Sunday, January 15, 2012

BERAGAMA TANPA REFLEKSI


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*

Salah seorang filosof Muslim, Ibnu Shina, menyebutkan bahwa akal manusia yang terus hidup, yang digerakkan oleh Akal Aktif , senantiasa terjaga untuk mencerap nilai-nilai kebenaran Tuhan.  Pemikiran Ibnu Shina ini tercermin dalam tulisannya yang berjudul Manusia Terbang. Dalam tulisannya ini Ibnu Shina hendak menegaskan tentang independensi substansi jiwa manusia dari unsur-unsur jasmani seraya mengajak kepada umat manusia untuk senantiasa merefleksikan dirinya seolah terbang bebas di udara yang terpisah dari realitas fisik.
Pemikiran Ibnu Shina itulah,yang menurut Lenn E.Goodman, menginspirasi filosof setelahnya, Ibnu Thufail untuk membuat ilustrasi filsafat melalui cerita fiksinya yang terkenal, Hayy Bin Yaqdzan. Seperti dalam cerita Ibnu Thufail itu, Hay Bin Yaqdzan, merupakan anak manusia yang diasuh oleh seekor rusa di tengah hutan. Ia tidak mengenal peradaban agama apapun.
Namun dalam perkembangan hidupnya, ia mampu mengetahui nilai-nilai kebenaran agama hakiki seperti yang diketahui oleh orang-orang agama pada umumnya. Ia bisa menemukan konsep kebenaran soal Tuhan meskipun tanpa dibimbing oleh Nabi dan kitab suci. Dari ceritanya ini, Ibnu Thufail, hendak menegaskan bahwa manusia dengan pencerahan akalnya bisa menemukan nilai-nilai kebenaran meskipun tidak dibimbing oleh wahyu sebagaimana yang diimani oleh orang-orang agama pada umumnya.   
Dari paparan filosofis di atas, mencerminkan betapa pentingnya refleksi dalam beragama. Beragama pada prinsipnya adalah proses pencarian yang tak kunjung usai untuk menemukan kebenaran. Karena kebenaran di dunia memang tak pernah selesai. Pola beragama semacam ini memerlukan perenungan yang serius. Beragama yang benar bukan sekedar menerima begitu saja apa-apa yang dikatakan wahyu, tanpa terlebih dahulu merenungkannya terlebih dahulu.
Sebab, sebelum inti kebenaran wahyu itu masuk pada lubuk keimanan, terlebih dahulu ia harus disingkap maknanya, dipahami pesan moralnya dan kemudian baru diserap intisarinya. Bagaimana bisa mengimani sebuah kebenaran tanpa terlebih dahulu tahu meskipun pada level konsepsinya? Dan bagaimana bisa mengetahui sebuah konsepsi kebenaran kalau tanpa aktifitas intelek, tanpa mencurahkan akal untuk memikirkannya?
Tanpa refleksi
            Pola keberagamaan yang selama ini berlangsung nampak miskin refleksi. Tradisi beragama yang selama ini terbangun adalah hasil dari indoktrinasi dan bukannya dari refleksi. Orang umumnya beragama cukup meyakini apa yang didoktrinkan oleh tokoh-tokoh agamawan.
Padahal para tokoh agama itu dalam menyampaikan kebenaran kepada orang lain juga tak bisa lepas dari mind set atau struktur idenya yang dijadikan untuk memahami realitas kebenaran itu. Sehingga seringkali terjadi kerancauan epistemologi dalam pemahaman agama: pemikiran seseorang ihwal agama diyakini sebagai agama itu sendiri. Bahkan tak jarang tafsir agama itu sendiri posisinya lebih sakral dari Agama sehingga sulit digugat dan diperdebatkan.
Tradisi beragama yang lebih banyak dikonstruk dari indoktrinasi ini mengakibatkan tumbuhnya pola keimanan yang membabi buta; sebuah keimanan yang tidak dilandasi oleh pengetahuan reflektif melainkan oleh rasa fanatisme brutal. Hal ini diakibatkan oleh pemikiran yang sempit dan dangkal. Kedangkalan pikiran itu sendiri menunjukkan matinya akal dan hati nurani, karena dogma menguasai diri. Bagaimanapun keimanan yang tidak dibangun melalui refleksi, melalui pergulatan intlek, maka akan melahirkan pola-pola keagamaan dangkal, bahkan picik semacam itu.
Imbas dari pola keagamaan yang picik dan dangkal itu adalah hilangnya rasa arif dan bijaksana dalam kehidupan, sesama orang lain tidak toleran dan tidak menghargai dan yang paling bahaya adalah hilangnya rasa kemanusiaan sehingga tega berbuat kejam. Pola-pola semacam inilah yang sampai sekarang terus bermunculan. Banyak orang mengaku beragama tetapi prilakunya persis srigala: mudah membunuh, merusak dan memangsa sesamanya.
Beberapa kasus tidak manusiawi telah terjadi misalnya menteror orang yang hendak merayakan Natal seperti yang terjadi di Bogor, membakar pesantrennya orang Syi’ah seperti yang terjadi di Sampang, Madura, menembaki mahasiswa secara brutal seperti yang terjadi di Bima, NTB, sebagainya.
 Para pelaku kejahatan itu pastilah orang-orang yang beragama. Orang-orang yang membubarkan Natal di Bogor maupun yang membakar pesantrennya orang Syiah di Madura jelas mengaku dirinya sebagai orang Islam. Di antara mereka bahkan meneriakkan “Allahu Akbar”. Begitu juga, para polisi yang telah menembaki para mahasiswa di Bima itu tidak mungkin atheis. Dari kasus-kasus seperti ini nampak jelas bahwa meskipun mengaku beragama, manusia telah kehilangan rasa kemanusiaannya sehingga mudah menjadi Homo Homini Lupus, sebagaimana kata Hobbes.
Itulah akibatnya kalau agama hanya menjadi dogma. Sehingga nilai-nilai agama tidak mampu membentuk kualitas kemanusiaan seseorang melainkan hanya menggumpal menjadi doktrin  yang justru mendorong pemeluknya mudah bersikap kejam dan tak manusiawi.
Perlunya Perubahan
Di sinilah perlunya kesadaran bagi umat beragama untuk merubah pola beragamanya. Tujuan beragama pada prinsipnya adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang baik dan berprikemanusiaan melalui pencerapan nilai-nilai substansial agama. Tujuan ini tidak mungkin tercapai kalau agama hanya didoktrinkan tanpa direfleksikan oleh si penerimanya. Keimanan yang tidak direfleksikan adalah keimanan yang menyesatkan.
Dengan melalui refleksi keimanan, seseorang terdorong menggali dan menyusuri lorong-lorong keagamaan lebih dalam sehingga membuatnya kaya akan rasa, pengalaman dan pengetahuan keagamaan yang  membuatnya menjadi pribadi yang cerdas dalam beragama .
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota forum studi filsafat ZAT Community Yogyakarta

No comments:

Post a Comment