksistensi kemanusiaan. Sementara warisan klasik itu (pembahasan keimanan), menurut Hassan Hanafi adalah kekayaan jiwa yang tersimpan dalam kesadaran rakyat. Dan hal ini merupakan landasan teoritis untuk membangun realitas, demikianlah lanjut Hanafi.[6]
Dari muqaddimah itu mencerminkan bagaimana ulama klasik dalam komitemen keimanannya hanya fokus pada pemujaan Tuhan dan Nabi tanpa mengkaitkannya terhadap kondisi sosial-kemanusiaan. Keimanan para ulama klasik itu hanya diorientasikan untuk meneguhkan eksistensi Tuhan dan seolah menafikan eksistensi kemanusiaan. Pola keimanan yang melulu membela Tuhan inilah yang didekonstruksi Hassan Hanafi terkait dengan proyek intelektualnya.  Sebagai bentuk dekonstruksi, dalam muqaddimah karyanya, ia tidak mengatasnamakan Tuhan melainkan mengatasnamakan rakyat. Bahwa atas nama rakyat dan kehidupan manusia dan bukan atas nama Tuhan karyanya yang berupa dari Akidah Ke Revolusi itu diciptakan.
Jika para pendahulu itu, kata Hassan Hanafi, memulai muqaddimah konvensional mereka yang bersifat keimanan itu atas nama Tuhan, maka kami memulainya atas nama bumi yang terampas, dalam menghadapi pendudukan asing terhadap bumi-bumi kaum muslimin. Atas nama kemerdekaan kaum muslimin dalam menghadapi bentuk pemaksaan dan penindasan dan seterusnya.[7] 
Dari pernyataannya dalam muqadimahnya itu menunjukkan bagaimana Hassan Hanafi begitu radikal dalam mendekonstruksi dan merekonstruksi komitmen keimanan dan spirit aqidah. Aqidah dan spirit keimanan yang dalam wacana kalam klasik hanya dijadikan sebagai medium membela dan meneguhkan Tuhan oleh Hassan Hanafi dijungkirbalikkan untuk membela dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi.
Bukan hanya itu, dalam dekonstruksinya itu Hassan Hanafi juga menggugat eksistensi Tuhan yang dijadikan sebagai tema pokok dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid. Allah atau Tuhan sebagai tema pokok yang hendak didedah dalam ilmu-ilmu Ushuluddin seperti ilmu kalam, tauhid, tasawuf  bagi Hassan Hanafi merupakan sebuah kesalahan. Sebab, secara ontologis, Tuhan adalah dzat yang tidak akan bisa diungkapkan. Pengungkapan soal Tuhan hanya mungkin sebatas pada simbolisasinya melalui bahasa manusia yang terbatas. Sehingga merupakan tindakan yang sia-sia manusia mencurahkan geliat pemikirannya untuk mendedah eksistensi Tuhan yang meruakan realitas tak terbatas itu.
Karena ketidakterbatasannya itu, maka jelas salah apabila Tuhan dijadikan sebagai obyek kajian ilmu pengetahuan. Sehingga usaha para ahli kalam dan teolog klasik untuk membuktikan eksistensi Tuhan melalui rumusan dan analisis rasional merupakan tindakan yang keliru. Memang seperti dalam teologi klasik, ada sejumlah teori yang digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan, yang di antaranya adalah teori  Kosmolgi, Teleologi dan Ontologi[8]. Semua teori-teori itu orientasinya hanya satu yaitu meneguhkan soal keberadaan Tuhan. Sehingga dalam kajian teologis tersebut, Tuhan justru menjadi obyek ilmu pengetahuan yang hendak dibuktikan kebenarannya.
Epistemologi ilmu Ushuluddin yang meliputi kajian-kajian pokok seperti ilmu kalam, tauhid atau aqidah, seharusnya diangkat dari persoalan-persoalan empiris sosial masyarakat. Ilmu ini seharusnya dirumuskan bukan dari konsep-konsep abstrak dan spekulatif soal Tuhan, melainkan diformulasikan berdasarkan fakta-fakta kehidupan riel manusia beserta problematika yang melingkupinya. Konstruksi Ilmu Ushuluddin seharusnya berangkat dari persoalan buruh, persoalan, petani, nelayan, TKW, pembrantasan korupsi dan persoalan-persoalan sosial lainnya. Persoalan eksistensi Tuhan harus digali melalui persoalan sosial-kemanusiaan dan sekaligus diorientasikan sebagai solusi terhadap problematika sosial tersebut.
Dengan demikian, ilmu Ushuluddin nantinya bukan hanya akrab dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, melainkan menjadi dasar solusi bagi penyelesaian problem-problem sosial-kemanusiaan. Pandangan, tersebut, menurut Hassan Hanafi pada ujungnya bermuara kepada keharusan untuk merumuskan kembali formulasi ilmu Ushuluddin dan cabang-cabangnya, seperti misalnya, “ilmu ilahiyah revolusi”, “ilmu ilahiah pembebasan”,ilmu ilahiah pembangunan’, ilmu ilahiah perubahan sosial”, “ilmu ilahiah kemajuan”, “ilmu ilahiah keadilan sosial”, “ ilmu ilahiah persatuan”, “lmu ilahiah proletar,”  “ilmu ilahiah sejarah dan sebagainya. Semua ini, menurut Hassan hanafi, merupakan formulasi baru risalah Tauhid.[9]   
Selanjutnya, secara ontologis, bagi Hassan Hanafi Tuhan bukanlah sebuah tema pokok ilmu pengetahuan, bukan sebuah obyek pembahasan, bukan sesuatu yang perlu dipahami, dibenarkan atau diungkapkan; melainkan sesuatu yang menggerakkan perbuatan dan membangkitkan aktivitas, tujuan sebuah orientasi dan puncak dari segala pengejawantahan. Tuhan, lanjut Hassan Hanafi adalah kekuatan aktual pada diri manusia, yang menyebabkan ia hidup, berprilaku, bertindak, mengindra, merasa, berimajinasi dan juga menerima berbagai stimulus. Tuhan adalah daya hidup yang mendorong manusia berbuat.[10]
Dari pemaparannya itu, Hassan Hanafi hendak menegaskan bahwa Tuhan merupakan sebuah energi kekuatan yang melekat erat dalam diri manusia, bukan sebuah realitas yang jauh nan di sana. Zat Tuhan bagi Hassan Hanafi adalah jati diri kita sendiri yang harus kita bela hingga titik darah penghabisan. Membela Tuhan adalah membela diri kita sebagai manusia, membela hak-hak kita sebagai manusia, membela keadilan kita sebagai manusia, membela kemerdekaan kita sebagai manusia, membela nilai-nilai kehidupan kita sebagai manusia dan seterusnya. Karena itu, membicarakan Tuhan seharusnya akrab dengan eksistensi manusia dengan segenap problematika kehidupan sosialnya. Dengan demikian, untuk membenarkan dan menguji validitas akidah bukanlah lewat pemikiran spekulatif tentang siapa Tuhan, melainkan melalui gerakan empiris terutama dalam gerakan pembebasan (liberation movement) dari berbagai bentuk penindasan.Dalam hal ini Hassan Hanafi memandang dunia Tuhan tidak bisa dipisahkan dari dunia kemanusiaan. Tuhan dan manusia adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Karena itu Hassan Hanafi menegaskan, untuk menetapkan keshahihan aqidah tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang oleh mutakallim dari plaza sebuah gedung atau lantai masjid, sementara tangannya beralaskan tiang-tiang dengan beralaskan bantal, seraya menghadapi setumpk buku dan karya-karya kalam, mengahadapi santri-santri, seta dikelilingi para pengagum dan rekan-rekan dialognya. Ini , lanjut Hassan Hanafi, hanya bisa dilakukan oleh seorang imam yang bisa mempimpin perlawanan,  dan memimpin rakyat dalam sebuah gerakan sejarah dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan mewujudkan tauhid, baik di masjid, di jalan, di kebun maupun di sebuah pabrik; dengan kekuatan akidah dan dorongan rakyat untuk mengadakan revolusi.[11] konsep pemikiran Hassan Hanafi ini mirip dengan konsep intelektual organiknya Antonio Gramsci. Intelektual organik menurut Gramsci adalah mereka yang mempunyai kemampuan sebagai seorang organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakli dan mewakili[12].
Jadi letak kevalidan sebuah teologi tidak terletak pada rumusan teoritisnya, melainkan pada aspek fungsional praksisnya dalam membebaskan manusia dari berbagai kungkungan. Satu-satunya argumentasi wujud Tuhan adalah dalil praktis, bukan dalil teoritis.[13] Sebuah aqidah akan menjadi valid, bukannya secara rasional dia mampu membuktikan adanya Tuhan, melainkan apabila dia mampu membebaskan dirinya dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, mampu menciptakan gerakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa diktator, mampu menggerakkan rakyat melawan imperialisme dan penindasan, mampu menggerakkan rakyat dalam membela hak-hak buruh, TKW, membela para petani, membrantas para koruptor dan seterusnya.
Ketika sebuah keyakinan atau aqidah mampu menggerakkan kekuatan pembebasan dari berbagai belenggu semacam itu, di situlah letak keberadaan Tuhan, di situlah bukti Tuhan hadir dan ada. Sehingga keberadaan Tuhan berada dalam gerak manusia dalam usaha melepaskan dirinya dari berbagai problematika sosial yang menjeratnya, mampu menggerakkan manusia dalam membela dan menegakkan keadilan.  Yang terpenting dari fungsi ilmu “ushuluddin” dengan demikian adalah memerangi kebodohan, kemunduran dan keterbelakangan umat terutama kelompok ekonomi lemah dalam strata sosial masyarakat sehingga dapat mengubah kondisi mereka dari fase sejarah menuju fase lain; dari stagnan menjadi dinamis dari turun ke bawah menjadi maju dalam sejarah.[14]
Pola dekonstruksi teologis Hassan Hanafi di atas nampak seirama dengan teologi pembebasannya Asghar Ali Engineer. Dalam teologi pembebasannya, Engineer juga menegaskan tentang Islam sebagai kekuatan yang membebaskan (liberating power) terhadap berbagai bentuk penindasan dan hegemoni sosial. Engineer tidak sepakat kalau Islam hanya dipraktikkan melalaui serangkaian ritual, namun tidak berperan apa-apa dalam gerakan transformasi sosial. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi anggota lainnya yang lemah dan tertindas, menurut Engineer, tidak dapat disebut masyarakat Islam (Islamic Society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam.[15]
Dari wacana di atas bisa ditarik benang merah bahwa bagi Hassan Hanafi, aqidah dan keimanan seharusnya bukan sekedar afirmasi terhadap eksistensi Tuhan, melainkan sebuah energi dan spirit praksis bagi manusia untuk membebaskan dirinya dari berbagai belenggu sosial, terutama dari belenggu ketertindasan dan ketidakadilan. Sehingga mempelajari teologi adalah mempelajari dunia manusia dengan seluruh problematika kehidupannya.  Semakin seseorang beriman dan teologinya kuat, maka dirinya semakin peka dan peduli dengan kondisi sosial dan kemanusiaan. Ini sangat penting terutama di era modern sekarang di mana problematika sosial, khususnya di kalangan umat Islam, sangat kompleks.






DAFTAR PUSTAKA:

-Arif, Saiful (Editor), Pemikiran-Pemikiran Revolusioner, Averroes Press Malang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta,2001.
-Assyaukanie, Luthfi, Islam benar Versus Islam Salah, Kata Kita, Depok, 2007
- Enayat, Hamid,  Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Terj. Asep Hikmat, Pustaka, Bandung, 1982.
-Engineer, Asghar Ali, Islam Dan Teologi Pembebasan, Ter. Agung Prihantoro, Cet. II, Pustaka Pelajar, 2000.
-Hanafi, Hassan, Dari Akidah dan Revolusi, Terj.Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul Rouf, Paramadina,2003
-Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Terj.Didik Komaidi, Lazuardi,2002





*Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi rutin malam Sabtu yang diselenggarakan oleh ZAT Community di PP. Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta (15/11/2011).

[1] Ini versi Azyumardi Azra yang merujuk pada catatan Boullotta, dalam pengantarnya untuk bukunya Hassan Hanafi Dari Aqidah Ke Revolusi yang dierbitkan oleh Paramadina. Sementara catatan penerbit Paramadina sendiri menyebutkan bahwa tahun kelahiran Hassan Hanafi adalah 1934.

[2] Serangkaian kesadaran (consciousness) ini adalah pengakuan Hassan Hanafi sendiri yang dia ceritakan dalam sebuah otobiografinys, al-Din wa al-Tsaurah fil Mishr,1952-1981, Jilid VI, al-Ushuliyyah al-Islamiyyah (Kairo, Maktabah Madbuli,1989, 207-91)  dan dikutip kembali oleh Azyumardi Azra dalam tulisannya untuk pengantar buku Hassan  Hanafi Dari Akidah  Ke Revolusi yang diterbitkan oleh Paramadina, 2003.

[3]  Nasionalisme Arab, yang disebut juga dengan PAN-Arabisme, merupakan idiologi sekuler bangsa-bangsa Arab untuk menegakkan identitas budaya Arab. Lawan dari PAN-Arabisme adalah PAN-Islamisme. Tujuan PAN-Arabisme adalah untuk menyatukan bangsa-bangsa Arab. Sementara PAN-Islamisme berusaha menyatukan umat Islam seluruh dunia di bawah kekhalifahan. Kalau PAN-Arabisme lebih mengunggulkan identitas Arab, maka PAN-Islamisme lebih mengunggulkan identitas Islam di bawah sistem khalifah.  Selanjutnya,  Hamid Enayat mengatakan bahwa PAN-Arabisme, ketika muncul pada paska perang dunia I, didorong oleh dua alasan. Pertama, tujuan persatuan Arab, yang meliputi sejumlah besar masyarakat dengan karakteristik yang beraneka ragam dan menempati wilayah yang sangat luas, menyuguhkan suatu wawasan yang jauh lebih luas ketimbang wawasan dari gerakan-gerakan yang memiliki ruang lingkup yang lebih terbatas seperti nasionalisme Turki, Syira dan Mesir. Kedua, terjadi asosiasi bawah sadar yang intim antara Arabisme (‘Urubah) dan Islam. Orang-orang Arab tidak bisa mengangkat identitas mereka tanpa pada saat yang sama mengangkat Islam yang merupakan sumber kebanggaan mereka yang abadi dan perangsang identitas mereka yang paling kuat selama berabad-abad. Lih. selengkapnya, Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Terj.Asep Hikmat, Pustaka, Bandung, 1982.hlm.175
[4] Kata Lutfi Assyaukanie, Restatement adalah agenda kaum radikal dan kaum revivalis, bukan reformis. Kaum radikal seperti Osama Bin Laden, mastermind 9/11 atau Imam Samudra, mastermind Bom Bali, adalah orang-orang yang mengaku ingin me-restate ajaran-ajaran asli Islam. Mereka menganggap bahwa dunia sudah terlalu banyak berubah dan karenanya harus ditarik kembali ke Islam yang otentik. Lih. Luthfi Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah, Kata Kita, Depok,2007.hlm.13-14

[5] Hassan Hanafi, Dari Akidah  ke Revolusi, Terj.Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul Rouf, Paramadina, 2003.hlm.11

[6] Lebih jauh Hassan Hanafi melanjutkan bahwa, mukaddimah konvensional itu biasanya juga dimulai dengan mensucikan Allah dengan sebenar-benarnya. Lalu, pernyataan tentang sifat-sifat Tuhan yang maha sempurna dan Maha Mutlak. Ungkapan tentang kesucian itu merupakan puncak kemampuan manusia dalam menjelaskan Tuhan. Itu dilakukan dengan bahasa yang penuh dengan kecintaan, sehingga hakekat Tuhan merupakan sesuatu yang sulit dicapai, membingungkan akal manusia serta melemahkan daya imajinasi. Lih. Hassan Hanafi, Dari Akidah  ke Revolusi, Terj.Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul Rouf, Paramadina,2003.hlm.XIX

[7]  Pada kalimat terakhirnya Hassan Hanafi menegaskan : “Atas nama seluruh lapisan ummat dan atas nama mayoritas ummat yang bisu, serta atas nama seluruh kaum muslimin, maka terbitlah buku “Dari Akidah Dan Revolusi”, Lih. Hassan Hanafi, Dari Akidah  ke Revolusi, Terj.Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul Rouf, Paramadina,2003.hlm.xxxi

[8] Lih. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Terj.Didik Komaidi, Lazuardi,2002.hlm.42

[9] Hassan Hanafi, Hanafi, Dari Akidah dan Revolusi, Terj.Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul Rouf, Paramadina,2003.hlm.17

[10] Lih. Hassan Hanafi, Dari Akidah dan Revolusi, Terj.Asep Usman Ismail, Suadi Putro dan Abdul Rouf, Paramadina,2003.hlm.22

[11] Lih. Hassan Hanafi, 2003.hlm.14

[12] Gramsci membagi kaum intelektual menjadi dua yakni intelektual tradisional dan intelektual organik. Kalau intelektual organik mempunyai kemampuan organisator, maka intelektual tradisional hanya bergerak pada persoalan otonom dan independen yang digerakkan oleh faktor-faktor produksi. Lih. Saiful Arif (editor), dalam Pemikiran-Pemikiran Revolusoner, Averroes Press bekerja sama dengan Pustaka Pelajar,2001.hlm.64

[13] Hassan Hanafi, 2003.hlm.23

[14] Hassan Hanafi, 2003.hlm.17

[15] Lih. Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro, Cet. II, Pustaka Pelajar, 2000.hlm.7

No comments:

Post a Comment